Petunjuk siapa yang terbaik? Jalan siapa yang paling pantas kita ikuti? Tentu, kita sepakat jawabnya adalah pentunjuk dan jalannya Rasulullah shalallahu alaihi wasallam.
Tapi ironisnya kenapa banyak pula dari kita ini (umat Islam) yang berpaling dari petunjuk beliau terkhusus dalam hal menasehati pemerintah.
Tidak sedikit yang mengaku muslim, tetapi dengan mudahnya membongkar aib penguasa dengan alasan amar makruf nahi mungkar. Di mimbar-mibar, media sosial, spanduk dan baliho adalah “tempat yang pas untuk menasehati penguasa,” kata mereka.
“Ini kan zaman kebebasan berpendapat. Rakyat boleh saja mengkritik, tidak ada larangan. Tidak khawatir lagi hilang malam. Demokrasi itu kan dari rakyat dan untuk rakyat juga. Jadi apa salahnya kita terang-terangan menyampaikan kritikan. Kalau tidak begitu nanti tidak ada kontrol dan pengawasan.”
Padahal petunjuk Rasulullah shalallahu alaihi wasallam tidak begitu, akan tetapi malah sebaliknya. Beliau bersabda:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِهِ عَلاَنِيَةً ، وَلَكِنْ يَأْخُذُ بِيَدِهِ فَيَخْلُوا بِهِ ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ ، وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ
“Barang siapa yang mau menasehati penguasa maka janganlah dengan terang-terangan. Akan tetapi, peganglah tangannya lalu menyepilah dengannya. Jika ia menerima maka itulah yang diharapkan, namun jika tidak maka dia (yang memberi nasehat) telah menyelesaikan tanggungannya.” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah: 2/521, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Zhilalul Jannah: 2/273)
Oleh sebab itu, sebagai muslim mari kita kembali kepada kesepakatan kita di awal tadi. Kita sepakat bahwa petunjuk Rasulullah-lah yang pantas kita ikuti. Dengan demikian sekarang kita sepakat bahwa menasehati pemimpin jangan terang-terangan.
Mari berhenti menyebut aib pemerintah. Bukan untuk menjilat, bukan karena apa-apa, tetapi karena itu adalah perintah Allah dan Rasul-Nya.
Semoga bermanfaat
Zahir al-Minangkabawi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar