Selasa, 24 Oktober 2017
LAKI APA PEREMPUAN?! (Art.Salayok59)
Hari ini, kita kadang sulit membedakan mana laki mana perempuan. Sebab, yang laki mirip perempuan yang perempuan mirip laki.
Sekarang yang pakai anting bukan hanya perempuan tapi laki-laki juga. Perempuan pun begitu, ngak sedikit juga yang pakai celana. Herannya lagi, di atasnya pakai hijab bawahnya celana “jin” yang ketat, tambah lagi ngeber “CBR”.
Padahal, Allah menciptakan manusia dengan jenis dan karakter masing-masing, yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Maka jika laki-laki menyerupai wanita -begitu juga sebaliknya- berarti ia telah merubah ciptaan Allah dan menentang ketetapan-Nya.
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ الْمُتَشَبِّهِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ
"Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melaknat kaum laki-laki yang menyerupai kaum wanita dan kaum wanita yang menyerupai kaum laki-laki.” (HR. al- Bukhari 5435)
Oleh sebab itu, perhatikanlah penampilan Anda dan juga keluarga Anda. Jangan sampai nanti malah menjadi kaum terlaknat.
Semoga bermanfaat
Zahir al-Minangkabawi
Kamis, 19 Oktober 2017
KATA ORANG (Art.Salayok58)
Kalau kita mau jujur, banyak di antara kita ini yang hidupnya berada dalam ketakutan di bawah bayang-bayang “apa kata orang.”
Takut melakukan ini karena khawatir “kata orang.” Tidak jadi melakukan itu juga karena takut “kata orang.” Mau ini itu selalu takut kata orang. Sampai-sampai ada perempuan belum juga menutup aurat sempurna padahal ia sudah tahu jalannya, juga lantaran khawatir “kata orang.”
Memang benar kita diperintahkan untuk menjaga harga diri agar tidak menjadi “buah bibir orang-orang.” Namun, disatu sisi kita harus sadar bahwa bibir orang-orang itu terlalu subur, sehingga ia akan tetap berbuah meski pun tidak disiram dan dipupuk.
Kita menginginkan semua manusia ridha dengan kita?! Mustahil, buang saja mimpi itu ganti dengan yang baru. Dengar apa kata Imam Syafi’i rahimahullah:
رِضَى النَّاسِ غَايَةٌ لاَ تُدْرَكُ، وَلَيْسَ إِلَى السَّلاَمَةِ مِنْهُم سَبِيْلٌ، فَعَلَيْكَ بِمَا يَنْفَعُكَ، فَالْزَمْهُ
“Mendapatkan keridhaan seluruh manusia adalah sebuah tujuan yang takkan mungkin digapai. Tidak ada jalan untuk selamat dari mereka. Cukuplah bagimu untuk menekuni hal-hal yang bermanfaat untukmu.” (Siyar A’lamin Nubala’: 10/89)
Jangankan perbuatan kita, perbuatan Allah saja pasti ada yang tidak suka. Hujan misalnya, ada orang yang bersyukur dengan mengatakan alhamdulillah, tapi ada juga orang-orang yang tidak suka, tidak ridha sehingga mengatakan; "hujan lagi, hujan lagi..."
Ingat, kita ini hidup untuk Allah bukan untuk orang apalagi untuk “kata orang.” Yang dicari dan diusahakan adalah ridha Allah bukan ridha orang-orang. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنِ التَمَسَ رِضَاءَ اللهِ بِسَخَطِ النَّاسِ كَفَاهُ اللَّهُ مُؤْنَةَ النَّاسِ ، وَمَنِ التَمَسَ رِضَاءَ النَّاسِ بِسَخَطِ اللهِ وَكَلَهُ اللَّهُ إِلَى النَّاسِ
“Barang siapa mencari keridhaan Allah sekalipun beresiko mendatangkan kebencian manusia, niscaya Allah akan membebaskan dia dari ketergantungan kepada manusia. Dan barangsiapa mencari keridhaan manusia dengan melakukan hal-hal yang mendatangkan kemurkaan Allah, niscaya Allah akan menjadikannya selalu tergantung kepada manusia.” (HR. Tirmidzi: 2414, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 2250)
Oleh sebab itu, kalau kita masih takut dengan “kata orang” maka selamanya kita akan bergantung pada “kata orang” itu. Kemudian mati dan celaka, berjumpa dengan kemurkaan Allah. Karena kita tidak mau menuruti perintah-nya lantaran kata orang tadi. Lantas baru kemudian menyesal, tapi sesal kemudian apalah guna.
KAYU BAKAR (Art.Salayok57)
Salah seorang sahabat Nabi yang mulia, Mu’adz bin Jabal pernah menuturkan:
كُنْتُ رِدْفَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَى حِمَارٍ يُقَالُ لَهُ عُفَيْرٌ قَالَ فَقَالَ « يَا مُعَاذُ تَدْرِى مَا حَقُّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ ». قَالَ قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « فَإِنَّ حَقَّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوا اللَّهَ وَلاَ يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَحَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ لاَ يُعَذِّبَ مَنْ لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا ». قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلاَ أُبَشِّرُ النَّاسَ قَالَ « لاَ تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوا .
Pernah suatu ketika aku dibondeng oleh Rasulullah di atas seekor himar yang bernama ‘Ufair. Lalu beliau berkata kepadaku:
“Wahai Mu’adz, tahukah engkau apa hak Allah atas hamba-Nya dan apa hak hamba atas Allah?” Aku menjawab: “Hanya Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau bersabda:
“Sesungguhnya hak Allah atas hamba-Nya adalah mereka hanya beribadah kepada Allah saja dan tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun. Dan hak hamba atas Allah adalah Allah tidak akan mengadzab seorang yang tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.”
Lantas kemudian aku bertanya: “Wahai Rasulullah, bolehkah aku kabarkan hal ini kepada manusia?” Beliau menjawab: “Jangan kabarkan kepada mereka, nanti mereka meninggalkan amal.” (HR. Muslim: 30)
Ada banyak faidah yang dapat kita petik dari hadits yang mulia ini. Di antaranya adalah tidak semua ilmu itu layak untuk disampaikan kepada manusia secara umum. Butuh untuk melihat keadaan dan akibat yang akan timbul nanti di belakangnya.
Hari ini, sering terjadi sikut-sikutan. Fitnah ini muncul dari kesalahan sebagian kalangan yang kurang cermat dalam memperhatikan timbangan antara mashlahat dan mafsadat. Apalagi kalau bukan, serampangan dalam meng-uploud kajian seorang ustadz ke media sosial. Tanpa memperhatikan, apakah kajian itu bersifat umum atau bersifat khusus, yang penting menarik, bisa membuat heboh, ramai, langsung uploud. Dan yang lebih parah, dengan memotong-motong bagian tertentu.
Sebagai seorang muslim, tentu hal ini tidak pantas kita lakukan. Mari belajar dari hadits di atas, lihatlah bagaimana Rasulullah tidak mengizinkan Mu’adz untuk menyebarkan hal itu. Padahal, itu adalah hadits Rasulullah. Karena apa? Karena Rasulullah khawatir akibat yang akan timbul dari hal itu.
Sekarang mari merenung sejenak, seandainya hadits Rasulullah saja tidak semuanya diberitahukan kepada masyarakat luas, lantas bagaimana dengan ucapan seorang ustadz? Tentu lebih layak lagi untuk dipilah pilih.
Oleh sebab itu wahai saudara-saudariku, mari bersikap dewasa. Jangan jadikan diri kita sebagai dalang penyulut fitnah. Jadilah pembuka pintu kebaikan dan penutup pintu keburukan, bukan malah sebaliknya menjadi kayu bakar.
Jika menyambung ayam saja hukumnya haram, mengadu domba juga haram, lantas bagaimana dengan mengadu sesama ustadz. Saya rasa, dosanya jauh lebih besar, karena kerusakannya juga jauh lebih besar daripada sekadar mengadu ayam atau domba.
Semoga bermanfaat.
Zahir al-Minangkabawi
Kamis, 12 Oktober 2017
ANDA PEDAGANG?? (Art.Salayok56)
Seorang yang berkecimpung dalam dunia perdagangan, maka wajib baginya untuk mengetahui seluk beluk hukum yang berkaitan dengannya.
Sebab, seorang pedagang yang tidak tahu tentang hukum halal haram akan sangat rentan terjatuh dalam praktek-praktek haram meski ia tidak berniat dan tidak punya sedikit pun keinginan untuk jatuh dalam hal itu. Oleh sebab itu, Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan:
مَنِ اتَّجرَ قَبْلَ أَنْ يَتَفَقَّهَ فِي الدِّيْنِ فَقَدْ ارتَطَمَ فِي الرِّبَى ثُمَّ ارْتَطَمَ ثُمَّ ارْتَطَمَ
“Barang siapa yang melakukan perniagaan sebelum memperlajari fikih maka ia akan terjerumus ke dalam riba, dia akan terjerumus kedalam riba.”
Dan jika sudah seperti itu, kerugian yang akan timbul tidak hanya untuk personal tapi juga berdampak kepada masyarakat banyak. Karena pahitnya riba akan dikecap oleh umat secara umum.
Makanya, dahulu di zaman Umar bin Khattab, beliau mengeluarkan perintah:
لاَ يَبِعْ فِي سُوقِنَا إِلاَّ مَنْ قَدْ تَفَقَّهَ فِي الدِّينِ
“Tidak boleh berjualan dipasar ini pedagang yang tidak mengerti agama (hukum jual beli).” (HR. Tirmidzi: 487)
Ingat, bahwa zaman ini adalah zaman yang dahulu dikabarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَالِي الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ أَمِنْ حَلَالٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ
“Akan datang suatu masa, orang-orang tidak peduli dari mana ia mendapatkan harta, apakah dari jalan yang halal atau yang haram.” (HR. Bukhari: 2083)
Maka oleh sebab itu, bagi Anda para pedangang, pebisnis, jika Anda mengaku muslim belajarlah tentang hukum halal-haram.
Semoga bermanfaat
Zahir al-Minangkabawi
Selasa, 10 Oktober 2017
KEMBALIKAN LAGI (Art.Salayok55)
Di negeri kita, banyak sekali masjid. Bahkan di suatu daerah ada masjid yang saling berhadap-hadapan, hanya dipisahkan oleh jalan saja. Suara adzan bersahut-sahutan. Masyarakat berlomba-lomba membangun dan mempercantik masjid. Rata-rata masjidnya besar, megah, nyaman.
Tapi, ada satu yang kurang, yang membuat hati kita tidak nyaman. Saat adzan berkumandang dan shalat berjamaah didirikan, “Sepi, satu atau dua shaf saja. Kemana yang lain?! Kalau kita katakan sedikit muslimnya, tidak juga. Itu buktinya setiap jum’at membludak, idul fitri-idul adha apalagi, sampai meluber ke jalan-jalan.”
Tampaknya memang kiamat semakin dekat. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى النَّاسُ فِى الْمَسَاجِدِ
“Hari Kiamat tidak akan terjadi sampai manusia bermegah-megahan dalam membangun masjid.” (HR. Abu Dawud: 449, Shahih al-Jami’: 7421)
Dari Ibnu Abbas berkata, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَا أُمِرْتُ بِتَشْيِيدِ الْمَسَاجِدِ . قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لَتُزَخْرِفُنَّهَا كَمَا زَخْرَفَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى.
“Aku tidak diperintahkan untuk meninggikan bangunan masjid.”
Ibnu Abbas berkata, “Sungguh kalian akan menghiasi masjid-masjid sebagaimana orang-orang Yahudi dan Nasrani menghiasi tempat ibadah mereka.” (HR. Abu Dawud: 448, Misykah al-Mashabih: 30)
Mari kita lihat para sahabat Nabi. Abdullah bin Mas’ud pernah mengatakan:
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَلْقَى اللَّهَ غَدًا مُسْلِمًا فَلْيُحَافِظْ عَلَى هَؤُلاَءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ فَإِنَّ اللَّهَ شَرَعَ لِنَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- سُنَنَ الْهُدَى وَإِنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِى بُيُوتِكُمْ كَمَا يُصَلِّى هَذَا الْمُتَخَلِّفُ فِى بَيْتِهِ لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلاَّ مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِى الصَّفِّ
“Barang siapa yang ingin berjumpa dengan Allah kelak dalam keadaan muslim maka jagalah selalu shalat lima waktu (berjamaah di masjid) ketika adzan dikumandangkan. Karena sesungguhnya Allah mensyariatkan jalan hidayah kepada Nabi kalian. Dan shalat lima waktu di masjid itu adalah jalan hidayah. Kalau seandainya kalian shalat di rumah-rumah kalian sebagaimana yang diperbuat oleh orang-orang yang meninggalkan shalat jama’ah niscaya kalian telah meninggalkan jalan Nabi kalian. Dan apabila kalian telah meninggalkan jalan Nabi kalian, maka kalian akan tersesat. Aku melihat para sahabat, tidak ada yang mengerjakan shalat di rumah kecuali mereka yang sudah jelas-jelas munafik. Dahulu ada seorang sahabat yang harus dipapah oleh dua orang untuk bisa berdiri di shaf shalat berjamaah.” (HR. Muslim: 654, Abu Dawud: 550)
Maka dari itu, mari kita kembalikan fungsi masjid yaitu untuk shalat berjamaah. Sebagaimana kita berlomba-lomba berinfak untuk pembangunan masjid, maka berlomba-lomba memenuhi masjid dengan shalat berjamaah jauh lebih penting.
Semoga bermanfaat.
Zahir al-Minangkabawi
AGAK KECUT (Art.Salayok54)
Tidak sedikit yang salah kaprah, mengira bahwa manhaj salafush shalih dalam beragama itu hanya berkisar pada pembenahan akidah. Asal tauhidnya mantap dan tidak terjatuh pada kesyirikan, sudah cukup.
Padahal Islam adalah agama paripurna, mencakup dan mengatur segalanya, termasuk akhlak dan tata krama bermuamalah antar sesama. Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحَاسِنُهُمْ أَخْلاقًا ، الْمُوَطَّئُونَ أَكْنَافًا ، الَّذِينَ يَأْلَفُونَ وَيُؤْلَفُونَ ، وَلاَ خَيْرَ فِيمَنْ لا يَأْلَفُ وَلاَ يُؤْلَفُ
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, yang mau merendahkan pundaknya, yaitu orang-orang yang mau bersikap akrab dan mau diajak bersikap akrab. Dan tidak ada kebaikan pada diri orang yang tidak mau bersikap akrab dan tidak mau diajak bersikap akrab.” (HR.Thabrani, Mu’jamus Shagir: 605 dishahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahih 2/389)
Bahkan Imam Ahmad dan yang lainnya menyebutkan sebuah riwayat yang menunjukkan bahwa akhlak menempati posisi penting dalam kehidupan. Sebab, akhlak juga sebagai salah satu penentu selamat atau celakanya seseorang nanti di hari kiamat mengalahkan ibadah yang mungkin siang malam ia kerjakan.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ فُلَانَةَ يُذْكَرُ مِنْ كَثْرَةِ صَلَاتِهَا، وَصِيَامِهَا، وَصَدَقَتِهَا، غَيْرَ أَنَّهَا تُؤْذِي جِيرَانَهَا بِلِسَانِهَا، قَالَ: " هِيَ فِي النَّارِ "
Dari Abu Hurairah, ia berkata: “Seorang laki-laki berkata, ‘Wahai Rasulullah! Sesungguhnya si fulanah banyak shalatnya, banyak pula sedekah dan puasanya, namun ia suka menyakiti tetangganya dengan lisannya.’ Maka Nabi bersabda, ‘Ia di Neraka.’” (HR. Ahmad no. 9675 dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib no.2560)
Oleh sebab itu, perhatikanlah akhlak mulia. Jangan mentang-mentang sudah belajar Kitabut Tauhid, lantas lupa senyum sama orang-orang. Atau senyum tapi agak kecut, jangan. Aqidah dan akhlak harus berjalan bersama.
Semoga bermanfaat.
Zahir al-Minangkabawi
Sabtu, 07 Oktober 2017
LEPAS TANGAN (Art.Salayok53)
Sebagian orang tua hari ini ada yang salah kaprah. Menganggap bahwa tanggung jawab pendidikan anak-anak mereka itu mutlak pada guru-guru mereka di sekolah. Sehingga tidak heran, ada diantara orang tua yang setelah menyerahkan anaknya masuk pondok pesantren misalnya, tidak pernah lagi turut campur urusan mereka.
Tidak pernah lagi bertanya tentang PR, hafalan sudah berapa, ibadah bagaimana, dst. Lepas tangan. Lalu dikemudian hari anaknya ternyata “tidak baik-baik juga” yang disalahkan gurunya, ustadznya yang tidak bisa mengajar, sekolahnya yang tidak berkualitas, dst.
Padahal tanggung jawab pendidikan anak itu ada pada orang tua, adapun sekolah, guru, itu hanyalah pembantu. Yang bertanggung jawab tetap orang tua. Coba perhatikan firman Allah berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6)
Dari ayat diatas siapa yang diperintahkan untuk menjaga keluarga (anak, istri) Anda dari neraka? Apakah gurunya?!
Nabi shallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda:
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah. Kedua orangtuanyalah yang membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari: 1319)
Coba renungkan kalimat “Kedua orang tuanyalah..”, bukankah itu menunjukkan bahwa tanggung jawab pendidikan ada di pundak orang tuanya?!
Ingatlah bahwa tanggung jawab pendidikan anak Anda berada di tangan Anda. Oleh sebab itu, jangan lepas tangan. Meski Anda telah memasukkan mereka ke lembaga pendidikan terbaik sekali pun. Yang tanggung jawab utama tetap berada pada Anda. Bukan pada sekolah, guru atau ustadznya.
Semoga bermanfaat.
Zahir al-Minangkabawi
Jumat, 06 Oktober 2017
4S: SAKIT SENANG SAMA SAJA (Art.Salayok52)
Allah berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Tiap-tiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati. Kami akan menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan hanya kepada Kamilah kalian dikembalikan.” (QS. Al-Anbiya’: 35)
Imam Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Allah menguji kita dengan kejelekan dan kebaikan, gembira dan sedih, sehat dan sakit, kaya dan miskin, halal dan haram, taat dan maksiat, petunjuk dan kesesatan.”
Jika kita mau merenungi ayat mulia ini, kita akan mengetahui bahwa ternyata beginilah hakikat hidup manusia yang sebenarnya. Tidak selamanya kaya adalah nikmat dan tidak pula miskin itu selamanya derita.
Ternyata sakit senang keduanya adalah ujian dari Allah. Sehingga betul juga ucapan bahwa kehidupan itu adalah ujian yang takkan putus. Bagaimana pun kondisi kita pada hakikatnya kita senantiasa berada dalam ujian Allah.
Ujian akan berakhir dengan berakhirnya riwayat kehidupan dunia kita. Kemudian, kita akan melihat hasil dari ujian selama ini. Beruntunglah mereka beruntung, rugilah mereka yang rugi. Karena ujian takkan diulang, tidak ada remedial.
Lantas apa yang patut kita banggakan? Tidak ada, selain amal shalih masing-masing. Benarlah firman Allah:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
“Dialah Allah yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian, mana di antara kalian yang paling baik amalannya dan Dia Maha Perkasa dan Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 2)
Semoga bermanfaat.
Zahir al-Minangkabawi
INDONESIA DI UJUNG TANDUK (Art.Refleksi Hikmah)
Bumi Indonesia seakan berguncang, hawanya memanas oleh sulutan api kemarahan jutaan kaum muslimin. Sebabnya adalah sepenggal kalimat yang terlontar dari mulut seorang Gubernur nonmuslim yang jelas-jelas memojokkan serta melecehkan kitab suci umat Islam.
Hal ini tentu menimbulkan reaksi keras dari umat Islam sendiri, sebab mereka adalah etnis mayoritas di negeri ini. Aksi protes dan tuntutan tidak hanya di daerah ibu kota, namun telah menjalar ke seluruh pelosok nusantara.
Para pemimpin dan tokoh kaum muslimin beramai-ramai angkat suara, di berbagai kota terjadi demonstrasi besar-besaran, menunjukkan bahwa umat Islam negeri ini tidak terima dan menolak keras peristiwa tersebut.
Di tengah kemelut ini, tersebar pula sesuatu yang menimbulkan kecemasan luar biasa pada sebagian kaum muslimin. Yaitu adanya prediksi dari sebagian kalangan berkenaan dengan masa depan Indonesia. Disebutkan bahwa peristiwa ini adalah campur tangan pihak asing (Cina, Amerika, dan sekutunya) yang merupakan langkah awal dari strategi mereka untuk menancapkan kuku di negeri ini.
Sekarang Indonesia di ujung tanduk, kelak jika telah sampai waktunya negeri ini akan dicaplok dan dijajah seperti yang terjadi pada beberapa negara Islam lain atau paling tidak bernasib sama dengan negara tetangga; Singapura. Pribumi jadi babu di rumah sendiri. Bahkan lebih dari itu, tersiar pula kabar tentang usaha pelenyapan Islam dari negeri tercinta ini.
Namun sebagai seorang muslim, kita tentu tidak semudah itu terbawa oleh arus kecemasan yang sedang bergejolak ini. Sebab, kita memiliki pegangan kuat dalam meniti kehidupan, yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Selama kita berpegang teguh dengan keduanya, niscaya kita akan selamat dari berbagai fitnah (cobaan) dunia.
SEMUA ADALAH SUNNATULLAH
Apa yang terjadi dewasa ini, jika dicermati lebih dalam tidak lain adalah sebuah sunnatullah (ketetapan takdir) yang pasti terjadi. Jauh-jauh hari Allah dan Rasul-Nya telah mengabarkan. Allah berfirman:
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. (QS. al-Baqarah: 120)
Rasulullah bersabda:
« يُوشِكُ الأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا »
“Hampir saja umat-umat itu (musuh-musuh kalian) mengerumuni kalian seperti orang-orang yang makan mengerumuni nampannya.” (HR. Abu Dawud: 4299 Dishahihkan oleh al-Albani dalam al-Silsilah ash-Shahihah no. 958)
Sekarang hal itu menjadi nyata, kita percaya bahwa yang menjadi dalang dari semua yang terjadi belakangan ini adalah musuh-musuh Islam, baik dari luar seperti Yahudi, Nasrani, dan yang lainnya, maupun musuh dari tubuh Islam sendiri yaitu orang-orang bermuka dua yang senang menggunting dalam lipatan (munafik).
Oleh sebab itu, kita tidak perlu heran dengan apa yang terjadi. Kita harus menyakini semua ini adalah takdir Allah sebagai ujian agar kita tidak terkukung dalam ketakutan yang tak berujung. Yang perlu kita lakukan adalah usaha untuk menghadapi serta mengatasi ujian-ujian tersebut.
MENAMBAH KEIMANAN
Ketakutan adalah sifat yang manusiawi. Sebab, sifat inilah yang nantinya menimbulkan kewaspadaan. Namun apabila melebihi batas kewajaran maka ia menjadi sifat yang tercela. Seorang muslim boleh saja merasa takut tapi jangan sampai ketakutan tersebut menyeretnya ke dalam hal-hal yang dilarang dalam syariat.
Bahkan semestinya di saat seperti ini (desas-desus berkumpulnya musuh untuk menghancurkan negeri ini), seorang muslim yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya justru hendaknya semakin bertambah keimanannya, berbeda dengan orang-orang munafik.
Allah berfirman menghikayatkan sifat orang-orang yang beriman tatkala mendengar berita tentang berkumpulnya musuh yang akan menyerang:
الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: "Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka", maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: "Cukuplah Allah menjadi penolong Kami dan Allah adalah Sebaik-baik Pelindung." (QS. Ali Imran: 173)
MENGGUGAH SEMANGAT JUANG
Jika melihat sisi lain dari peristiwa ini, justru semestinya menjadi pembuka mata serta penggugah semangat kita (kaum muslimin) dalam membela Islam, bukan malah membuat kita lemah dengan senantiasa berkutat dalam kecemasan.
Di hadapan kita musuh siap menyerang, apakah kita akan bergeming?! Padahal apa yang kita takutkan itu adalah sebuah misteri yang belum tentu terjadi. Sebab, ia adalah masa depan, sedangkan hanya Allah yang tahu apa yang akan terjadi pada masa itu.
Sekarang yang terpenting adalah mengesampingkan kecemasan lantas menyingsingkan lengan baju untuk menolong agama ini. Jangan takut karena sesungguhnya Allah bersama kita, Allah akan menolong dan memberikan kekuatan kepada siapa saja yang menolong agama-Nya. Allah q berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kaki-kakimu (kedudukanmu). (QS. Muhammad: 7)
SAAT USAHA TELAH KANDAS
Kita tidak menyangsikan lagi kebenaran agama Islam ini. Meski dirundung berbagai cobaan, tapi kita percaya bahwa agama ini tidak akan sirna. Saat usaha telah kandas, tidak ada manusia yang sanggup membela, maka saat itulah Allah sendiri yang akan membela Agama ini.
Inilah Ka’bah yang dahulu ingin dihancurkan oleh Abrahah dan tentara bergajahnya. Tidak satu pun manusia yang sanggup menghalanginya termasuk kaum Quraisy. Lihatlah apa yang dikatakan oleh Abdul Muththalib ketika ia mendatangi Abrahah untuk meminta unta-untanya:
“Aku adalah pemilik unta-unta ini, sedangkan rumah ini (Ka’bah) ada pemiliknya (Allah) yang akan menahan (menghalangi) orang-orang yang bermaksud jahat terhadapnya.” (Ma’alim at-Tanzil 5/306)
Dan benar, Allah sendiri yang menghancurkan Abrahah dan bala tentaranya dengan mengirim sekawanan burung, sebagaimana yang termaktub dalam surat al-Fil.
Oleh karena itu, jangan berlebihan dalam kecemasan, dan jangan pula meremehkan (menganggap kecil permasalahan) akan tetapi berada di antara keduanya (waspada) sembari berusaha dan berdo’a kepada Allah supaya Allah senantiasa menjaga negeri ini dari musuh-musuh Islam serta menjadikan Islam kuat dan jaya. Wallahul Muwaffiq.
Kamis, 05 Oktober 2017
BUKAN BEGITU TAPI BEGINI (Art.Salayok51)
Petunjuk siapa yang terbaik? Jalan siapa yang paling pantas kita ikuti? Tentu, kita sepakat jawabnya adalah pentunjuk dan jalannya Rasulullah shalallahu alaihi wasallam.
Tapi ironisnya kenapa banyak pula dari kita ini (umat Islam) yang berpaling dari petunjuk beliau terkhusus dalam hal menasehati pemerintah.
Tidak sedikit yang mengaku muslim, tetapi dengan mudahnya membongkar aib penguasa dengan alasan amar makruf nahi mungkar. Di mimbar-mibar, media sosial, spanduk dan baliho adalah “tempat yang pas untuk menasehati penguasa,” kata mereka.
“Ini kan zaman kebebasan berpendapat. Rakyat boleh saja mengkritik, tidak ada larangan. Tidak khawatir lagi hilang malam. Demokrasi itu kan dari rakyat dan untuk rakyat juga. Jadi apa salahnya kita terang-terangan menyampaikan kritikan. Kalau tidak begitu nanti tidak ada kontrol dan pengawasan.”
Padahal petunjuk Rasulullah shalallahu alaihi wasallam tidak begitu, akan tetapi malah sebaliknya. Beliau bersabda:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِهِ عَلاَنِيَةً ، وَلَكِنْ يَأْخُذُ بِيَدِهِ فَيَخْلُوا بِهِ ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ ، وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ
“Barang siapa yang mau menasehati penguasa maka janganlah dengan terang-terangan. Akan tetapi, peganglah tangannya lalu menyepilah dengannya. Jika ia menerima maka itulah yang diharapkan, namun jika tidak maka dia (yang memberi nasehat) telah menyelesaikan tanggungannya.” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah: 2/521, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Zhilalul Jannah: 2/273)
Oleh sebab itu, sebagai muslim mari kita kembali kepada kesepakatan kita di awal tadi. Kita sepakat bahwa petunjuk Rasulullah-lah yang pantas kita ikuti. Dengan demikian sekarang kita sepakat bahwa menasehati pemimpin jangan terang-terangan.
Mari berhenti menyebut aib pemerintah. Bukan untuk menjilat, bukan karena apa-apa, tetapi karena itu adalah perintah Allah dan Rasul-Nya.
Semoga bermanfaat
Zahir al-Minangkabawi
Rabu, 04 Oktober 2017
JUSTRU MENYESATKAN (Art.Salayok50)
Hidup di zaman ini harus lebih banyak hati-hatinya. Karena sunnatullah semakin ke belakang zaman semakin rusak. Di antaranya harus hati-hati dan selektif dalam memilih panutan. Sebab, sekarang banyak orang yang ditokohkan yang justru menjadi penyesat umat.
Tahu darimana? Dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Beliau pernah bersabda:
أَنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الأَئِمَّةُ الْمُضِلُّونَ
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah imam-imam (para tokoh) yang menyesatkan.” (HR. Ahmad: 1/42, ash-Shahihah: 4/109)
Dalam riwayat yang lain tatkala menyebut tentang kabut kerusakan di akhir zaman di antaranya beliau shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan:
دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا
"Para da’i (penyeru) yang mengajak ke pintu Jahannam. Siapa yang memenuhi seruan mereka maka akan dilemparkan ke dalamnya." (HR. Bukhari: 7084, Muslim: 1847)
Oleh sebab itu, kita harus kritis, bukan saatnya lagi menjadi layang-layang putus. Jangan sekadar ikut-ikutan. Jangan mentang-mentang ia tokoh lantas kemudian kita mudah percaya. Bukan karena apa-apa, akan tetapi karena kita bertanggung jawab terhadap diri kita masing-masing kelak di hadapan Allah ta’ala.
Selasa, 03 Oktober 2017
BUKAN BALAS BUDI (Art.Salayok49)
Selama ini kita menganggap bahwa menyambung silahturrahim itu adalah mengunjungi kerabat lantaran dia juga pernah berkunjung kepada kita. Atau menelponnya karena ia juga sering menelpon kita. Adapun kerabat yang tidak pernah berinteraksi dengan kita atau yang jahat, cerita mereka telah terkubur bersama kejahatan mereka itu pula.
Kita masih belum bisa melupakan prinsip, “Kebaikan dibalas kebaikan, keburukan dibalas keburukan yang serupa. Buat apa menghabiskan pulsa untuk bertanya tentang keadaannya sedang dia tidak butuh juga.”
Padahal hakikat menyambung silaturrahim yang sesungguhnya adalah sebagaimana yang disabdakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam:
لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنِ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قَطَعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا
“Bukanlah termasuk menyambung silaturrahim sekadar balas budi, akan tetapi seorang penyambung itu adalah yang apabila diputuskan hubungan rahimnya ia masih senantiasa menyambungnya.” (HR. Bukhari: 5645)
Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan dalam Fathul Bari’, bahwa ath-Thibi mengatakan:
“Maknanya tidaklah termasuk seorang penyambung (silaturrahim) yang sesungguhnya, tidak pula tergolong orang yang menyambungnya yaitu orang yang hanya membalas (kebaikan) saudaranya semisal perbuatannya. Akan tetapi yang dikatakan penyambung silaturrahim ialah yang berbuat kebaikan berlebih kepada saudaranya.”
Jadi, saat kerabat Anda memutus hubungan dengan Anda, berlaku buruk, disaat itulah Anda dituntut untuk menyambung hubungan yang terputus itu kembali. Itulah menyambung silaturrahim yang sesungguhnya.
Semoga bermanfaat
Zahir al-Minangkabawi
Senin, 02 Oktober 2017
NGINAP GRATIS (Art.Salayok48)
Banyak orang yang tahu bahwa musuhnya dan musuh semua manusia itu adalah setan. Sehingga wajar banyak yang takut dengannya. Seorang muslim disyariatkan untuk senantiasa berlindung dan menjauh dari makhluk yang satu itu.
Akan tetapi, anehnya banyak orang yang takut setan namun justru memberikan penginapan gratis pada mereka. Lengkap dengan makanannya. Banyak, dan bahkan mungkin juga kita.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:
إِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ فَذَكَرَ اللَّهَ عِنْدَ دُخُولِهِ وَعِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ لاَ مَبِيتَ لَكُمْ وَلاَ عَشَاءَ. وَإِذَا دَخَلَ فَلَمْ يَذْكُرِ اللَّهَ عِنْدَ دُخُولِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيتَ. وَإِذَا لَمْ يَذْكُرِ اللَّهَ عِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيتَ وَالْعَشَاءَ
“Apabila seseorang masuk rumahnya, kemudian dia mengingat Allah baik ketika masuk maupun ketika hendak makan maka setan akan mengatakan (kepada teman-temannya): ‘Tidak ada tempat bermalam dan makan bagi kalian.’ Namun apabila ia masuk tanpa mengingat Allah baik ketika masuk maupun ketika makan maka setan akan mengatakan: ‘Kalian dapat tempat menginap dan makan malam.’” (HR. Muslim: 2018)
Bagaimana menurut Anda? Berapa banyak orang yang lupa berdzikir (membaca do’a) ketika masuk rumah dan makan? Sedikit atau banyak?
Makanya tidak heran juga banyak rumah sekarang dirundung masalah. Bisa jadi sebabnya adalah karena rumah itu kosong dari dzikir sehingga setan pun ramai-ramai nginap di sana.
Oleh sebab itu, jangan lupa do’a, ingatlah Allah baik ketika masuk rumah, hendak makan dan di segala aktifitas, agar kita bisa terhindar dari musuh kita yang sesungguhnya.
Semoga bermanfaat
Zahir al-Minangkabawi
BERSABAR DALAM MENUNTUT ILMU
Menuntut ilmu itu bukan perkara mudah. Sebab, ia adalah jalan menuju surga, bahkan jalan tercepat, sedangkan surga dikelilingi oleh hal-hal yang dibenci syahwat manusia.
Rasulullah pernah bersabda:
حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ
“Surga diliputi oleh sesuatu yang dibenci sedangkan neraka diliputi oleh syahwat.” (HR. Muslim: 7308)
Banyak orang yang awalnya bersemangat dalam menuntut ilmu, tapi dengan silih bergantinya hari tak sedikit yang akhirnya putus di tengah jalan.
Imam Ibnu Mubarak pernah menuturkan:
خَرَجْتُ أَنَا وَاِبْرَاهِيْمُ بْنُ أَدْهَم مِنْ خُرَاسَان وَنَحْنُ سِتُّوْنَ فَتًى نَطْلُبُ العِلْمَ مَا مِنْهُمْ آخِذٌ غَيْرِيْ
“Aku dan Ibrahim bin Adham keluar dari kota Khurasan, kami berjumlah 60 orang pemuda untuk menuntut ilmu. Tidak ada yang mendapatkan (ilmu) selain aku.” (Hilyah al-Auliya’ 7/369)
Menuntut ilmu membutuhkan kesabaran yang tinggi, pengorbanan, serta semangat membaja. Tanpa itu mustahil seorang memperoleh ilmu.
قِيْلَ لِلشَّعْبِيِّ: مِنْ أَيْنَ لَكَ كُلُّ هَذَا العِلْمِ؟ قَالَ: بِنَفْيِ الاغْتِمَامِ، وَالسَّيْرِ فِي البِلاَدِ، وَصَبْرٍ كَصَبْرِ الحَمَامِ، وَبُكُوْرٍ كَبُكُوْرِ الغُرَابِ.
Pernah ditanyakan kepada Imam asy-Sya’bi: “Dari mana engkau memperoleh semua ilmu ini?” Ia menjawab: “Dengan membuang kesedihan, berkelana di berbagai negeri, bersabar seperti sabarnya merpati dan berpagi-pagi seperti burung gagak.” (Siyar A’lam an-Nubala’ 7/333-334)
Oleh sebab itu, bersabarlah dalam menuntut ilmu. Tidak ada batas waktu dalam hal itu, tidak ada batas umur. Kita akan terus belajar agama sampai nanti, ketika nafas telah terhenti.
Semoga bermanfaat.
Zahir al-Minangkabawi
Langganan:
Postingan (Atom)