Selasa, 03 Oktober 2017

BUKAN BALAS BUDI (Art.Salayok49)


Selama ini kita menganggap bahwa menyambung silahturrahim itu adalah mengunjungi kerabat lantaran dia juga pernah berkunjung kepada kita. Atau menelponnya karena ia juga sering menelpon kita. Adapun kerabat yang tidak pernah berinteraksi dengan kita atau yang jahat, cerita mereka telah terkubur bersama kejahatan mereka itu pula.

Kita masih belum bisa melupakan prinsip, “Kebaikan dibalas kebaikan, keburukan dibalas keburukan yang serupa. Buat apa menghabiskan pulsa untuk bertanya tentang keadaannya sedang dia tidak butuh juga.”

Padahal hakikat menyambung silaturrahim yang sesungguhnya adalah sebagaimana yang disabdakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam:

 لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنِ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قَطَعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا

“Bukanlah termasuk menyambung silaturrahim sekadar balas budi, akan tetapi seorang penyambung itu adalah yang apabila diputuskan hubungan rahimnya ia masih senantiasa menyambungnya.” (HR. Bukhari: 5645)

Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan dalam Fathul Bari’, bahwa ath-Thibi mengatakan:
“Maknanya tidaklah termasuk seorang penyambung (silaturrahim) yang sesungguhnya, tidak pula tergolong orang yang menyambungnya yaitu orang yang hanya membalas (kebaikan) saudaranya semisal perbuatannya. Akan tetapi yang dikatakan penyambung silaturrahim ialah yang berbuat kebaikan berlebih kepada saudaranya.”

Jadi, saat kerabat Anda memutus hubungan dengan Anda, berlaku buruk, disaat itulah Anda dituntut untuk menyambung hubungan yang terputus itu kembali. Itulah menyambung silaturrahim yang sesungguhnya.

Semoga bermanfaat
Zahir al-Minangkabawi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar