Selasa, 30 Januari 2018
GERHANA (Art.Salayok62)
Semenjak beredar informasi sekaligus himbauan dari pihak yang berwenang tentang prediksi gerhana bulan total di hari terakhir bulan Januari, mulailah banyak DKM yang sibuk menyiapkan segala sesuatunya untuk shalat gerhana.
Namun, ada yang lebih sibuk lagi dari para DKM tersebut yaitu mereka yang hobi foto-foto itu, sibuk menyusun rencana nanti mau ngambil foto dimana, pakai kemera apa, dan seterusnya.
Padahal, beginilah reaksi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tatkala terjadi gerhana. Jauh sekali dari apa yang diperbuat oleh banyak orang di masa kita.
عَنْ أَبِى مُوسَى قَالَ خَسَفَتِ الشَّمْسُ فِى زَمَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَامَ فَزِعًا يَخْشَى أَنْ تَكُونَ السَّاعَةُ حَتَّى أَتَى الْمَسْجِدَ فَقَامَ يُصَلِّى بِأَطْوَلِ قِيَامٍ وَرُكُوعٍ وَسُجُودٍ مَا رَأَيْتُهُ يَفْعَلُهُ فِى صَلاَةٍ قَطُّ ثُمَّ قَالَ « إِنَّ هَذِهِ الآيَاتِ الَّتِى يُرْسِلُ اللَّهُ لاَ تَكُونُ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُرْسِلُهَا يُخَوِّفُ بِهَا عِبَادَهُ فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا فَافْزَعُوا إِلَى ذِكْرِهِ وَدُعَائِهِ وَاسْتِغْفَارِهِ »
Abu Musa al-Asy’ari menuturkan: “Pernah terjadi gerhana matahari pada zaman Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, beliau langsung berdiri ketakutan karena khawatir akan terjadi hari kiamat. Hingga beliau pun mendatang masjid kemudian shalat yang lama berdiri, ruku’ dan sujudnya. Aku belum pernah melihat beliau melakukan hal itu dalam shalat apa pun. Kemudian beliau bersabda: ‘Sesungguhnya tanda-tanda ini (gerhana) yang dikirimkan Allah tidaklah terjadi kerena kematian atau kelahiran seseorang. Akan tetapi Allah mengirimkannya untuk menakut-nakuti hamba-Nya. Apabila kalian melihatnya maka bersegeralah untuk berdzikir, berdo’a dan memohon ampunan-Nya.’” (HR. Muslim: 912)
Oleh sebab itu, hendaknya seorang mukmin merasa takut kepada Allah, khawatir akan tertimpa adzab-Nya. Jangan hanya mengaitkan peristiwa tersebut dengan kejadian alam semata. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam saja sangat takut ketika itu padahal beliau adalah hamba yang paling dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Senin, 29 Januari 2018
PERISTIRAHATAN TERAKHIR?? (Art.Salayok61)
Banyak di antara kalimat itu yang singkat, seolah sepele tapi maknanya besar dan berpotensi merusak aqidah seseorang. Dalam suatu prosesi shalat jenazah di sebuah masjid komplek. Salah seorang dari DKM-nya memberikan sepatah dua kata kepada jamaah. Kalimat pak takmir itu kira-kira begini:
“Terima kasih kami ucapkan kepada jamaah sekalian, baik itu keluarga, tetangga atau rekan-rekan kantor yang berkenan untuk menshalati jenazah, dan jika ada waktu selanjutnya kita antarkan jenazah ke tempat peristirahatannya yang terakhir di Pondok Ranggon.”
Tidak ada yang salah dari ucapan itu kecuali bagian akhirnya. Benarkah kuburan itu “Tempat peristirahatan terakhir??” Padahal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:
إِنَّ القَبْرَ أَوَّلُ مَنْزِلٍ مِنْ مَنَازِلِ الآخِرَةِ ، فَإِنْ نَجَا مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَيْسَرُ مِنْهُ ، وَإِنْ لَمْ يَنْجُ مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَشَدُّ مِنْهُ
"Sesungguhnya kuburan adalah awal perjalanan akhirat. Barang siapa yang berhasil di alam kubur maka yang setelahnya akan lebih mudah dan barang siapa yang tidak berhasil maka yang setelahnya lebih berat." (HR. Tirmidzi: 2308, dihasankan oleh Syaikh al-Albani Shahih al-Jami’)
Kuburan itu bahkan adalah awal dari perjalanan panjang yang akan dilalui oleh setiap manusia, tempat ujian pertama dalam fase kehidupan akhirat. Siapa yang menjamin bahwa kita akan dapat beristirahat di tempat itu?
Jika seandainya kuburan memang tempat peristirahatan terakhir tentu manusia akan berbondong-bondong bunuh diri agar bisa beristirahat dari letihnya kehidupan dunia, namun ternyata kenyataannya tidak begitu. Allah berfirman mengabarkan nasib Fira'un dan pengikutnya:
النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ أَدْخِلُوا آلَ فِرْعَوْنَ أَشَدَّ الْعَذَابِ
Kepada mereka (Fir’aun dan pengikutnya) dinampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari kiamat (dikatakan kepada malaikat): “Masukkan Fir’aun dan kaumnya ke dalam adzab yang pedih.” (QS. Ghafir: 46)
Ternyata, sampai saat ini pun bahkan sampai hari kiamat datang, Fir’aun dan kaumnya tidak mendapatkan istirahat di alam kuburnya. Oleh sebab itu, jangan pernah mengatakan lagi kuburan itu sebagai tempat peristirahatan terakhir. Justru ia adalah tempat persinggahan pertama serta penentu kehidupan kita selanjutnya di alam akhirat nan kekal. Persiapkanlah, karena kita semua pasti akan melaluinya.
KENAPA ASIN?? (Art.Salayok 60)
Ada yang bilang, bahwa "hidup itu penuh dengan cita rasa. Ada manis, pahit, kecut, asin, hambar dan seterusnya."
Asam garam kehidupan yang akan dikecap oleh setiap insan selama hayat dikandung badan.
Oleh sebab itu, tidak perlu sedih dengan luka yang kita rasa. Percayalah bahwa orang lain juga sama.
Nikmati saja, tidak perlu berangan-angan akan hidup senang selamanya. Ini dunia bukan surga.
Semua ada hikmahnya. Allah berfirman:
{إِن يَمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ الْقَوْمَ قَرْحٌ مِّثْلُهُ ۚ وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَيَتَّخِذَ مِنكُمْ شُهَدَاءَ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ} [آل عمران : 140]
Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada'. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim. (QS. Ali Imran: 140)
Orang yang telah mendahului kita pernah mengatakan:
"Zaman bergilir, ada yang naik dan ada yang jatuh, dunia tiada kekal. Bagi diriku sendiri, di dalam hidup ini akupun datang dan akupun akan pergi. Kehidupan adalah pergiliran di antara senyum dan ratap. Air mata adalah asin; sebab itu dia adalah garam dari penghidupan." (Buya Hamka, Tafsir al-Azhar 1/53)
Minggu, 28 Januari 2018
TETAPLAH DAN JANGAN BERUBAH (Art.Refleksi Hikmah)
Hari berganti, siang dan malam berselang-seling. Satu pelajaran berharga untuk kita manusia bahwa hidup itu tak selamanya tetap, semuanya berubah dan perubahan itulah sebuah ketetapan.
Sekarang kita bahagia, maka syukurilah dan sadar bahwa nanti akan datang saatnya bersedih. Supaya kita tidak lupa diri.
Sekarang kita bersedih, bumi terasa sempit, yakinlah bahwa kebahagiaan akan datang, kusut akan selesai keruh akan jernih, akan ada jalan keluarnya. Agar kita tidak berputus asa. Allah berfirman:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ .لّكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS. Al-Hadid: 22-23)
USTADZ YANG MALANG
“Uang terkadang bisa membutakan,” itu yang sering kita dengar dari nasehat orang tua-tua kita. Nyinyir mereka, sampai kita pun bosan mendengar. Namun ternyata itu benar.
Ustadz yang malang ini ditipu oleh sahabatnya. Sama-sama ustadz juga. Dibohongi dari awal kerjasama. Jasa travel haji dan umroh yang menjajikan keuntungan besar, apalagi jika ditambah dengan seiris penipuan, telah membuat banyak orang buta. Bukan matanya tapi hatinya.
Hilang semua rasa malu. Tidak peduli lagi persahabatan dan harga diri. Uang bisa membuat segala yang tidak mungkin menjadi mungkin.
Singkatnya, ustadz yang malang ini harus mengganti rugi uang jamaah yang beliau daftarkan ke travel sahabatnya itu. Tidak banyak, hanya dua orang saja. Tapi, satu orangnya 25 juta. Sehingga genaplah siustadz harus menganti 50 juta.
Bagi Anda yang punya kelapangan rezeki, kelas menengah atas, tentu jumlah demikian tidak terlalu besar. Namun bagi ustadz, jumlah itu adalah jumlah yang sangat besar. Butuh bertahun-tahun untuk mengumpulkan uang sebanyak itu.
Kemana hendak dicari uang sebanyak itu?! jadilah ustadz tadi tungang langgang kesana kemari untuk mencari pinjaman.
Sekarang, semua telah berlalu. Kelapangan hadir tanpa diduga-duga. Dengan mantap ia bertutur kepada kami, sebagai nasehat:
“Musibah yang menimpa saya, meski berat tapi banyak mengandung pelajaran. Salah satunya yaitu jika kalian meminta sesuatu maka mintalah kepada Allah. Saya sudah berusaha mencari pinjaman dari beberapa orang yang saya kenal, tapi mereka tidak ada yang menyanggupi.
Saat seperti itu, saya serahkan diri kepada Allah saya meminta kepada-Nya dan teryata Allah memberikan jalan. Ada orang yang mau meminjami saya uang, padahal orang itu sama sekali tidak saya kenal dan diapun tidak mengenal saya. Oleh sebab itu, mintalah segala sesuatunya kepada Allah.”
WASIAT RASULULLAH
Apa yang disampaikan oleh ustadz tadi adalah bagian dari petuah Rasulullah untuk kita. Beliau pernah bersabda kepada Abdullah bin Abbas:
احْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ ، احْفَظِ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ
“Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau akan mendapati-Nya ada di hadapanmu. Jika engkau meminta, mintalah kepada Allah. Jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Allah.” (HR. Tirmidzi: 2516, Shahih al-Jami’: 7957)
Mintalah kepada Allah! Semuanya. Sampai-sampai Rasulullah bersabda:
لِيَسْأَلْ أَحَدُكُمْ رَبَّهُ حَاجَتَهُ كُلَّهَا حَتَّى يَسْأَلَ شِسْعَ نَعْلِهِ إِذَا انْقَطَعَ
“Hendaklah setiap kalian meminta kepada Rabbnya semua kebutuhannya, sampai-sampai tali sandalnya putus.” (HR. Ibnu Hibban:894, Tirmidzi: 8/3604, dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Misykah: 29)
Kenapa? Karena Allah Maha Kaya sedangkan makhluk miskin. Allah berfirman:
وَاللَّهُ الْغَنِيُّ وَأَنتُمُ الْفُقَرَاءُ ۚ
Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kalian adalah orang-orang fakir. (QS. Muhammad: 38)
MASIH TERBUKA
Begitulah kehidupan, berputar seiring dengan berputarnya jarum jam. Kembali harus kita sadari bahwa perubahan adalah sebuah ketetapan.
Jika telah tiba saatnya kita berada di bagian bawah dari kehidupan itu, dihimpit oleh kesusahan, dunia terara sempit. Tidak ada tempat mengadu, hilang semua, sonder saudara dan kerabat. Tertutup semua jalan.
Pada saat itu, ketahuilah bahwa jika memang semua jalan di dunia telah tertutup, akan tetapi jalan ke langit senantiasa terbuka.
Mengadulah kepada Allah, mintalah semua kepada-Nya. Dia yang Maha Kaya dan Maha Pengasih. Jangan khawatir dengan seringnya kita merengek meminta kepada-Nya. Karena Allah berbeda dengan makhluk-Nya. Seorang penyair mengatakan:
وَاللهُ يَغْضَبُ إِنْ تَرَكْتَ سُؤَالَهُ
وَبُنَيَّ آدَمَ حِينَ يُسْأَلُ يَغْضَبُ
“Allah marah saat engkau tidak meminta kepada-Nya. Sedangkan anak Adam akan marah jika sering diminta.” (Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyah: 2/695)
Ini benar, karena Rasulullah pernah bersabda:
إِنَّهُ مَنْ لَمْ يَسْأَلِ اللَّهَ يَغْضَبْ عَلَيْهِ
“Sesungguhnya barang siapa yang enggan meminta kepada Allah, maka Allah akan murka kepadanya.” (HR. Tirmidzi: 3373, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’: 2418)
TETAP MENJADI ORANG BAIK
Kembali ke cerita ustadz kita tadi, pelajaran juga bagi kita bahwa:
Tetaplah menjadi orang baik. Meskipun kenyataannya orang baik itu lebih sering ditipu. Kenapa? Karena ia selalu memandang orang lain tulus seperti dirinya. Tak sedikit pun menyisakan prasangka buruk. Ia lebih mengutamakan husnuzhan ketimbang beburuk sangka.
Demikianlah kehidupan, harus sabar memang. Dalam bermasyarakat hal seperti itu tidak bisa dielakkan. Tapi, jangan bersedih moga-moga kita masuk dalam sabda Nabi:
الْمُؤْمِنُ الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ خَيْرٌ مِنَ الَّذِي لاَ يُخَالِطُ النَّاسَ وَلاَ يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ
“Seorang mukmin yang tetap bergaul dengan manusia serta sabar terhadap gangguan mereka lebih utama daripada yang tidak mau bergaul dan tidak sabar terhadap gangguan mereka.” (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah 2/652)
Maka, meski kehidupan berubah, namun ada kalanya kita dituntut untuk tetap dan tidak berubah. Tetaplah bersemangat menjalani kehidupan jangan berputus asa. Tetaplah meminta kepada Allah jangan tinggalkan. Tetaplah bergaul dengan manusia dan tetaplah menjadi orang baik. Tetaplah dan jangan berubah. Semoga bermanfaat. Wallahul muwaffiq.
Jatimurni, 10 Muharram 1439 H
Jumat, 26 Januari 2018
TEBALKAN TELINGA ANDA (Art.Refleksi Hikmah)
Dalam sesi tanya jawab di sebuah pengajian, seorang nenek dengan nada sedih bercampur bingung bertanya;
“Ustadz, apa yang harus saya lakukan. Saya ini hidup seorang diri, setiap kali akan berangkat kajian, tetangga saya marah-marah, ngotot melarang saya supaya jangan ikut. Katanya itu ajarannya keras, ngak benar, suka menyalahkan orang lain. Sampai-sampai tubuhnya gemetar ketika memarahi saya itu ustadz. Saya sudah jelaskan, berapa kali saya ikut, yang disampaikan al-Qur’an dan hadits, tidak macam-macam. Tapi dia tetap tidak percaya. Lantas saya harus bagaimana ustadz??”
JANGAN AMBIL HATI
Hari ini, kejadian seperti itu sudah lumrah, tidak satu atau dua kali namun mungkin sudah tak terhitung lagi. Nenek tadi bukan orang yang pertama, sudah ada pendahulunya dan akan ada pula berikutnya.
Bagi Anda yang belum merasakannya, siap-siap saja, bisa jadi suatu hari nanti juga turut mengecapnya. Saya tidak mendo’kan, tapi kalau hal itu juga terjadi pada Anda, maka jangan terlalu diambil hati. Ingat-ingat selalu firman Allah berikut ini:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan jin. Sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). (QS. al-An’am: 112)
CITA RASA KEHIDUPAN
Dihalang-halangi dari kebaikan adalah cita rasa kehidupan. Dari dulu sampai sekarang. Modusnya pun sama, salah satunya dengan menebar tuduhan dusta. Tidak percaya? Mari kita tengok ke belakang.
Thufail bin Amr ad-Dausi adalah seorang yang cerdas, ahli syair dan pemuka dari suku Daus. Ia pernah menceritakan bahwa ia datang ke Mekah sementara Rasulullah telah memulai dakwahnya. Datanglah beberapa orang Quraisy seraya mengatakan:
“Wahai Thufail, engkau datang ke negeri kami sedangkan laki-laki ini (Nabi Muhammad) yang ada di tengah-tengah kami, benar-benar telah membuat runyam urusan kami. Dia telah memecah belah persatuan kami. Ucapannya seperti sihir. Memisahkan antara seorang anak dengan ayahnya, antara saudara dengan saudaranya, dan antara suami dengan istrinya. Kami sangat mengakhawatirkanmu dan kaummu nanti terjadi juga seperti yang kami alami. Karena itu, jangan berbicara dengannya dan jangan dengarkan ucapannya.”
Thufail melanjutkan ceritanya:
Demi Allah, mereka selalu menyertaiku sampai aku sepakat untuk tidak mendengarkan apapun darinya dan tidak akan berbicara dengannya. Sampai-sampai aku sumpal kedua telingaku dengan kapas ketika melewati masjid agar aku tidak mendengar ucapannya.
Aku pun melewati masjid. Sementara itu Rasulullah sedang shalat di depan Ka’bah. Aku berdiri di dekatnya dan Allah ternyata berkehendak memperdengarkan kepadaku sebagian dari ucapannya. Aku mendengarkan ucapan yang baik. Maka aku pun berkata kepada diriku sendiri:
“Aduhai kasihan ibuku, bukankah aku adalah seorang yang cerdas, ahli sya’ir, tidak samar bagiku antara yang baik dengan yang buruk. Lantas apa yang menghalangiku untuk mendengarkan ucapan laki-laki ini?! Apabila hal itu baik aku terima dan jika hal itu buruk maka akan aku tinggalkan.”
Kemudian aku berdiam sejenak sampai Rasulullah pulang ke rumahnya. Aku ikuti sampai beliau masuk rumahnya dan aku pun bertamu. Kemudian aku katakan kepadanya:
“Wahai Muhammad, kaummu telah mengatakan kepadaku begini dan begitu. Demi Allah, mereka senantiasa menakut-nakutiku terhadapmu, sampai-sampai aku sumpal kedua telingaku dengan kapas agar aku tidak mendengar ucapanmu. Kemudian Allah berkehendak memperdegarkan kepadaku. Maka aku mendengar ucapan yang baik. Oleh sebab itu, paparkanlah kepadaku urusanmu.”
Lantas beliau menjelaskan Islam dan membacakan al-Qur’an kepadaku. Demi Allah aku tidak pernah mendegar ucapan yang lebih baik dan perkara yang lebih adil darinya.
Maka aku pun masuk Islam dengan mengucapkan syahadat yang tulus. (Hayatu ash-Shahabah 1/215-216)
Bagaimana, apakah Anda bisa mengambil titik persamaannya? Jelas bukan modusnya, antara dahulu dan sekarang sama saja yaitu tuduhan dusta.
Jika dahulu orang-orang kafir Quraisy mengatakan bahwa Muhammad itu “pemecah belah, tidak menghormati nenek moyang,” dst. Sekarang, tidak jauh beda. “Ajarannya keras, ngaku benar sendiri, suka menyalahkan orang lain, suka membid’ahkan serta menyesatkan.”
TEBALKAN TELINGA
Itu adalah sunnatullah, di kehidupan ini semua berpasang-pasangan. Kebaikan dan keburukan akan senantiasa bergumul, saling adu kekuatan dan masing-masing pun ada pemainnya.
Apa yang harus kita lakukan? Sederhana saja yaitu sebagaimana firman Allah ketika menyebutkan sifat-sifat orang yang tidak merugi.
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (QS. Al-Ashr: 1-3)
Itulah yang harus kita lakukan. Pertama, beriman dan tidak mungkin seorang itu dapat mewujudkan keimanan yang benar kecuali dengan menuntut ilmu. Kedua, mengamalkan ilmu itu dengan merealisasikannya dalam amal-amal kebajikan. Ketiga, dakwahkan kepada orang lain. Saling nasehat-menasehati dalam kebaikan. Setelah tiga hal itu, terakhir yang keempat, bersabar.
Kalau sudah begitu, jangan pedulikan lagi celoteh orang-orang, terserah mereka mau bilang apa, yang penting kita harus tetap bersabar. Sabar ketika menuntut ilmu, mengamalkan dan mendakwahkannya. Biarkan hasil Allah yang menentukan.
Jadi, kita harus pandai-pandai menebalkan telinga. Disamping jangan mudah termakan berita-berita dusta. Periksa dahulu sebelum dicerna. Manis jangan langsung ditelan, pahit pun jangan langsung dimuntahkan. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS. Al-Hujurat: 6)
Dan jangan lupa banyak-banyak berdo’a agar Allah senantiasa membimbing kita untuk menempuh jalan yang benar meski harus menjumpai banyak rintangan dan penghalang. Semonga bermanfaat. Wallahul muwaffiq.
Jatimurni, 15 Muharram 1439 H
USTADZ KOMPOR (Art.Refleksi Hikmah)
Pernah suatu ketika kira-kira lima belas tahun yang silam, kakak saya berjumpa dengan seorang anak perempuan. Masih kecil, umurnya sekitar dua atau tiga tahun. Sambil bergurau kakak saya bertanya kepadanya: “Dedek jika nanti sudah besar mau jadi apa?”
Tidak ada yang aneh dari pertanyaan tersebut. Hanya pertanyaan biasa dan saya kira kita pun sering bertanya seperti itu. Yang aneh dan menakjubkan adalah jawaban si anak kecil. Ia tidak menjawab: “Saya ingin jadi dokter”, tidak pula “Saya ingin jadi dosen”, atau “Saya ingin jadi pengusaha kaya”, tapi ia malah menjawab dengan polosnya: “Saya ingin jadi kompor”. Sebuah jawaban yang tak terduga atau bahkan tidak pernah terbesit di benak kita.
Saat itu, saya terkungkung dalam kebingungan dan terbelenggu dengan pertanyaan tanpa jawaban. Bagaimana mungkin seorang ingin jadi kompor? Manfaat apa yang akan ia dapatkan?
Akan tetapi, perjalanan waktu dan pergantian masa telah mengantarkan manusia pada tempat dan cerita yang berbeda. Sekarang saya telah menemukan manusia-manusia kompor yang sesungguhnya, perpanjangan cita-cita anak kecil di atas. Hari ini menjadi nyata, tuntas sudah semua pertanyaan.
Mencermati fungsi kompor, di antaranya adalah memanaskan serta mendorong terjadinya sebuah aksi. Begitu pula manusia kompor ini ia hanya mampu memberi suntikan semangat lantaran ia sendiri belum mampu untuk berbuat.
USTADZ KOMPOR
Ustadz ini jika dilihat sepintas lalu, tidak memiliki kelebihan mencolok. Namun satu hal yang membuatnya istimewa bahwa dialah salah satu manusia kompor dari cerita kita di atas. Bidang keahliannya bukan dalam disiplin ilmu akidah, fiqih, tafsir, atau hadits. Akan tetapi dalam hal memanas-manasi orang lain untuk berbuat kebaikan meski ia sendiri pada kenyataannya belum mampu melakukan hal tersebut.
Ia memiliki bakat dan potensi besar dalam hal itu. Ide-idenya tak pernah kering, tumbuh subur bak jamur di musim penghujan. Semangatnya senantiasa berkobar, tak akan mati hanya karena keterbatasan dirinya.
Banyak kebaikan yang tercipta, dari sekadar harapan menjadi nyata. Meski orang lain yang menjadi pemeran utama tapi ia punya andil besar dalam hal itu. Karena ia adalah manusia kompor yang bergerak di balik layar yang terkembang.
HARUS BERMANFAAT
Memang hidup adalah pilihan. Terasa sukar atau mudah tergantung yang menjalani. Kata orang bijak dahulu: “Jika hidup untuk diri sendiri, maka hidup tidak akan sesulit ini”, tapi sebagai seorang muslim dan orang yang beriman kepada Allah serta hari akhirat maka kita harus juga hidup untuk orang lain. Memberi manfaat kepada manusia agar dapat mengecap manisnya ganjaran kelak di hari kiamat.
Menjadi orang yang bermanfaat adalah anjuran Islam. Rasulullah n bahkan pernah mengatakan:
مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَفْعَلْ
“Barang siapa di antara kalian yang sanggup memberi manfaat kepada saudaranya maka lakukanlah.” (HR. Muslim: 5859)
Banyak hal yang dapat kita perbuat untuk memberi manfaat kepada orang lain. Karena memang jalan kebaikan itu tidak hanya terbatas dengan harta atau tenaga saja, namun bisa juga dengan jalan lain, termasuk di antaranya dengan sekadar memberikan suntikan semangat serta memanas-manasi orang lain untuk melakukan kebaikan.
Saya tidak akan pernah melupakan kebaikan ustadz kompor ini. Sebagai satu contoh dialah yang senantiasa mendorong untuk belajar menulis. Jika kita bercakap dengannya tentang tulis-menulis, ia akan membakar semangat kita untuk terus mengahasilkan karya.
Namun apabila kita tanyakan apakah ustadz sudah punya tulisan? Ia seperti biasa dengan seringai manisnya akan menjawab:
“Alhamdulillah baru dapat judulnya, isinya belum, soalnya penanya ngak bisa jalan, macet.”
Tak masalah, walau hanya dengan memanas-manasi mudah-mudahan masuk dalam sabda Nabi n :
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barang siapa yang menunjuki orang lain pada kebaikan maka ia akan mendapat ganjaran semisal pahala orang yang melakukannya.” (HR. Muslim: 1893)
MENJADI POHON KELAPA
Rasulullah pernah bersabda:
إِنَّ مِنْ الشَّجَرِ لَمَا بَرَكَتُهُ كَبَرَكَةِ الْمُسْلِمِ فَظَنَنْتُ أَنَّهُ يَعْنِي النَّخْلَةَ فَأَرَدْتُ أَنْ أَقُولَ هِيَ النَّخْلَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ثُمَّ الْتَفَتُّ فَإِذَا أَنَا عَاشِرُ عَشَرَةٍ أَنَا أَحْدَثُهُمْ فَسَكَتُّ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هِيَ النَّخْلَةُ
“Sesunguhnya di antara pepohonan itu ada yang keberkahannya seperti keberkahan seorang muslim.” Aku (Abdullah bin Umar) yakin bahwa yang beliau maksud adalah kurma. Ingin rasanya aku mengatakan: ‘Itu adalah kurma wahai Rasulullah’, lalu aku menengok kanan kiri ternyata aku hanyalah anak usia belasan tahun akulah yang paling muda dari semua mereka yang hadir, akhirnya aku pun memilih diam. Kemudian Nabi bersabda: “Pohon itu adalah kurma.” (HR. Bukhari: 5444)
Itulah permisalan Rasulullah n bagi seorang muslim. Kalau kita yang hidup di negeri ini, permisalan tersebut bisa juga kita dekatkan kepada pohon kelapa. Sebatang pohon yang terkenal dapat memberi manfaat dengan hampir semua bagiannya.
Buya HAMKA pernah menuturkan:
“Negeri kita kaya dengan kelapa. Oleh karena itu banyak filsafat orang tua tentang kelapa. Di antaranya, ‘Tirulah kekerasan kemauan kelapa. Apabila perintah Tuhan buat hidup telah datang, dia pun menyeruak segala halangan, walaupun dia hanya suatu zat putih yang lunak dikungkung oleh tempurung yang keras dan dibungkus oleh sabut yang tebal, dikumpulkannya segala kekuatan dan secara berangsur dia ketuk pintu mata kelapa yang di tengah.
Apabila dinding pada pintu telah dapat ditembusnya walaupun sedikit dan ia telah melihat cahaya matahari, maka tempurung betapapun kerasnya, sabut betapapun tebalnya tidaklah dapat menghalanginya lagi.
Ketika daun mulai tumbuh dan menghisap cahaya matahari, tempurung yang keras dan sabut tebal yang tadinya menjadi penghalang buat hidup dijadikannya pupuk dari sendi buat dia melanjutkan hidup.’
Dan kata mereka pula, ‘Tirulah kehidupan kelapa, tidak ada satu bagian pun daripada dirinya yang tidak memberi faedah kepada manusia. Daunnya yang tua dapat dijadikan atap. Pucuknya yang muda dapat dijadikan ketupat, daunnya yang telah kering (kelerai atau manggar) dapat dijadikan suluh. Lidinya dapat dijadikan sapu. Batangnya dapat dijadikan tonggak atau tiang rumah.
Apalagi buahnya; sabutnya dianyam dijadikan tikar, tempurungnya dapat dibakar dijadikan bara. Isinya menjadi makanan, diremas menjadi santan, dimasak menjadi minyak.’
Kata mereka pula, ’Kalau tua jadilah tua-tua kelapa, makin tua makin berminyak.’” (Lembaga Budi cet. Republika hal. 169-170)
Oleh sebab itu, sebagai seorang muslim kita harus bersemangat. Entah menjadi kurma, kelapa, atau kompor yang penting kita bisa memberi manfaat kepada orang lain. Wallahul muwaffiq.
PAK USTADZNYA HAMZAH (Art.Refleksi Hikmah)
Pahlawan tanpa tanda jasa, itulah gelar kehormatan yang disematkan kepada mereka yang mengabdikan diri untuk mendidik generasi umat manusia. Peran teramat penting yang harus diemban, karena memang mendidik bukanlah tugas yang gampang.
Kesabaran adalah point penting yang harus dimiliki oleh manusia-manusia seperti mereka. Tanpa kesabaran mustahil umat manusia bisa memetik buah yang ranum. Tunas-tunas yang tumbuh mungkin saja patah sebelum ia dapat berkembang.
Riwayat-riwayat tentang kesabaran seorang guru masih tertulis indah dalam kenangan. Sejuta cerita masih senantiasa mengalir deras dalam susunan kata serta kisah dari mulut ke mulut sejak zaman perjuangan kemerdekaan. Umar Bakri yang dengan sabar mengayuh sepeda pancalnya masih belum dapat dilupakan. Berganti waktu, berganti pula dengan kisah yang baru.
Kisah ini datang dari sudut ruangan sekolah kami. Kini di zaman ini, rasanya sulit menemukan padanannya. Di saat masa telah berubah, kesabaran seolah menjadi barang langka. Entah karena apa? Orang-orang yang sabar laksana jarum dalam jerami.
Namanya Hamzah, seorang bocah yang berumur kira-kira delapan tahun. Masih terlalu kecil memang untuk berpisah dari pangkuan orang tua. Namun tak mengapa, karena harapan besar telah melampaui segalanya. Kesuksesan buah hati adalah asa, sedangkan kesuksesan ada dibalik keringat, darah dan air mata.
Hari demi hari berganti tapi ia tetap saja sulit untuk ditangani. Tidak banyak yang bisa meluluhkannya. Jangankan diminta menghafalkan ayat-ayat al-Qur’an, duduk saja dalam halaqahnya dalam waktu tertentu mungkin adalah beban berat bagi dirinya. Wajar, karena memang ia masih larut dan tenggelam dalam dunianya. Bermain dan terus bermain, itulah satu hal yang terkadang sulit untuk dipahami oleh banyak orang dewasa.
Tapi tidak dengan ustadz yang satu ini. Kesabarannya telah mengantarkannya menjadi orang yang layak memanggul gelar kehormatan itu. Panggilan ustadz memang pantas untuk dirinya.
Dengan sabar ia mengajari Hamzah. Tak pedulikan lagi ikatan jam kerja. Biarlah fingerprint ditempatnya sementara. Pagi, petang, malam tak kenal lelah. Harapannya membumbung tinggi, bagaimana anak didiknya berhasil dan memperoleh apa yang diinginkan, sesuatu yang nanti bisa membahagiakan banyak orang; orang tua, para guru, pengasuh serta seluruh umat Islam.
Suatu ketika Hamzah dengan ciri khasnya, merengek-rengek karena tidak mau mengaji. Delapan puluh menit berlalu tanpa ada yang dia baca. Bel tanda keluar telah berbunyi, semua santri dengan riang gembira melangkahkan kaki keluar kelas. Tapi tidak dengan Hamzah, ia harus menyelesaikan dulu tanggungannya.
Meronta-ronta sembari menjerit tak suka, namun ustadz senantiasa sabar menuntunnya untuk mengaji. Bergantian suara ustadz dengan suara Hamzah, meski suara Hamzah jauh lebih keras karena bercampur dengan jerit tangis anak-anak.
Kejengkelan telah mencapai puncaknya, Hamzah tak kuasa lagi menahan. Bagaimana tidak? “Ini jam bermain, jangan halangi aku dengan begini ustadz.” Mungkin itulah kira-kira pikiran yang ada dibenak Hamzah kala itu. Tanpa pikir panjang, melayanglah tangan Hamzah. “Pakkk….” berbunyi, karena tepat di pipi ustadz.
Di sinilah inti ceritanya. Apabila santer di media masa berita-berita tentang guru yang menempeleng muridnya, tapi tidak dengan ustadz ini. Ia justru yang ditempeleng muridnya. Namun ternyata hal itu tak sedikit pun membuatnya marah, apalagi turut membalas. Dengan kasih sayang seorang bapak pada anaknya, sambil memijat dengan lembut ia hanturkan; “Ayo nak, ayo mengaji, tinggal sedikit lagi.” Begitulah kurang lebih.
Setelah kejadian tersebut, seorang teman berceletuk: “Seandainya saya, entah apa jadinya. Rasanya tak mungkin saya bisa sesabar itu.”
Sifat sabar adalah sifat yang terpuji. Seorang kesatria yang kuat bukanlah dia yang mampu mengalahkan musuh, menjatuhkan lawan dalam waktu singkat hingga terkapar. Akan tetapi orang yang kuat adalah dia yang sanggup menahan diri dan meredam murka tatkala amarah memuncak. Rasulullah n pernah bersabda:
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Orang yang kuat bukan orang yang pandai dalam pergulatan. Sesunguhnya orang yang kuat adalah dia yang sanggup menguasai dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari: 6114)
Keseharian kerap kali membuat kita jenuh dan bosan. Apalagi harus berjumpa dengan berbagai macam manusia dengan watak yang berbeda-beda pula. Ada yang membuat wajah kita berbinar, tersenyum lepas bahagia, namun tak sedikit juga yang membuat kening kita kusut dan berkerut.
Akan tetapi jika kita telah memutuskan untuk menjadi pendidik, maka kesabaran harus jadi harga mati. Lihatlah Nabi kita; Muhammad n, beliau adalah pendidik yang paling utama. Sifat-sifat beliau adalah satu hal yang wajib untuk diteladani.
Anas bin Malik pernah bercerita: “Pada suatu hari aku berjalan bersama Nabi. Ketika itu beliau memakai jubah Najran yang berbingkai tebal dan kasar. Kemudian datang seorang arab badui menemuinya lantas menarik jubah Nabi dengan keras. Sampai-sampai aku melihat bahu beliau berbekas karena kerasnya tarikan. Kemudian orang itu berkata: ‘Wahai Muhammad, berilah aku bagian dari harta Allah yang ada padamu.’ Nabi menoleh ke arahnya sambil tertawa, kemudian memerintahkan agar orang itu diberi sesuatu.” (HR. Muslim: 1057, Ahmad 20/21)
Andaikata kita berada di posisi beliau, sanggupkah kita berbuat seperti demikian? Itu adalah puncak jiwa besar. Kesabaran, ketenangan, kejernihan pikiran terkumpul menjadi satu. Beliau paham siapa yang sedang beliau hadapi, bagaimana wataknya, serta cara apa yang tepat untuknya, makanya beliau hanya tertawa, tidak mau ambil pusing dan memperpanjang masalah.
Banyak orang yang sudah tahu keutamaan sifat sabar, menguasai tips dan trik menjadi penyabar, namun sayang belum mampu terealisasi dalam kehidupannya. Sebabnya apa? Entahlah. Namun yang pasti tentu karena kurangnya kesungguhan.
Di tengah kebangkitan Islam ini dengan meningkatnya kesadaran terhadap pendidikan agama, pendidik dengan kualifikasi kesabaran tinggi sangat dibutuhkan, disamping keahlian dibidangnya. Figur-figur seperti pak ustadznya Hamzah harus ditumbuh suburkan. Terlebih pada tingkat pendidikan anak-anak, karena ini adalah proses pembentukan karakter dasar bagi mereka yang sangat penting dan menentukan.
Namun yang membuat kita prihatin, justru sering kali pada tingkatan ini yang berperan adalah mereka yang bukan ahlinya. Guru-guru yang baru turun gunung dipaksakan untuk mengatasi seabrek problematika dunia anak-anak. Sehingga, jauh panggang dari api, tujuan pendidikan tidak tercapai. Bahkan malah sebaliknya, anak-anak jadi kelinci percobaan.
Oleh sebab itu, meningkatkan kesabaran diri adalah kelaziman bagi setiap pendidik. Sinergi positif antar elemen pendidikan dalam penempatan figur pada tempat yang tepat adalah kewajiban. Sehingga dengan demikian, besar harapan kita dapat melahirkan generasi-generasi yang baik untuk agama, bangsa dan negara di masa depan. Wallahul muwaffiq.
MENGAPA ENGKAU TIDAK MENIKAHI GADIS? (Art.Refleksi Hikmah)
Seorang pemuda sebut saja Ahmad sedang temangu dalam kesendirian. Ia tak kuasa menahan air mata. Hatinya seolah hancur menjadi kepingan ketika ia merenungi keadaan dirinya. Ia dihadapkan pada dua pilihan yang membuatnya dilema. Kemudian disaat seperti itu datang lagi ujian baru yang menjadikannya semakin remuk dan terpuruk.
Biduknya tertumbuk di tepian karang. Ia masih bimbang menentukan sikap; apakah akan dibelokkan kekiri atau kekanan. Saat pilihan belum tampak gelombang besar pun datang menghantam, menghempaskannya ke bebatuan. Biduknya pecah, dayungnya hilang. Sementara ia sendiri masih berusaha merangkak menyelamatkan diri dengan tubuh penuh luka.
Ahmad telah membulatkan tekad untuk menikah, mengingat memang sudah waktunya. Segala persiapan ia pandang sudah cukup untuk melangkah. Meskipun penghasilannya hanya pas-pasan, namun ia rasa itu sudah cukup untuk bekal berumah tangga. Disamping keyakinannya bahwa Allah-lah yang menjamin rezekinya.
Akhirnya jalan menuju kesana ia tempuh. Detik waktu telah mengantarkannya kepada calon pendamping idaman. Tahapan demi tahapan ia lalui. Semua serasa mudah karena jalan masih landai.
Sampailah di ujung jalan. Bagian datar sudah tiada, sekarang jalan mulai mendaki. Kian lama kian terjal, berbatu dan berliku. Semua seolah berubah, yang semula begitu mudah menjadi sukar. Benang kusut, tak tahu mana ujung mana pangkal. Masalah demi masalah bertumpuk, membuat sempit dada dan sakit kepala.
Saat ia di jalan menuju pernikahan, hampir sampai, sudah setengah jalan, datanglah kabar yang tidak diinginkan. Kakaknya yang selama ini menanggung hidup ibunya tercinta tengah diuji pula. Keadaannya sungguh sangat sulit dan memprihatinkan. Tidak memungkinkan untuk menanggung biaya hidup ibu yang sudah renta. Dengan cucuran air mata ia sampaikan hal itu ke Ahmad, berharap semoga Ahmad punya jalan keluar untuk hal itu.
Tinggallah Ahmad bersama kegundahan. Hatinya pilu bagai disayat sembilu. Pilihannya sudah jelas didepan mata. Hanya tinggal memilih satu dari keduanya.
Terbayang raut wajah ibunya. Kerutan-kerutan di wajah dan kulitnya terlintas jelas. Terkenang pancaran sinar mata yang sudah mulai redup, senyuman kasih sayang, dekapan hangat, pengorbanan sang ibu yang tiada henti. Tak sanggup ia membendung air mata.
Disisi lain teringat pula indahnya pernikahan, kebahagiaan, ketenangan hidup, pendamping yang siap mendengarkan dan berbagi cerita lelahnya kehidupan, yang akan menghilangkan rasa sepi dan kesendirian.
Tapi ia hanyalah seorang pemuda yang tak punya.
Penghasilannya tidak mungkin untuk menggabungkan keduanya. Ia harus memilih antara berbakti kepada ibu atau melanjutkan perjalanan menuju pernikahan. Masing-masing pilihan mempunyai kosekuensi tersendiri yang sama-sama tidak mengenakkan.
Hari berganti waktu terus berjalan. Akhirnya Ahmad memang harus mengambil pilihan. Tidak ada pilihan lain bagi Ahmad selain mendahulukan ibunya. Bagaimana mungkin ia wujudkan kesenangan dan kebahagiaan dirinya sementara ibunya berada dalam keterlantaran. Ia korbankan kebahagiannya demi ibu tercinta. Pernikahan berusaha ia lupakan untuk sementara, berharap mudah-mudahan Allah segera memudahan segala urusannya.
Kami tidak menyalahkan engkau sedikit pun wahai Ahmad atas apa yang engkau rasakan. Jika kami menjadi engkau, kami pun tidak ragu lagi akan merasa persis seperti apa yang engkau rasakan. Namun jangan berkecil hati, engkau punya teladan dalam hal ini.
Jabir bin Abdillah adalah seorang sahabat Nabi yang mulia. Ayahnya gugur di medan perang dan meninggalkan 9 orang saudara perempuan yang semuanya menggantungkan hidup kepadanya.
Tidak hanya sampai disitu, ayahnya juga meninggalkan banyak hutang yang harus ditanggungnya, padahal ia masih seorang pemuda belia. Akibatnya, Jabir selalu berpikir keras dan pikirannya disibukkan dengan urusan hutang dan saudara-saudara perempuannya.
Namun meskipun begitu, Jabir tetap tidak ingin ketinggalan dalam beramal kebajikan. Ia tetap ikut serta dalam perang bersama Rasulullah.
Dalam sebuah perjalanan perang, Rasulullah mendapati Jabir berada di barisan paling belakang disebabkan unta yang ditungganginya adalah unta yang kurus dan lemah bahkan nyaris tidak bisa berjalan. Kemudian Nabi bertanya:
“Kenapa engkau wahai Jabir?”
Jabir: “Wahai Rasulullah, untaku ini yang membuatku lambat.”
Nabi: “Istirahatkan untamu”
Jabir mengistirahatkan untanya dan Nabi pun mengistirahatkan untanya.
Lalu Nabi bersabda: “Berilah aku tongkat dari tanganmu, atau potonglah tongkat dari pohon dan berikan padaku.”
Kemudian Jabir memberikan tongkat kepada beliau. Unta Jabir duduk di tanah dalam kondisi letih dan lemah. Nabi menghampiri unta tersebut dan memukulnya dengan tongkat itu sedikit saja. Tiba-tiba unta tersebut bangkit dan berlari dengan penuh semangat.
Jabir senang sekali melihatnya dan segera naik kepunggungnya. Jabir berjalan di samping Nabi dengan perasaan senang dan gembira.
Kemudian Nabi kembali bertanya kepada Jabir.
“Hai Jabir, apakah engkau sudah menikah?”
“Sudah, wahai Rasulullah” jawab Jabir
”Gadis atau janda?” tanya Nabi pula
”Janda” jawab Jabir.
Nabi merasa heran, bagaimana mungkin seorang anak muda yang masih perjaka menikah dengan seorang janda.
Lalu sambil bercanda Nabi bertanya:”Mengapa engkau tidak menikah dengan seorang gadis yang bisa engkau ajak bermain dan dia pun bisa mengajakmu bermain?”
Jabir pun menjawab :”Ya Rasulullah, sesungguhnya ayahku meninggal dalam perang Uhud. Dan dia meninggalkan 9 orang saudara perempuan yang semuanya menggantungkan hidup padaku.”
Maksud ucapan Jabir: Aku tidak mau menikah dengan gadis muda seperti mereka, karena bisa terjadi banyak pertengkaran. Aku menikah dengan wanita yang lebih tua dari mereka supaya bisa menjadi seperti ibu mereka.
Lihatlah sahabat yang satu ini. Ia adalah seorang pemuda yang rela mengorbankan kesenangan pribadinya demi saudara-saudara perempuannya. Ia tidak menikahi gadis bukan karena ia tidak ingin, bukan pula karena ia tidak tahu kesenangan menikahi seorang gadis. Namun semua itu ia lakukan demi kemaslahatan yang lebih besar.
Memang pengorbanan itu dibutuhkan. Seandainya tidak ada perngorbanan, tidak ada yang mau mengalah, semua orang mengedepankan kepentingan masing-masing, maka kehidupan manusia akan hancur berantakan. Kemanapun pergi yang dijumpai hanyalah kekacauan.
Lalu lintas awut-awutan, mobil-mobil saling bertabrakan.
Di tempat-tempat umum terjadi kegaduhan karena tidak ada kata antrian yang ada adalah hukum rimba; siapa yang kuat dialah yang berkuasa. Rumah tangga pecah. Pertengkaran berakhir dengan kata pisah karena suami istri tidak ada yang mau mengalah.
Semoga Allah merahmati Jabir bin Abdillah, Ahmad dan orang-orang yang seperti mereka. Alangkah butuhnya manusia kepada pengorbanan.
Rela berkorban demi kemaslahatan yang lebih besar adalah sifat terpuji. Sulit ditemukan orang-orang dengan sifat ini, karena memang sifat ini sifat yang berat yang terkadang harus dipikul dengan air mata. Hanya orang-orang berjiwa besar saja yang sanggup memikulnya.
Zahir Abu Zaid Al-Minangkabawi
SALAH MENGIDOLAKAN (Art.Refleksi Hikmah)
Kita tidak bisa memungkiri bahwa saat ini umat Islam secara umum berada pada fase kelemahan. Kerusakan di sendi-sendi kehidupan umat ini bisa dikatakan sudah mencapai titik yang menghawatirkan.
Hilangnya figur-figur teladan turut pula memperparah keadaan. Hingga kita pun merasakan betapa lemahnya bangunan Islam ini sekarang.
Darah-darah muda yang di masa keemasan dahulu menjadi ujung tombak perjuangan, saat ini pun sangat memprihatinkan. Mereka sekarang tak ubahnya seperti bola mainan bagi musuh-musuh umat Islam.
Ketangguhan, kepahlawanan, kegarangan para pemuda umat Islam seolah hanya tinggal kenangan, terkubur dalam buku-buku sejarah yang sudah berdebu karena sekian lama tidak pernah dibaca lagi, maka benarlah sabda Rasulullah ketika beliau mengatakan :
لَا يَأْتِي عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلَّا الَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ
”Tidaklah datang suatu zaman kepada kalian melainkan yang setelahnya lebih buruk darinya (sebelumnya).” (HR. Bukhari: 7068)
Salah satu dilema umat Islam dewasa ini adalah salah kaprah dalam mengambil figur teladan. Banyak orang-orang yang tidak layak atau tidak boleh untuk diteladani tapi justru diidolakan oleh sebagian besar umat Islam.
Pelaku kemaksiatan, orang-orang fasik dan tidak sedikit pula orang-orang kafir yang justru disanjung dan dipuja, diikuti jalan dan gaya hidupnya hanya disebabkan mereka memiliki kelebihan dari sisi dunia.
Para pemuda yang mengidolakan musisi, pembalap, pemain bola. Gadis-gadis remaja yang mengidolakan artis-artis Korea ataupun ibu-ibu yang tengah demam bintang-bintang film.
Semua yang diidolakan itu bisa dikatakan mereka yang mendapat cap “tidak layak” untuk dijadikan figur teladan. Bagaimana tidak sedangkan mereka adalah orang-orang kafir atau minimalnya orang-orang fasik, pelaku maksiat yang dilarang oleh Islam untuk dijadikan panutan. Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَوَلَّوْا قَوْمًا غَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ قَدْ يَئِسُوا مِنَ الْآخِرَةِ كَمَا يَئِسَ الْكُفَّارُ مِنْ أَصْحَابِ الْقُبُورِ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan penolongmu kaum yang dimurkai Allah. Sesungguhnya mereka telah putus asa terhadap negeri akhirat sebagaimana orang-orang kafir yang telah berada dalam kubur berputus asa. (QS. Al-Mumtahanah: 13)
Kenyataan ini tentu amat menyedihkan, tapi yang lebih miris lagi adalah ketika musibah ini ternyata juga melanda para penuntut ilmu, orang-orang yang setiap hari digembleng dengan petuah-petuah ilahi, dibentengi dengan ilmu syar’i, namun meskipun demikian, harus kita akui musibah ini lebih kuat dari apa yang kita duga.
Di lingkungan pondok pesantren saja yang notabenenya dihuni oleh orang-orang baik, kita bisa menyaksikan dengan mata kepala sendiri sebagian santri “latah” yang ikut-ikutan bergaya seperti idolanya yang sebagaimana kita katakan. Lantas bagaimanakah gerangan keadaan mereka di luar pondok pesantren.
Tentu sangat mengerikan, kita seolah tidak dapat membayangkannya. Di tempat yang dikelilingi dengan kebaikan saja mereka seperti itu adanya, tentu diluar dari pada itu keadaan mereka jelas lebih rusak lagi.
Lihatlah gaya rambut, model pakaian, tingkah laku mereka. Semua sudah cukup untuk menunjukkan lemahnya kepribadian dan hilangnya prinsip hidup mereka. Dengan mudah mereka dipermainkan, dibodoh-bodohi tanpa sadar.
Kita bisa mengukur dan memperhatikan keadaan umat Islam khususnya di negeri kita ini pada beberapa tahun yang akan datang, karena pernah dikatakan bahwa,
“Baik atau buruknya suatu bangsa pada masa mendatang tergantung baik buruknya para pemudanya sekarang.”
Karena memang mereka adalah tunas bangsa yang apabila sampai waktunya akan berubah menjadi dahan dan dedaunan. Apabila tunasnya saja berpenyakit, bagaimana mungkin akan menghasilkan dahan-dahan yang kokoh dan tangguh untuk menghadapi terpaan angin kencang, kecuali jika diobati sejak dini dan diperhatikan.
Kerusakan-kerusakan ini tentunya disebabkan oleh adanya kesalahan dalam tubuh umat ini.
Namun kita tidak boleh menyalahkan satu pihak saja atau malah saling menyalahkan. Kita harus objektif dalam memandang permasalahan. Apa yang ada dihadapan kita sekarang merupakan tanggung jawab kira bersama.
Bersama kita mencari penyebabnya dan bersama pula kita mencari jalan keluarnya. Karena kita adalah satu tubuh, satu dengan yang lain saling berkaitan. Rosulullah mengatakan :
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِى تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Permisalan orang-orang beriman dalam kasih sayang dan simpati mereka seperti satu tubuh, apabila satu bagiannya sakit, maka seluruh tubuh akan merasa demam.” (HR. Bukhori: 6011 dan Muslim: 2586)
Diantara solusi yang paling ampuh adalah memulai dari diri sendiri terlebih dahulu. Menilik diri sendiri sebelum orang lain. Jangan sampai terjadi seperti yang dikatakan oleh orang tua kita dahulu;
“Tungau yang diseberang lautan tampak sedangkan gajah dikelopak mata tak tampak.”
Oleh karena itu mari intropeksi diri sebelum memperbaiki orang lain. Coba tanyakan kepada diri kita siapakah kira-kira yang selama ini kita idolakan. Lihat dan cermati, apakah layak ia dijadikan panutan. Timbang dengan timbangan yang benar dan lihat dengan kaca mata yang bening. Kemudian ambil sikap yang tegas.
Figur-figur yang layak dijadikan teladan ambil serta pertahankan dan figur-figur yang tidak lulus timbangan buang dan campakkan, ganti dengan orang-orang yang pantas di idolakan. Para Nabi, sahabat, ulama dan orang-orang shaleh, merekalah yang layak di idolakan.
Abu Zaid al-Minangkabawi Ali 3
KOTA PERCONTOHAN (Art.Refleksi Hikmah)
Jakarta
Jika Anda pernah berkunjung ke Jakarta, maka Anda akan mengatakan Jakarta adalah kota yang luar biasa. Luar biasa megahnya dengan deretan gedung-gedung pencakar langit, jalanan yang bersimpang siur, ramai, apalagi di malam hari kerlap-kerlip lampu yang begitu menawan, semuanya ada dan tidak lupa dengan macetnya.
Yang terakhir mungkin sudah jadi ciri khas kota ini, sehingga bisa dijadikan oleh-oleh buat mereka yang ingin pulang kampung.
Memang sepertinya banyak hal yang luar biasa di kota ini, membuat heran setiap orang yang baru menjajakinya. Orang-orang di kota ini seolah tidak pernah beristirahat, perpacu dengan waktu dan keringat supaya tidak teringgal oleh orang lain.
Perekonomian luar biasa, perputaran uang sangat cepat. Peluang kerja? Entahlah. Tapi buktinya setiap habis lebaran selalu bertambah saja jumlah orang baru yang datang ke kota ini. Benar, ia punya daya tarik tersendiri.
Suatu hari, kami baru saja keluar dari Stasiun Pasar Senen, melewati sebuah proyek perbaikan jalan. Pengerjaannya tengah berlangsung. Ada eskavator dan beberapa kendaraan proyek lainnya. Para pekerja pun tengah sibuk dengan job mereka masing-masing. Ada beberapa di antara mereka yang berdiri berjejer sambil memperhatikan keadaan sekitar. Sepertinya sedang menunggu perintah baru dari atasan.
Tidak ada yang aneh dari mereka. Seperti biasa; baju kerja, sepatu bot, lengkap dengan helm di kepala, dan tidak lupa keringat dan rasa letih di wajah mereka. Namun, setelah mobil kami mendekat, baru kami sadar bahwa dua orang di antara mereka adalah perempuan. Sambil bercanda, pak sopir kami berceletuk ke arah saya; “persamaan gender”.
Beberapa tahun sebelumnya, masih di kota yang sama, saya sempat heran, takjub sekaligus prihatin. Ketika hendak membayar ongkos Kopaja, ternyata kernetnya adalah seorang perempuan. Waktu itu mungkin belum terpikiran, tapi setelah mendapat inspirasi dari pak supir tadi, mungkin sekarang saya juga akan berceletuk; “persamaan gender”.
Kesetaraan gender
Isu kesetaraan gender ini memang sudah menjadi isu yang tiada habisnya. Bahkan semakin hari semakin meningkat, terus diperjuangkan baik di tingkat eksekutif maupun legislatif. Apalagi kemarin baru saja selesai peringatan hari Kartini, sehingga kembali menghangatkan suasana. Sebab katanya, Ibu Kartinilah salah satu pejuang yang memperjuangkan hak-hak perempuan di negeri kita ini.
Gender yang dimaksud di sini, tentu bukan jenis kelamin laki-laki atau perempuan karena dalam masalah ini pasti semua sepakat mengatakan bahwa keduanya berbeda. Akan tetapi, lebih ditekankan pada peranan dan fungsi yang ada dan dibuat oleh masyarakat.
Jika isu tersebut sebatas pada hal itu maka kita mungkin tidak terlalu ambil pusing. Tapi pada kenyataannya juga merembet membawa nama Islam. Dengan sorak-sorai mereka mengatakan Islam tidak adil, Islam mendeskriminasikan kaum perempun, mengekang perempuan dalam rumah seperti seekor burung dalam sangkar emas. Mereka tidak boleh ikut serta dalam banyak hal, serta celoteh-celoteh lainnya.
Dan yang membuat kita juga tak habis pikir yang menjadi pejuangnya ternyata mereka yang mengaku muslim atau muslimah. Kemudian yang menambah prihatin, banyak umat Islam yang termakan isu tersebut, mulai dari masyarakat awam sampai kaum intelektual. Cukup sudah semuanya.
Entah apa motivasinya, tapi seandainya mereka mau mempelajari dan merenungi syariat Islam tentu mereka akan menyadari bahwa justru Islam-lah yang menyelamatkan, melindungi, mengangkat serta menempatkan wanita pada tempat yang mulia.
Bagaimana tidak, di zaman jahiliyah kaum wanita mengalami nasib yang sangat tragis. Ia diakui keberadaannya, tetapi tidak dihargai kedudukannya. Bahkan ada yang sampai menyebutkan bahwa wanita di zaman itu tak ubahnya sebagai barang mainan. Di waktu malam menjadi alas tidur dan di waktu siang menjadi alas kaki.
Wanita yang berparas cantik dijadikan pemuas nafsu. Jatuh dari pelukan satu lelaki ke lelaki yang lain. Terkadang, juga bisa dijadikan suguhan kepada tamu sebagai jamuan dan penghormatan. Laksana hidangan yang bisa dilahap kapan saja dan oleh siapa saja. Wanita sama sekali tidak punya harga diri.
Lantas Islam datang, menyelamatkan dan meletakkan mereka pada tempat yang sangat mulia. Hanya saja, masih banyak pihak yang gelap mata, sehingga belum melihat hal itu. Dan kalau pun melihat mereka pura-pura tidak tahu.
Kota percontohan
Hari ini, sepertinya masa suram itu hendak dikembalikan lagi oleh manusia-manusia busuk yang tidak bertanggung jawab dengan dalih kesetaraan gender. Mereka ingin kaum wanita itu busuk seperti busuknya mereka.
Lihat saja keadaan wanita sekarang, mereka dijadikan alat untuk mencapai tujuan; harta, kekuasaan, kepuasan dan seterusnya. Coba lihat iklan-iklan di media baik cetak maupun elektronik, hampir semuanya wanita. Bayangkan, iklan oli saja ada wanitanya.
Kembali kecerita semula, tampaknya Jakarta ini mau dijadikan kota percontohan dari kesetaraan gender yang kebablasan itu. Pokoknya wanita dan laki-laki itu tidak ada bedanya. Wanita juga boleh berkiprah di ranah politik, pemerintah, ekonomi, kesehatan dan tidak lupa pada proyek pengerjaan jalan serta trasnportasi termasuk knek Kopaja.
Saya masih teringat, ada yang mengatakan; kenapa sulit mencari lapangan pekerjaan? Kenapa banyak laki-laki pengangguran? Jawabannya karena sebagain besar dari pekerjaan laki-laki sekarang telah beralih ke tangan perempuan. Sepertinya benar….
Kebebasan dan kemerdekaan
Berbicara tentang kebebasan dan kemerdekaan perempuan, justru hal itu ada pada aturan yang telah disyariatkan oleh Islam. Bukan pada kebebasan yang dikonsepkan oleh orang-orang zaman sekarang; “wanita boleh melakukan apa saja, mereka bebas, jangan halangi karier mereka, jangan tutup mata mereka untuk melihat dunia, karena mereka punya hak juga”.
Sebagai seorang muslim, tentu kita percaya bahwa tidak ada syariat yang akan membawa pada keburukan. Bahkan kita yakin setiap ketentuan Allah pasti di baliknya ada hikmah dan kebaikan yang luar biasa.
Jika seorang muslimah yang masih memiliki iman mau berkata jujur dari lubuk hatinya yang terdalam, maka ia akan mengatakan bahwa kebebasan perempuan hari ini adalah sebuah kepura-puraan. Raga mereka bebas, tapi batin mereka justru terjajah oleh perasaan bersalah. Karena mereka sadar bahwa Allah memang telah menciptakan laki-laki dan perempuan dengan perbedaan.
Inilah dia Ibunda Maryam yang jelas-jelas mengatakan hal itu, seperti yang dihikayatkan Allah dalam al-Qur’an.
وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنثَىٰ
Dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. (QS. Ali Imran: 36)
Jadi, wahai saudariku muslimah jangan mau menjadi korban dari propaganda ini meski banyak sekali orang yang menyorakkannya. Anda telah dimuliakan oleh Islam maka jagalah kemuliaan itu.
Seruan itu hanyalah tipuan. Ibarat seorang yang menawarkan air kepada Anda yang tengah kehausan. Begitu segar kelihatannya, tapi ternyata itu bukan air tawar tapi itu air laut. Sekali Anda meminumnya Anda akan semakin kehausan lantas mati dalam keadaan tertimpa penderitaan di atas penderitaan. Sudah jatuh tertimpa tangga, sudah kehausan tertipu pula. Wallahul muwaffiq.
BA-A LO KO? (Art.Refleksi Hikmah)
REALITA
Beberapa tahun yang lalu, saya pernah mengikuti daurah (pelatihan) 20 hari yang diadakan oleh salah satu universitas ternama Arab Saudi di Jakarta. Salah satu pematerinya adalah seorang doktor dalam bidang tafsir, hafal al-Qur’an dan kutubus sittah. Bahkan beliau punya halaqah khusus di Masjid Nabawi untuk menghafal hadits-hadits Nabi.
Seingat saya namanya adalah Dr. Shalih Atsnayan. Beliau adalah seorang yang ramah dan mudah tersenyum, sehingga tidak heran membuat banyak peserta daurah dekat dan senantiasa mengerumuninya. Saya pun di beberapa kesempatan pernah berbincang dengannya. Dan jujur saya menyukainya, karena keramahan, senyum dan keelokan akhlaknya.
Ada satu hal menarik darinya, ia pernah mengungkapkan perasaan serta pandangannya terhadap masyarakat Indonesia, karena memang saat itu adalah kali pertama ia berkunjung ke negeri ini. Ia mengatakan dengan bahasa Arab yang fasih bahwa:
“Saya senang dengan orang Indonesia, sebab mereka ramah dan mudah tersenyum. Kemana pun saya pergi, saya dapati mereka adalah orang yang lembut dan baik.”
Begitulah kira-kira inti dari ucapannya. Saya sebagai pribumi tentu sangat gembira mendengar hal tersebut, sebab itu adalah sebuah pujian kepada bangsa saya.
Lain lagi dengan cerita bapak ini. Ia tinggal di pinggiran kota Bekasi, di sebuah komplek biasa. Maksud saya meski mayoritas orang yang tinggal di sana adalah masyarakat dengan strata sosial menengah ke atas namun masih awam dengan ilmu agama.
Padahal ia punya rumah juga di daerah Cileungsi di sebuah komplek sunnah, tapi rumah itu dibiarkan kosong dan bahkan ia berniat untuk menjualnya.
Tentu ini adalah suatu yang mengherankan, terlebih bagi saya pribadi. ”Kenapa bapak tidak tinggal di Celeungsi, bukankah di sana komplek sunnah, Pak?” tanya saya padanya.
Dengan ringan ia menjawab: “Saya lebih senang di sini ketimbang di Celeungsi. Sebab, di sini meski masih banyak orang awamnya tapi mereka ramah dan tidak kaku.”
Kisah yang ketiga ini datang dari pulau seribu pura, salah satu tujuan para pelancong baik domestik maupun mancanegara. Bahagia sekali rasanya jika bisa berjumpa dengan sesama muslim di tengah aroma dupa yang menusuk hidung, patung-patung segala rupa yang berserakan pada tiap sudut kota dan desa.
Semestinya di tempat seperti itu jalinan ukhuwah dan kasih sayang sesama muslim harus lebih erat lagi, mengingat bahwa muslim adalah etnis minoritas. Tapi sangat disayangkan, justru ada beberapa oknum yang merusak jalinan tersebut.
“Di Singaraja sebenarnya sudah ada juga orang-orang jenggotan, celana cingrang, dst, tapi kalau kita mengucapkan salam malah tak dijawab, Ustadz.” ungkap seorang pengurus salah satu masjid di daerah Lovina kepada kami. La haula wala quwata illa billah.
BAA LO KO?
Pertanyaan di atas adalah bahasa Minang, untuk menunjukkan keheranan terhadap sesuatu. “Kenapa kok bisa begini”, itulah kira-kira maknanya. Saya rasa Anda akan sepakat dengan saya melontarkan pertanyaan yang semisal. Kenapa tidak? Sebab ini adalah sebuah hal yang mengherankan.
Bayangkan saja, bagaimana mungkin seorang muslim semakin jelek muamalahnya kepada sesama justru saat ia telah mengenal agama, padahal ketika masih awam tidak seperti itu. Dan bila dicermati, ini pun bukan karakter bangsa Indonesia asli yang terkenal ramah dan senang berbasa basi.
Kenapa setelah hidayah datang menyapa yang membuat ringan kaki untuk pergi mengaji, kita berubah sehingga tidak seperti dulu lagi? Kita yang dahulu seorang yang ramah dan banyak basa basi sekarang menjelma menjadi manusia besi; kaku, cuek dan tak peduli.
Memang beginilah kenyataannya, sebagian orang semakin jauh dari sesama, bahkan dari orang-orang penting dalam hidupnya semisal ayah, ibu dan sanak saudara justru setelah mengenal metode beragama yang benar yaitu mengikuti petunjuk al-Qur’an, sunnah Nabi dengan pemahaman salafush shalih. Tentu kita akan bertanya; Kenapa bisa begini, yang salah siapa? Apakah agamanya? Tentu tidak. Apakah pak Ustadznya? Rasanya juga tidak. Lantas siapa?
SALAH KAPRAH
Sepertinya hal ini bermula dari salah kaprah terhadap satu permasalahan. Mereka pikir bahwa manhaj salafush shalih dalam beragama itu hanya berkisar pada pembenahan akidah. Asal tauhidnya mantap dan tidak terjatuh pada kesyirikan, sudah cukup. Padahal Islam adalah agama paripurna, mencakup dan mengatur segalanya, termasuk akhlak dan tata krama bermuamalah antar sesama.
Rasulullah pernah bersabda:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحَاسِنُهُمْ أَخْلاقًا ، الْمُوَطَّئُونَ أَكْنَافًا ، الَّذِينَ يَأْلَفُونَ وَيُؤْلَفُونَ ، وَلاَ خَيْرَ فِيمَنْ لا يَأْلَفُ وَلاَ يُؤْلَفُ
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, yang mau merendahkan pundaknya, yaitu orang-orang yang mau bersikap akrab dan mau diajak bersikap akrab. Dan tidak ada kebaikan pada diri orang yang tidak mau bersikap akrab dan tidak mau diajak bersikap akrab.” (HR.Thabrani, Mu’jamus Shagir: 605 dishahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahih 2/389)
Bahkan Imam Ahmad dan yang lainnya menyebutkan sebuah riwayat yang menunjukkan bahwa akhlak menempati posisi penting dalam kehidupan. Sebab, akhlak juga sebagai salah satu penentu selamat atau celakanya seseorang nanti di hari kiamat mengalahkan ibadah yang mungkin siang malam ia kerjakan.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ فُلَانَةَ يُذْكَرُ مِنْ كَثْرَةِ صَلَاتِهَا، وَصِيَامِهَا، وَصَدَقَتِهَا، غَيْرَ أَنَّهَا تُؤْذِي جِيرَانَهَا بِلِسَانِهَا، قَالَ: " هِيَ فِي النَّارِ "
Dari Abu Hurairah, ia berkata: “Seorang laki-laki berkata, ‘Wahai Rasulullah! Sesungguhnya si fulanah banyak shalatnya, banyak pula sedekah dan puasanya, namun ia suka menyakiti tetangganya dengan lisannya.’ Maka Nabi bersabda, ‘Ia di Neraka.’” (HR. Ahmad no. 9675 dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib no.2560)
DARI ULAT JADI KUPU-KUPU
Saudaraku, untuk apa kita belajar agama kalau bukan untuk menjadi lebih baik. Andaikata ketika kita mengenal agama justru merubah kita menjadi ulat yang membuat gatal setiap tangan yang memegang dan menjijikkan setiap mata yang memandang, maka segeralah tilik diri sebab disana ada hal yang keliru dan butuh untuk segera diperbaiki.
Kita mempelajari agama ini untuk menambah rasa takut kita kepada Allah, agar kita bisa menundukkan diri, bersimpuh memperlihatkan kehinaan kita di hadapan-Nya serta dapat menjadikan kita orang yang bisa menghargai dan menunaikan hak-hak sesama makhluk-Nya.
Besar harapan kita dengan belajar itu merubah keadaan kita dari ulat menjadi kupu-kupu. Kita yang dahulu dibenci karena keburukan akhlak; ini tangan yang dahulu sering melukai dan ini lidah yang acap kali menyakiti, hendaknya dapat kita kikis dan diganti dengan kecintaan, seperti kupu-kupu yang menebar banyak kebaikan, membuat bahagia tiap mata yang memandang. Singkat kata, kita belajar untuk menjadi manusia yang lebih baik. Wallahul muawaffiq.
Oleh: Zahir al-Minangkabawi
Langganan:
Postingan (Atom)