Jumat, 26 Januari 2018

PAK USTADZNYA HAMZAH (Art.Refleksi Hikmah)



Pahlawan tanpa tanda jasa, itulah gelar kehormatan yang disematkan kepada mereka yang mengabdikan diri untuk mendidik generasi umat manusia. Peran teramat penting yang harus diemban, karena memang mendidik bukanlah tugas yang gampang.

Kesabaran adalah point penting yang harus dimiliki oleh manusia-manusia seperti mereka. Tanpa kesabaran mustahil umat manusia bisa memetik buah yang ranum. Tunas-tunas yang tumbuh mungkin saja patah sebelum ia dapat berkembang.

Riwayat-riwayat tentang kesabaran seorang guru masih tertulis indah dalam kenangan. Sejuta cerita masih senantiasa mengalir deras dalam susunan kata serta kisah dari mulut ke mulut sejak zaman perjuangan kemerdekaan. Umar Bakri yang dengan sabar mengayuh sepeda pancalnya masih belum dapat dilupakan. Berganti waktu, berganti pula dengan kisah yang baru.

Kisah ini datang dari sudut ruangan sekolah kami. Kini di zaman ini, rasanya sulit menemukan padanannya. Di saat masa telah berubah, kesabaran seolah menjadi barang langka. Entah karena apa? Orang-orang yang sabar laksana jarum dalam jerami.

Namanya Hamzah, seorang bocah yang berumur kira-kira delapan tahun. Masih terlalu kecil memang untuk berpisah dari pangkuan orang tua. Namun tak mengapa, karena harapan besar telah melampaui segalanya. Kesuksesan buah hati adalah asa, sedangkan kesuksesan ada dibalik keringat, darah dan air mata.

Hari demi hari berganti tapi ia tetap saja sulit untuk ditangani. Tidak banyak yang bisa meluluhkannya. Jangankan diminta menghafalkan ayat-ayat al-Qur’an, duduk saja dalam halaqahnya dalam waktu tertentu mungkin adalah beban berat bagi dirinya. Wajar, karena memang ia masih larut dan tenggelam dalam dunianya. Bermain dan terus bermain, itulah satu hal yang terkadang sulit untuk dipahami oleh banyak orang dewasa.

Tapi tidak dengan ustadz yang satu ini. Kesabarannya telah mengantarkannya menjadi orang yang layak memanggul gelar kehormatan itu. Panggilan ustadz memang pantas untuk dirinya.

Dengan sabar ia mengajari Hamzah. Tak pedulikan lagi ikatan jam kerja. Biarlah fingerprint ditempatnya sementara. Pagi, petang, malam tak kenal lelah. Harapannya membumbung tinggi, bagaimana anak didiknya berhasil dan memperoleh apa yang diinginkan, sesuatu yang nanti bisa membahagiakan banyak orang; orang tua, para guru, pengasuh serta seluruh umat Islam.

Suatu ketika Hamzah dengan ciri khasnya, merengek-rengek karena tidak mau mengaji. Delapan puluh menit berlalu tanpa ada yang dia baca. Bel tanda keluar telah berbunyi, semua santri dengan riang gembira melangkahkan kaki keluar kelas. Tapi tidak dengan Hamzah, ia harus menyelesaikan dulu tanggungannya.

Meronta-ronta sembari menjerit tak suka, namun ustadz senantiasa sabar menuntunnya untuk mengaji. Bergantian suara ustadz dengan suara Hamzah, meski suara Hamzah jauh lebih keras karena bercampur dengan jerit tangis anak-anak.

Kejengkelan telah mencapai puncaknya, Hamzah tak kuasa lagi menahan. Bagaimana tidak? “Ini jam bermain, jangan halangi aku dengan begini ustadz.” Mungkin itulah kira-kira pikiran yang ada dibenak Hamzah kala itu. Tanpa pikir panjang, melayanglah tangan Hamzah. “Pakkk….” berbunyi, karena tepat di pipi ustadz. 

Di sinilah inti ceritanya. Apabila santer di media masa berita-berita tentang guru yang menempeleng muridnya, tapi tidak dengan ustadz ini. Ia justru yang ditempeleng muridnya. Namun ternyata hal itu tak sedikit pun membuatnya marah, apalagi turut membalas. Dengan kasih sayang seorang bapak pada anaknya, sambil memijat dengan lembut ia hanturkan; “Ayo nak, ayo mengaji, tinggal sedikit lagi.” Begitulah kurang lebih.

Setelah kejadian tersebut, seorang teman berceletuk: “Seandainya saya, entah apa jadinya. Rasanya tak mungkin saya bisa sesabar itu.”

Sifat sabar adalah sifat yang terpuji. Seorang kesatria yang kuat bukanlah dia yang mampu mengalahkan musuh, menjatuhkan lawan dalam waktu singkat hingga terkapar. Akan tetapi orang yang kuat adalah dia yang sanggup menahan diri dan meredam murka tatkala amarah memuncak. Rasulullah n pernah bersabda:

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ 

“Orang yang kuat bukan orang yang pandai dalam pergulatan. Sesunguhnya orang yang kuat adalah dia yang sanggup menguasai dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari: 6114)

Keseharian kerap kali membuat kita jenuh dan bosan. Apalagi harus berjumpa dengan berbagai macam manusia dengan watak yang berbeda-beda pula. Ada yang membuat wajah kita berbinar, tersenyum lepas bahagia, namun tak sedikit juga yang membuat kening kita kusut dan berkerut.

Akan tetapi jika kita telah memutuskan untuk menjadi pendidik, maka kesabaran harus jadi harga mati. Lihatlah Nabi kita; Muhammad n, beliau adalah pendidik yang paling utama. Sifat-sifat beliau adalah satu hal yang wajib untuk diteladani.

Anas bin Malik pernah bercerita: “Pada suatu hari aku berjalan bersama Nabi. Ketika itu beliau memakai jubah Najran yang berbingkai tebal dan kasar. Kemudian datang seorang arab badui menemuinya lantas menarik jubah Nabi dengan keras. Sampai-sampai aku melihat bahu beliau berbekas karena kerasnya tarikan. Kemudian orang itu berkata: ‘Wahai Muhammad, berilah aku bagian dari harta Allah yang ada padamu.’ Nabi menoleh ke arahnya sambil tertawa, kemudian memerintahkan agar orang itu diberi sesuatu.” (HR. Muslim: 1057, Ahmad 20/21)

Andaikata kita berada di posisi beliau, sanggupkah kita berbuat seperti demikian? Itu adalah puncak jiwa besar. Kesabaran, ketenangan, kejernihan pikiran terkumpul menjadi satu. Beliau paham siapa yang sedang beliau hadapi, bagaimana wataknya, serta cara apa yang tepat untuknya, makanya beliau hanya tertawa, tidak mau ambil pusing dan memperpanjang masalah.

Banyak orang yang sudah tahu keutamaan sifat sabar, menguasai tips dan trik menjadi penyabar, namun sayang belum mampu terealisasi dalam kehidupannya. Sebabnya apa? Entahlah. Namun yang pasti tentu karena kurangnya kesungguhan.

Di tengah kebangkitan Islam ini dengan meningkatnya kesadaran terhadap pendidikan agama, pendidik dengan kualifikasi kesabaran tinggi sangat dibutuhkan, disamping keahlian dibidangnya. Figur-figur seperti pak ustadznya Hamzah harus ditumbuh suburkan. Terlebih pada tingkat pendidikan anak-anak, karena ini adalah proses pembentukan karakter dasar bagi mereka yang sangat penting dan menentukan.

Namun yang membuat kita prihatin, justru sering kali pada tingkatan ini yang berperan adalah mereka yang bukan ahlinya. Guru-guru yang baru turun gunung dipaksakan untuk mengatasi seabrek problematika dunia anak-anak. Sehingga, jauh panggang dari api, tujuan pendidikan tidak tercapai. Bahkan malah sebaliknya, anak-anak jadi kelinci percobaan. 

Oleh sebab itu, meningkatkan kesabaran diri adalah kelaziman bagi setiap pendidik. Sinergi positif antar elemen pendidikan dalam penempatan figur pada tempat yang tepat adalah kewajiban. Sehingga dengan demikian, besar harapan kita dapat melahirkan generasi-generasi yang baik untuk agama, bangsa dan negara di masa depan. Wallahul muwaffiq. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar