Senin, 23 Juli 2018

MAAF, SAYA SIBUK NGGAK PUNYA WAKTU


Semua kita sepakat bahwa Iblis itu adalah musuh utama anak cucu Adam 'alaihissalam. Paham bahwa dialah yang dahulu bersumpah di hadapan Allah subhanahu wata'ala untuk menggelincirkan umat manusia. Sebagaimana yang di kabarkan oleh Allah dalam firman-Nya:

قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ، ثُمَّ لَآتِيَنَّهُم مِّن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَن شَمَائِلِهِمْ ۖ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ 

Iblis berkata: "Karena Engkau telah menghukumku tersesat, maka aku benar-benar akan menghalang-halangi mereka dari jalan-Mu yang lurus,kemudian aku akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat)." (QS. Al-A'raf: 16-17)

Namun, tak banyak di antara kita yang tahu bahwa langkah pertama Iblis untuk menggelincirkan kita adalah dengan menghalangi kita dari belajar agama Allah. Imam Ibnul Jauzi rahimahullah mengatakan:

‏اِعْلَمْ أَنَّ أَوَّلَ تَلْبِيْسِ إِبْلِيْسَ عَلَى النَّاسِ صَدُّهُمْ عَنِ العِلْمِ ، لِأَنَّ العِلْمَ نُوْرٌ ؛ فَإِذَا أَطْفَأَ مَصَابِيْحَهُمْ خَبَطَهُمْ فِي الظَلَامِ كَيْفَ شَاءَ 

"Ketahuilah, bahwa talbis Iblis yang pertama kepada umat manusia adalah menghalangi mereka dari ilmu agama. Karena ilmu itu adalah cahaya. Sehingga apabila ia telah dapat memadamkan lampu-lampu mereka maka ia akan dengan mudah membanting mereka ke dalam kegelapan sekehendaknya." (Talbisu Iblis: 309, Cet. Darul Kutub Ilmiah, Beirut)

Berbagai macam cara ia lakukan untuk mencapai tujuannya itu. Di antaranya, ia sibukkan kita dengan hal-hal dunia, entah itu keluarga, usaha, pekerjaan, karier pendidikan, dst. Sehingga kita lupa atau merasa tidak sempat lagi untuk belajar agama. Lama kelamaan akhirnya keinginan untuk kembali belajar itu pun sirna dan terkubur untuk selamanya.

Padahal, belajar agama tidak ada batas waktu dan usia, selama kita masih seorang muslim atau muslimah maka wajib untuk belajar. Karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

”Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah: 224)

Sekarang, mari lihatlah diri kita masing-masing. Jika seandainya kita merasa tidak sempat lagi untuk belajar agama, selalu berdalih dengan alasan "Saya sibuk, masih banyak pekerjaan, tugas belum selesai, dst," maka sadarilah bahwa kita telah terjebak dalam perangkap Iblis.

Bagaimana tidak, coba pikirkan! 168 jam waktu yang kita miliki dalam sepekan, tapi dua jam saja kita tak mampu mengalokasikannya untuk duduk di majelis ta'lim untuk belajar agama, kemudian dengan ringannya kita beralasan, "Maaf, saya sibuk", bukankah itu adalah perangkap Iblis?!

Oleh sebab itu, jangan pernah mengatakan, "saya sibuk, tak punya waktu" untuk belajar agama. Karena itu adalah tanda perangkap Iblis telah mendapat mangsa.

PEMBANGKANG DAN KEPALA BATU


Mengikuti perintah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah jalan keberkahan dan kebahagiaan. Sebaliknya, menyelisihi dan kepala batu terhadap perintah beliau shallallahu alaihi wasallam adalah pokok kesengsaraan.

Ibnu Abbas radhiyallahu anhu menceritakan: "Bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah menjenguk seorang Arab Badui yang sedang sakit. Dan Nabi shallallahu alaihi wasallam apabila menjenguk orang sakit biasa mendoakannya dengan: 'La ba'sa thahur in syaa Allah' (tidak mengapa, in syaa Allah sakit ini bisa menyucikan dari dosa-dosa). Lalu Nabi shallallahu alaihi wasallam pun mendo'akan Arab Badui tersebut; 'La ba'sa thahur in syaa Allah.' Namun orang itu justru mengatakan:

قُلْتَ طَهُوْرٌ؟! كَلَّا، بَلْ هِيَ حُمَّى تَفُوْرُ أَوْ تَثُوْرُ عَلَى شَيْخٍ كَبِيْرٍ تُزِيْرُهُ القُبُوْرَ

'Apa yang kau katakan? Thahur? Akan menyucikan dari dosa-dosa?! Tidak sama sekali, bahkan ini adalah demam panas yang menimpa seorang tua renta yang akan menghantarkannya ke dalam kubur.'

Lantas kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pun mengatakan; 'Iya, tidak apa-apa kalau memang demikian yang kamu inginkan.'" (HR. Bukhari: 3616) Disebutkan dalam riwayat yang lain, "Lalu laki-laki itu akhirnya pun mati." (HR. Abdurrazzaq)

Itu adalah diantara contoh nyata akibat menyelisihi perintah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Menentang ajaran beliau dan tidak mau berittiba' kepadanya adalah kehinaan dan kerugian karena Allah berfirman:

 وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. an-Nisa': 115)

Oleh sebab itu, berhati-hatilah jangan sampai menyelisi. Baca dan pelajarilah hadits-hadits beliau. Kalau tidak demikian, bisa jadi kita nanti memang tidak mengucapkan dengan lisan "menyelisihi sunnah beliau" tapi amal perbuatan kitalah yang menunjukkan akan hal itu, karena kita beramal tidak sesuai dengan tuntunan beliau shallallahu alaihi wasallam.


Minggu, 22 Juli 2018

JANGAN TERBAWA PERASAAN



Tergesa-gesa dan terbawa perasaan adalah penyakit kebanyakan kita. Tatkala ada sesuatu yang bertolak belakang dengan apa yang kita pahami selama ini dengan mudah kita bertindak ceroboh dan lupa diri.

Contoh mudah adalah ketika figur yang  dikagumi dikritik orang lain. Didorong perasaan ingin membela kemudian karena tergesa-gesa maka terjadilah apa yang terjadi. Muncullah sikap dan komentar yang seharusnya tidak perlu, dari mereka yang "mengagumi."

Padahal di dalam agama kita ini jika terjadi hal yang demikian itu, cukup lihat diri kita apakah "layak" kita bicara ataukah tidak. Jangan karena terdorong perasaan, akhirnya kita menjadi gelap mata. Agama kita dibangun di atas pondasi ilmu. Sudah ada timbangannya yaitu al-Qur'an dan Hadits yang semuanya telah jelas dan ada koridornya. Bukan dibangun di atas perasaan. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

لَا يَحْكُمْ أَحَدٌ بَيْنَ اثْنَيْنِ وَهُوَ غَضْبَانُ

"Janganlah seorang pun yang menghukumi antara dua orang sedang ia dalam keadaan marah." (HR. Muslim: 3343)

Karena saat marah, seorang akan sangat rentan mengikuti perasaannya dibanding akal sehat serta timbangan ilmu al-Qur'an dan Sunnah.

Jangan tergesa-gesa, tenangkanlah diri dari panasnya perasaan itu. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

التَّأَنِّي مِنَ اللهِ، وَالْعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ

"Ketenangan datangnya dari Allah sedangkan tergesa-gesa datangnya dari setan.” (HR. Al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra: 10/104, ash-Shahihah: 1795)

Kemudian baru setelah itu, serahkan kepada ahlinya. Jangan komentar, diam sajalah. Sebab diam jauh lebih baik daripada berucap tapi justru ucapan itu nantinya akan mendatangkan penyesalan. Tengok kadar diri, seberapa jauhkah pengetahuan kita terhadap al-Qur'an dan Sunnah?! Kalau tidak ada secuilnya, maka jangan coba-coba untuk menghukumi siapa yang benar dan yang salah.

Kamis, 19 Juli 2018

NAIK HAJI KE TANAH SUCI



Naik Haji, adalah satu diantara sekian banyak harapan kita. Sebuah perjalanan ibadah menuju tempat termulia di jagad raya. Pautan hati tempat bersimpuh khusyuk di hadapan ilahi rabbi. Rindu sangat sanubari tatkala mata menatap ka'bah dari sini. Lebih dari itu, balasan dari ibadah ini pun satu hal yang sangat kita dambakan. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ

"Haji yang mabrur tidak ada balasan baginya kecuali surga." (HR. Bukhari: 1773, Muslim: 1349)

Allah telah mewajibkan hambanya yang memiliki kemampuan untuk menunaikan ibadah yang satu ini. Allah berfirman:

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (QS. Ali Imran: 97)

Bahkan ia merupakan tonggak agama Islam. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ ، وَ إِقَامِ الصَّلَاةِ ، وَ إِيْتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَ حَجِّ الْبَيْتِ ، وَ صَوْمِ رَمَضَانَ 

"Islam dibangun di atas lima perkara: syahadat bahwa tidak ada tuhan yang haq kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, naik haji, dan puasa Ramadhan." (HR. Bukhari: 8, Muslim: 16)

Maka bagi siapa yang telah mampu tapi tidak mau, masih saja menunda-nunda maka keislamannya dipertanyakan. Jika ia mati dalam keadaan demikian maka ia berdosa besar. Umar bin al-Khaththab radhiyallahu anhu pernah mengatakan:

مَنْ مَاتَ وَهُوَ مُوْسِرٌ لَمْ يَحُجَّ، فَلْيَمُتْ عَلَى حَالٍ شَاءَ، يَهُوْدِيًّا أَوْ نَصْرَنِيًّا

"Barangsiapa yang mati dalam keadaan kaya tapi belum menunaikan haji, maka matilah dalam keadaan yang ia mau; Yahudi atau Nasrani." (Al-Mushannaf Abi Syaibah: 14670, Ta'liqah ala Syarhis Sunnah Al-Imam al-Muzani: 134)

Oleh sebab itu, bagi Anda yang memiliki kelapangan rezeki dan kemampuan segeralah untuk menunaikan ibadah ini. Tahukah Anda?! Di sana banyak orang yang sangat rindu tapi tak mampu. Ingin rasanya memeluk gunung, tapi apalah daya tangan tak sampai. Sekarang Anda memiliki kesempatan itu maka jangan disia-siakan. Ingat haji yang mabrur balasannya adalah surga. Tidakkah Anda ingin ke sana?!

LARI KENCANG DARI SYUBHAT



Penyakit ada dua jenis yaitu penyakit yang menyerang badan dan penyakit yang menyerang hati dan akal. Jenis kedua inilah yang lebih dikenal dengan "syubhat." Menyerang agama seseorang sehingga ia tak dapat lagi mengenali mana yang hak dan batil.

Penyakit syubhat ini jauh lebih berbahaya daripada penyakit yang menyerang badan. Maka dari itu, harus ekstra hati-hati. Terlebih di zaman ini, di saat semua orang bebas bicara dalam agama, tanpa batas, tanpa takut dan bahkan terkadang tanpa "rasa malu."

Hati-hatilah mengambil agama, karena sekarang banyak da'i penebar syubhat. Orang-orang yang lihai memoles hingga haram kelihatan halal, hak jadi batil dan sebaliknya. Tak perlu heran, karena memang sudah zamannya, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tatkala mengabari tentang kabut kerusakan di akhir zaman di antaranya beliau mengatakan:

دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا

"Para da’i (penyeru) yang mengajak ke pintu Jahannam. Siapa yang memenuhi seruan mereka maka akan dilemparkan ke dalamnya." (HR. Bukhari: 7084, Muslim: 1847)

Sekarang tugas kita yaitu berhati-hati, menghindari sumber-sumber penyebar syubhat. Menjauh dan lari sekencang-kencangnya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

فِرَّ مِنَ الْمَجْذُوْمِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ الأَسَدِ

Larilah dari penyakit kusta seperti engkau lari dari singa.” (HR. Bukhari: 5707)

Jika seandainya itu dalam hal kusta, penyakit yang menyerang badan, lantas bagaimana dengan "syubhat", penyakit yang menyerang pikiran dan agama?!

Tak usah "coba-coba", ingat bahwa hati kita ini lemah, maka jangan sembarangan mengambil ilmu agama nanti bisa terkena syubhat. Imam Adz-Dzahabi rahimahullah mengatakan:

يَرَوْنَ أَنَّ القُلُوْبَ ضَعِيْفَةٌ والشُبَهَ خَطَّافَةٌ

"Mereka (mayoritas ulama salaf) memandang bahwa hati itu lemah dan syubhat itu menyambar-nyambar.” (Siyar A’lamin Nubala‘: 7/261).

Oleh sebab itu, jangan gadaikan diri pada kebinasaan. Ektra hati-hatilah memilih rujukan ilmu agama. Jangan mentang-mentang ia hebat bicara, mahir beretorika, terkenal, lantas dijadikan rujukan. Berusaha keras dan berdo'a agar kita selamat dari para penyebar syubhat.

CINTA DAN BENCI PADA TEMPATNYA



Satu hal yang hilang dari sebagian besar kita umat Islam yang hidup di hari ini adalah kebencian kepada kekafiran dan kesyirikan. Seringkali kita salah menempatkan antara cinta dan benci. Kita malah membenci saudara kita sesama muslim kemudian mencintai orang-orang kafir dan menjadikannya sosok yang dikagumi.

Tidak sedikit diantara kita yang lebih tahu dan kenal dengan figur kafir dari kalangan aktor film, pemain sepakbola, pembalap, musisi, politikus, ilmuan serta inteleknya, dan seterusnya. Daripada figur teladan dari kalangan sahabat dan orang-orang shalih terdahulu.

Jika tidak percaya, silahkan ambil kertas dan pena, kemudian tulis nama-nama mereka. Yakin, kebanyakan dari kita lebih lancar untuk menuliskan list nama-nama tokoh kafir ketimbang nama sahabat dan orang shalih. 

Padahal, di antara pokok akidah Ahlussunnah wal Jama'ah adalah mencintai orang-orang yang beriman dan membenci orang-orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya. Meskipun mereka adalah orang dekat. Tidak terbawa perasaan, jika memang jelas mereka memusuhi Allah dan Rasul-Nya maka mereka harus dibenci. Allah berfirman:

لَّا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ

Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. (QS. Al-Mujadilah: 22)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan: "Said bin Abdul Aziz dan yang lain mengatakan, ayat ini diturunkan untuk Abu Ubaidah Amir bin Abdillah bin al-Jarrah radhiyallahu anhu ketika ia membunuh ayahnya di perperangan Badr. 

Karenanya Umar bin al-Khaththab radhiyallahu anhu pada saat menetapkan pemilihan khalifah setelahnya berdasarkan musyawarah, ia mengatakan kepada enam orang ahlu syura tersebut:

وَلَوْ كَانَ أَبُوْ عُبَيْدَةَ حَيًّا لَاسْتَخْلَفْتُهُ

'Andaikata Abu Ubaidah masih hidup niscaya aku akan menjadikannya khalifah.'" (Tafsir al-Qur'an al-Azhim: 8/25)

Karena apa?! Karena Abu Ubaidah bin Jarrah dipuji oleh Allah serta direkomendasi bahwa ia memang seorang yang beriman kepada-Nya dan hari akhir. Karena ia meletakkan cinta dan benci pada tempatnya. Tak segan untuk memerangi ayahnya sendiri lantaran ayahnya jelas dan terang memusuhi Allah dan Rasul-Nya.

Oleh sebab itu, sekarang mari memuhasabah diri. Sudah benarkah kita meletakkan antara cinta dan benci?! Jika memang kita masih menyenangi, mengidolakan musuh-musuh Allah yaitu orang-orang kafir maka segeralah berbenah, karena keimanan kita berada dalam tanda tanya besar. Jangan-jangan selama ini hanya status saja sedang kita tak paham dan tak kenal apa Islam itu yang sebenarnya.

Rabu, 18 Juli 2018

BEKAL PERJALANAN (Art.Salayok132)


Betapa sibuknya kita ketika hendak bepergian jauh. Lihat saja pada libur panjang dalam "acara mudik lebaran." Berbagai kebutuhan kita siapkan bahkan jauh sebelum hari keberangkatan datang. Semua, karena kita tak ingin mendapat halangan baik sebelum atau di tengah perjalanan sehingga mengakibatkan kita tak bisa sampai ke tempat tujuan.

Akhirnya tidak sedikit di antara kita yang kemudian benar-benar mempersiapkan segalanya. Bahkan saking banyaknya, perbekalannya tidak mampu dibawa kecuali harus dengan kendaraan. Inilah yang diungkapkan oleh Allah dalam firman-Nya berkaitan dengan salah satu hikmah dan manfaat dari hewan ternak:

وَتَحْمِلُ أَثْقَالَكُمْ إِلَىٰ بَلَدٍ لَّمْ تَكُونُوا بَالِغِيهِ إِلَّا بِشِقِّ الْأَنفُسِ ۚ إِنَّ رَبَّكُمْ لَرَءُوفٌ رَّحِيمٌ

Dan ia (hewan ternak itu) memikul beban-bebanmu menuju suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Nahl: 7)

Sejenak kalau direnungkan, jika demikian keadaan kita dalam mempersiapkan bekal perjalanan dunia lantas bagaimanakah dengan perjalanan akhirat yang tentu lebih jauh dan melelahkan?! Inilah yang diungkapkan oleh al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, setelah beliau menyebutkan ayat tadi beliau kemudian berkata:

فَهَذَا شَأْنُ الاِنْتِقَالِ فِي الدُّنْيَا مِنْ بَلَدٍ إِلَى بَلَدٍ، فَكَيْفَ الاِنْتِقَالُ مِنَ الدُّنْيَا إِلَى دَارِ القَرَارِ

"Ini adalah perpindahan di dunia dari satu negeri ke negeri yang lain. Lantas bagaimana dengan perpindahan dari dunia menuju negeri keabadian?!" (Miftah Dar as-Sa'adah: 1/26)

Sudah barang tentu jauh lebih membutuhkan perbekalan. Karenanya Umar bin Abdul Aziz rahimahullah dahulu pada khutbahnya pernah mengatakan:

 إِنَّ لِكُلِّ سَفَرٍ زَادًا لَا مَحَالَة، فَتَزَوَّدُوْا لِسَفَرِكُمْ مِنَ الدُّنْيَا إِلَى الآخِرَة

“Sesungguhnya setiap perjalanan pasti membutuhkan bekal, maka berbekallah untuk perjalanan kalian dari dunia menuju akhirat.” (Hilyahtul Auliya’ cet. Darul Fikr: 5/291)

Oleh sebab itu, betapa tidak bijaknya jika untuk perjalanan dunia kita kerahkan segenap kemampuan untuk menyiapkan perbekalan sedangkan untuk perjalanan akhirat yang jauh lebih panjang, berat dan melelahkan kita hanya biasa-biasa saja. Seolah tak peduli padahal perjalanan itu pasti akan kita lalui.

Maka sekarang, mari mempersiapkan bekal perjalanan ini. Jangan katakan "esok, lusa atau nanti", tapi mulailah detik ini. Perjalanan ini sangat panjang, kematian pasti datang. Sedang kita tak tahu kapan ia menjelang.


Selasa, 17 Juli 2018

RUMAH YANG BERKAH (Art.Salayok131)



Hampir sebagian besar hidup kita dihabiskan di rumah atau tempat tinggal. Karena itulah kita berusaha membangun rumah yang senyaman mungkin. Kita kerahkan segalanya baik pikiran ataupun harta untuk mewujudkan sebuah rumah yang penuh dengan kedamaian dan kasih sayang, nyaman dan tentram.

Namun, banyak di antara kita yang lupa bahwa sesungguhnya rumah impian itu bukan terletak pada bentuk fisiknya, akan tetapi ada pada keberkahannya. Karenanya, Allah mengajarkan kita untuk berdo'a meminta tempat tinggal yang berkah bukan tempat tinggal yang sekedar indah. Allah berfirman:

وَقُل رَّبِّ أَنزِلْنِي مُنزَلًا مُّبَارَكًا وَأَنتَ خَيْرُ الْمُنزِلِينَ

"Dan berdoalah: Ya Tuhanku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkati, dan Engkau adalah sebaik-baik Yang memberi tempat." (QS. Al-Mu'minun: 29)

Kapan sebuah rumah itu menjadi hunian yang berkah?! Pada saat rumah itu dipenuhi dengan kebaikan. Orang-orang yang tinggal adalah orang-orang yang ta'at kepada Allah, sehingga rumah dihiasi dengan ibadah.

Rumah yang berkah adalah rumah yang penuh dengan shalat sunnah. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

صَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِي بُيُوتِكُمْ، فَإِنَّ أَفْضَلَ الصَّلاَةِ صَلاَةُ المَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا المَكْتُوبَةَ

"Wahai sekalian manusia, shalatlah kalian di rumah kalian. Karena sebaik-baik shalat seseorang adalah shalat yang dilakukan di rumahnya, kecuali shalat wajib." (HR. Bukhari: 698, Muslim: 781)

Rumah berkah penuh dengan lantunan al-Qur'an. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

مَثَلُ الْبَيْتِ الَّذِي يُذْكَرُ اللَّهُ فِيهِ وَالْبَيْتِ الَّذِي لَا يُذْكَرُ اللَّهُ فِيهِ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ

“Perumpamaan rumah yang disebut nama Allah di dalamnya dan rumah yang tidak disebut nama Allah di dalamnya, seperti perumpamaan orang hidup dan mati.” (HR. Muslim: 779)

Rumah yang berkah tidak dihiasi dengan patung atau gambar makhluk bernyawa. Karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

 لَا تَدْخُلُ الْمَلَائِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلَا صُورَةٌ

“Para malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan gambar.” (HR. Bukhari: 3226, Muslim: 2106)

Inilah rumah yang indah dan berkah, yaitu penuh dengan ibadah. Sebaliknya, jika sebuah rumah tidak pernah ada bacaan al-Qur'an, jarang didirikan shalat, penuh dengan patung dan gambar makhluk bernyawa maka betapa pun indahnya bangunannya, rumah itu tidak mempunyai keberkahan.

Oleh sebab itu, bangunlah rumah dengan keberkahan, penuhi dengan ibadah. Jangan hanya mempercantik bangunannya saja sedangkan ia tak ubahnya seperti kuburan. Ingat selalu, bahwa yang kita harapkan dari rumah itu adalah keberkahannya bukan sekadar keindahan bangunannya.
 

Sabtu, 14 Juli 2018

BULAN-BULAN HARAM


Memasuki awal dari bulan Dzul Qa'dah dan nanti akan diikuti oleh Dzul Hijjah serta Muharram. Tiga bulan itu ditambah dengan bulan Rajab adalah empat bulan haram, yang disebutkan oleh Allah subhanahu wata'ala dalam firman-Nya:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ 

Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu di bulan-bulan itu. (QS. At-Taubah: 36)

Artinya, tiga bulan ini kita akan berada di bulan haram yang mulia. Ada apa dengan bulan-bulan ini?! Ali bin Abi Thalhah rahimahullah mengatakan bahwa diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu, beliau menjelaskan perihal maksud dari ayat; "Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu di bulan-bulan itu", maksudnya adalah:

فِي كُلِّهِنَّ، ثُمَّ اِخْتَصَّ مِنْ ذَلِكَ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ فَجَعَلَهُنَّ حَرَامًا، وَعَظّمَ حُرُمَاتِهن، وَجَعَلَ الذَنْبَ فِيْهِنَّ أَعْظَم وَ العَمَلَ الصَّالِحَ وَالأَجْرَ أَعْظَم 

"Pada semua bulan, kemudian Allah mengkhususkan darinya empat bulan, menjadikan empat bulan itu sebagai bulan haram. Mengagungkan kemuliaannya dan menjadikan dosa yang dilakukan pada bulan-bulan tersebut lebih besar sebagaimana amal shalih serta pahala juga lebih besar." (Tafsir al-Qur'anul Azhim: 4/148)

Itulah dia, memang bulan-bulan haram ini menawarkan kepada kita kesempatan untuk melipatgandakan amal shalih. Kebaikan yang kita lakukan di bulan ini lebih besar nilai pahalanya. Namun di sisi lain, sebaliknya setiap keburukan dan maksiat yang kita lakukan di bulan ini dosanya juga lebih besar jika dibanding di bulan yang lain. Imam Qatadah rahimahullah mengatakan:

اِعْلَمُوْا أَنَّ الظُّلْمَ فِي الأَشْهُرِ الحُرُم أَعْظَمُ خَطِيْئَةً وَوِزْرًا فِيمَا سِوَى ذَلِكَ

"Ketahuilah, bahwa kezaliman di bulan-bulan haram lebih besar kesalahan dan dosanya daripada selain bulan-bulan tersebut." (Jamiul ulumi wal Hikam: 2/317)

Oleh sebab itu, pahamilah hal ini. Bulan-bulan haram adalah bulan yang mulia. Maka seyogyanya digunakan untuk menambah amal shalih bukan semakin larut dalam maksiat yang akhirnya menambah jumlah beban dosa yang harus kita pikul.

Selasa, 10 Juli 2018

MANHAJ DAKWAH AHLI BID'AH


Oleh: al-ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron

Di antara manhaj dakwah bid'ah penyesat umat yang harus kita ketahui dan kita jauhi adalah sebagai berikut:

1. Berdakwah dengan mendirikan partai atau golongan

Lembaga apa pun namanya yang memecah belah umat karena fanatik kepada golongan atau kelompok, hukumnya haram. Allah berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَّسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ 

Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka. (QS. Al-An'am: 159)

2. Berdakwah dengan nasyid atau syair-syair

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata: "Tidak benar ada nasyid Islam, kita tidak menjumpai kitab ulama salaf membolehkan hal itu, akan tetapi ini perbuatan orang sufi yang mereka sebut samma'." (al-Ijabah Muhimmah fi Masyakil al-Mulimmah: 1/177)

3. Berdakwah dengan musik 

Nyanyian dan musik hukumnya haram berdasarkan firman Allah di dalam surat Luqman: 6 dan sabda Rasulullah shallallahu wasalam:

 لَيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ والحَرِيْرَ وَالخَمْرَ وَالمَعَازِفَ

"Sungguh akan ada diantara umatku ini kaum yang menghalalkan zina, sutra (untuk pria), khamar, dan alat musik." (HR. Bukhari: 17/296)

4. Berdakwah dengan cerita dan dongeng

Imam Malik rahimahullah berkata: "Sungguh aku membenci cerita-cerita yang dibaca di masjid, tidak boleh duduk bersama mereka, karena dongeng itu bid'ah dan mereka tidak boleh menjadi khatib." (al-Ijabah Muhimmah fi Masyakil Mulimmah: 1/183)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata: "Boleh orang itu bercerita bila cerita itu ada di dalam al-Qur'an dan as-Sunnah yang shahih seperti menceritakan keberadaan umat yang dahulu bila bermaksud untuk mengambil pelajaran." (al-Ijabah Muhimmah fi Masyakil Mulimmah: 1/183)

5. Berdakwah dengan sandiwara

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata: "Sandiwara tidak boleh dilakukan di masjid atau di tempat lain, akan tetapi di masjid lebih berat dosanya. Sandiwara termasuk hal yang sia-sia dan permainan. Tidak boleh diamalkan dan bukan termasuk amalan umat Islam, akan tetapi pekerjaan orang kafir." (al-Ijabah Muhimmah fi Masyakil Mulimmah: 1/182)

Untuk lebih jelasnya silakan baca kitab at-Tamtsil Haqiqatuhu, Tarikhuhu wa Hukmuhu oleh Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah.

6. Wisata atau safari dakwah hizbiyah

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah ditanya tentang wisata atau safari dakwah, maka beliau menjawab: "Kamu jangan tinggalkan masjid dan majelis ilmu, tinggalkan wisata yang mereka sebut wisata dakwah, karena kita tidak tahu hakikatnya dan di balik itu dan tidak tahi siapa pematerinya, tapi kalian telah memiliki masjid dan sekolah serta ma'had, tekuni majelis mereka. Karena waktu sekarang waktu fitnah, orang Islam bagaikan kambing hidup di antara serigala. Dia ingin menerkam, maka tekuni di masjid dan majelis mereka dan jangan banyak keluar ikut safari dakwah." (al-Ijabah Muhimmah fi Masyakil Mulimmah: 1/193)

Dan masih banyak metode dakwah yang sesat dan menyesatkan. Misalnya dakwah dengan melawak, mendahulukan khilafah, mewajibkan keluar atau khuruj beberapa  beberapa hari setiap bulannya, memperingati hari ulang tahun bid'ah dan perbuatan maksiat lainnya.
_____________________

Sumber: Majalah Al-Furqon 82 tahun 1429H/2008M. Penerbit Lajnah Dakwah Ma'had Al-Furqon, Srowo, Sidayu, Gresik, Jawa Timur 61153

SEBAB PERBEDAAN PENDAPAT ANTAR ULAMA


Di antara faktor yang menyebabkan perselisihan pendapat di kalangan para ulama antara lain:

1. Belum sampai dalil kepadanya. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada para sahabat. Seperti kisah Umar yang bermusyawarah tentang wabah penyakit tha'un yang melanda Syam. (HR. Bukhari: 5729)

2. Adakalanya hadits telah sampai kepadanya namun ia belum sepenuhnya percaya kepada pembawa beritanya. Dan ia mengira bahwa hadits itu bertentangan dengan dalil yang lebih kuat. Seperti kisah Umar bin Khaththab yang menolak hadits yang dibawa oleh Fathimah binti Qais radliyallaahu anha (HR. Muslim: 1480) karena menurutnya bertentangan dengan dalil yang lebih kuat.

3. Adakalanya hadits telah sampai kepadanya tapi ia kemudian lupa. Sebagaimana yang terjadi pada kisah Umar bin Khaththab bersama Ammar bin Yasir radhiyallahu anhum. (HR. Bukhari: 346, Muslim: 368)

4. Dalil telah sampai namun ia salah memahaminya. Sebagaimana yang terjadi pada para sahabat ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan mereka supaya bergegas ke Bani Quraizhah. (HR. Bukhari: 946, Muslim: 1770)

5. Dalil telah sampai kepadanya dan ia sudah memahaminya. Akan tetapi, hukum yang ada pada dalil itu sudah dimansukh (dihapus). Sebagaimana yang terjadi pada kisah Ibnu Mas'ud bersama Alqamah dan al-Aswad perihal letak tangan ketika rukuk. (HR. Muslim: 534)

6. Telah sampai dalil kepadanya namun ia menyakini bahwa dalil itu ditentang oleh dalil yang lebih kuat. Sebagaimana yang terjadi pada Ibnu Abbas perihal riba fadhl.

7. Seorang alim mengambil hadits dha'if atau beristidhlal dengan istidhlal yang lemah.
_______________

Referensi: Al-Khilafu bainal Ulama Asbabuhu wa Mauqifuna Minhu, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah

Sabtu, 07 Juli 2018

SUDAH BENARKAH ISLAMKU?


Pernahkah kita, dikala duduk seorang diri bertanya pada diri kita sendiri, "Sudah benarkah Islam yang aku jalani ini? Apakah Islam yang aku amalkan hari ini sesuai dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu alaihi pada 15 abad silam?"

Pertanyaan seperti itu penting, karena kenyataannya memang kita ditakdirkan hidup di akhir zaman. Jauh dari mata air Islam itu sendiri. Sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda:

لَا يَأْتِي عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلَّا الَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ

”Tidaklah datang suatu zaman kepada kalian melainkan zaman yang setelahnya lebih buruk dari sebelumnya.” (HR. Bukhari: 7068)

Jangan terlalu percaya diri karena kita lahir dan tumbuh besar di lingkungan yang Islami. Ayah ibu kita muslim, kita tinggal bersama kaum muslimin. Lantas kemudian kita pun tidak mau kembali muhasabah dan belajar tentang agama ini. Bukan bermaksud apa-apa, hanya karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda:

بَدَأَ الإِسْلامُ غَرِيبًا ، وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا ، فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ

"Islam bermula dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana ia bermula, maka beruntung orang-orang yang asing." (HR. Muslim: 145)

Dijelaskan oleh al-Imam Abul Hasan as-Sindi rahimahullah (wafat: 1137H), perihal makna "Islam itu akan kembali asing", beliau mengatakan:

وَسَيَعُودُ غَرِيبًا، بِقِلَّةِ مَنْ يَقُوم بِهِ وَيُعِين عَلَيْهِ وَإِنْ كَانَ أَهْله كَثِيرًا

"Islam akan kembali asing disebabkan karena sedikitnya orang yang benar-benar mengamalkannya dan menolong (memberikan kontribusi) kepadanya meskipun pemeluknya banyak." (Hasyiah Ibni Majah: 4/349 Cet. Darul Ma'rifah, Beirut)

Subnalllah, bukankah itu terjadi di zaman kita ini. Di saat banyak orang yang mengaku muslim namun tidak perhatian dan tidak mengamalkan Islam dengan sesungguhnya. Sangat jauh dari amalan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Dan ketika ada orang-orang yang benar mengamalkannya justru dianggap asing. Dengan ringannya mereka dikata-katai; "Beragama Islam itu yang biasa-biasa sajalah."  Ketika ada wanita bercadar kemudian dilarang lantaran anggapan bahwa cadar itu bukan bagian dari Islam, hanya budaya Arab saja.

Oleh sebab itu, mari kita bersama-sama kembali intropeksi. Tanyakanlah pada diri kita, "Sudah benarkah kita menjadi muslim yang sesungguhnya? Ataukah justru kita termasuk orang yang ikut dalam kelompok yang banyak itu. Sekadar mengaku muslim tapi tidak kenal dengan Islam itu sendiri." Ini bukan urusan kita dengan orang lain, tapi urusan kita dengan hati sanubari kita sendiri. Lakukanlah sekarang sebelum datang penyesalan.

Kamis, 05 Juli 2018

DIA LEBIH BAIK DARI DIRIKU



Menyadari kadar diri serta mau mengakui kelebihan orang lain adalah akhlak yang tinggi. Tapi, tidak banyak yang mampu melakukannya. Kita masih sulit menerima kenyataan, mulut masih berat untuk mengucapkan; "Dia lebih baik dari diriku, dia lebih faqih, semoga Allah memberkahinya."

Padahal, salah satu sifat para nabi adalah mengakui kelebihan yang dimiliki oleh orang lain serta memuliakannya. Tidak malu dengan kekurangan yang ada pada diri mereka. Lihatlah Nabi Musa 'alaihi salam, yang memperlihatkan kepada kita akhlak yang mulia ini. Sebagaimana yang dihikayatkan oleh Allah dalam al-Qur'an:

وَأَخِي هَارُونُ هُوَ أَفْصَحُ مِنِّي لِسَانًا

Dan saudaraku Harun dia lebih fasih lidahnya daripadaku. (QS. Al-Qashash: 34)

Pertanyaannya, apakah Nabi Musa menjadi rendah dengan hal itu?! Jelas tidak, justru hal itu semakin menambah kemualian dirinya. Sehingga benar sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

مَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ

“Tidaklah seorang bertawadhu’ karena Allah melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim: 2588)

Bandingkan dengan Iblis, yang tidak mau mengakui kelebihan Adam sehingga tidah ayal akhirnya ia pun dengan angkuh mengatakan sebagaimana yang difirmankan oleh Allah:

قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِّنْهُ ۖ خَلَقْتَنِي مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُ مِن طِينٍ

Iblis berkata: "Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah." (QS. Shad: 76)

Pernyataannya, apakah dengan pernyataannya tersebut kemudian ia menjadi mulia?! Tidak, justru sebaliknya ia bertambah hina dan memalukan.

Berarti kesimpulannya, mau mengakui kedudukan dan kelebihan orang lain adalah akhlaknya para Nabi sedangkan mengingkari dan tak mau mengakui adalah akhlaknya Iblis.

Sekarang tinggal tentukan pilihan kita. Apakah akan meniru para nabi ataukah meniru Iblis. Sebagai seorang muslim yang baik tentu kita akan memilih jalannya para nabi. Oleh sebab itu, jangan malu untuk mengucapkan;  "Dia lebih berilmu dan lebih faqih dariku," "Dia lebih hafal dan lebih bertakwa," "Dia lebih baik dari diriku."

Rabu, 04 Juli 2018

RENCANA BAIK DAN IDEALISME


Banyak diantara kita yang mangkrak dalam melakukan kebaikan. Rencana demi rencana telah digulirkan. Namun, semua masih dalam angan-angan yang tidak tahu kapan akan menjadi nyata. Sebabnya apa? Salah satunya adalah kita terlalu memaksakan diri untuk menjadi seorang yang idealis.

Menginginkan segala sesuatunya baik dan sempurna adalah hal yang boleh-boleh saja dan bahkan dianjurkan. Akan tetapi, tentu hal itu harus dibarengi dengan kemampuan yang ada. Mulai melakukan kebaikan meski pun kecil, jauh lebih utama daripada rencana besar namun tak kunjung menjadi nyata.

Karenanya, syari'at kita menganjurkan untuk memilih pekerjaan yang kita mampu, kemudian memulai untuk merealisasikannya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ! خُذُوا مِنَ الأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ

“Wahai sekalian manusia, ambillah pekerjaan sesuai dengan kemampuan kalian.” (HR. Bukhari: 5861, Muslim: 782)

Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang continue dan konsisten, meski hanya sedikit dan kecil. Buat apa besar tapi hanya satu kali, atau bahkan malah masih baru rencana saja semenjak sekian lama. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

“Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling konsisten meskipun sedikit.” (HR. Bukhari: 6464, Muslim: 783)

Kita bukan menafikan idealisme, hanya bagaimana kita dapat memulai langkah pertama dalam kebaikan yang telah kita niatkan, baru kemudian setelah itu melakukan perbaikan dan penyempurnaan hingga tercapai kesempurnaan. Karena dalam agama kita pun, disyariatkan apabila kita beramal harus ditekuni, diperbagusi, sehingga menghasilkan pekerjaan yang baik. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda:

إِنّ اللَّهَ تَعَالى يُحِبّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلاً أَنْ يُتْقِنَهُ

“Sesungguhnya Allah cinta jika salah seorang diantaramu melakukan suatu amalan, ia benar-benar menekuninya.” (HR. Thabarani dalam al-Ausath: 891, ash-Shahihah: 1113)

Oleh sebab itu, cintailah kebaikan dan jadilah kunci pembukanya dimana pun kita berada. Segera aplikasikan niatan baik kita meski harus dengan hal kecil tanpa menunggu semua lengkap tersedia. Jangan sampai idealisme justru menghambat rencana baik kita hingga akhirnya ia pun terkikis oleh perjalanan masa dan terkubur untuk selama-lamanya.

Kamis, 28 Juni 2018

KAROMAH WALI


Berbicara tentang wali dan karomah maka di Indonesia ada banyak cerita. Karena memang masyarakatnya dikenal mudah menyematkan gelar wali kepada seorang yang mempunyai sesuatu luar biasa. Sampai-sampai kepada mereka yang sangat jauh dari agama. Tidak shalat, tidak puasa, bahkan orang gila yang tidak pakai baju pun ada yang dianggap wali.

Jika Anda mampu berjalan di atas bara api yang menyala, terbang di udara, menyeberangi sungai dengan berjalan di atasnya, maka Anda punya kesempatan masuk jajaran "wali Indonesia", karena Anda punya ilmu yang luar biasa, "karomah" kata mereka.  Akan tetapi, jika kita berbicara dalam prespektif Islam yang sesungguhnya, tentu urusannya jadi berbeda.

Mempercayai karomah wali-wali Allah adalah salah satu diantara pokok keyakinan ahlussunnah wal jamaah. Yang dimaksud dengan karomah, sebagaimana yang didefinisikan oleh para ulama, di antaranya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, beliau mengatakan:

وَالكَرَامَةُ هِيَ أَمْرٌ خَارِقٌ لِلْعَادَةِ ، يُجْرِيْهِ اللَّهُ تَعَالَى عَلَى يَدِ وَلِيٍّ ؛ تَأْيِيْدًا لَهُ، أَوْ إِعَانَةً، أَوْ تَثْبِيْتًا، أَوْ نَصْرًا لِلدِّيْنِ 

"Karomah adalah suatu yang menyalahi adat kebiasaan, yang diberikan oleh Allah kepada seorang wali, untuk menguatkan, membantu dan memberikan keteguhan kepadanya atau pertolongan bagi agama." (Majmu Fatawa wa Rasail Syaikh Ibnu Utsaimin: 8/626)

Itulah karomah yaitu sesuatu yang diluar kebiasaan. Akan tetapi yang perlu diingat, bahwa tidak semua sesuatu diluar kebiasaan lantas disebut karomah. Karomah hanya diberikan kepada wali Allah. Siapa wali Allah? Mereka adalah yang disebutkan oleh Allah mempunyai dua sifat. Allah berfirman:

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ، الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ

Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah tidak ada ketakutan atas mereka dan mereka juga tidak bersedih hati. Mereka adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa. (QS. Yunus: 62-63)

Maka jika ada seorang yang jauh dari agama, meninggalkan ajaran-ajaran agama, lalu mampu melakukan sesuatu diluar kebiasaan maka itu bukan karomah. Itu adalah tipuan setan, mereka bukan wali Allah tetapi walinya setan, meski mereka berjubah dan bersorban.

Jangan gampang tertipu dan mudah terpedaya dengan sesuatu yang terlihat luar biasa. Ingat pesan Imam Syafi'i rahimahullah:

إِِذَا رَأَيْتُمْ الرَّجُلَ يَمْشِي عَلَى المَاءِ وَيَطِيْرُ فِي الهَوَاء؛ فَلَا تَغْتَرُّوْا بِهِ حَتَّى تَعْرِضُوْا أَمْرَهُ عَلَى الكِتَابِ وَالسُنَّةِ.

"Apabila kalian melihat ada seorang yang dapat berjalan di atas air atau terbang di udara maka jangan terpedaya dengannya  sampai kalian timbang ahwalnya dengan kitab al-Qur'an dan Sunnah." (Tafsir Ibnu Katsir: 1/233, tafsir surat al-Baqarah ayat 34)

Oleh sebab itu, kesesuaian amalan dengan al-Qur'an dan Sunnah merupakan salah satu timbangan penentunya. Ingat, karomah hanya milik wali Allah yaitu orang yang beriman dan bertakwa saja.

JAUHKAN ANAKMU DARI MENIRU ORANG KAFIR


Oleh: Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron. Lc

Orang kafir (non-muslim) tidak beriman kepada Allah dan hari pembalasan. Hidup mereka dikendalikan oleh hawa nafsu. Mereka tidak mengenal halal dan haram, yang penting mereka senang dan puas, tidak berpikir mafsadat dan maslahat. Apalagi berpikir tentang pahala atau siksa. (QS. Muhammad: 12)

Mereka itu musuh Allah, Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam dan orang yang beriman. Mereka ingin mengajak orang Islam agar mengikuti jejak mereka dengan memakai segala macam cara.

Meniru Orang Kafir

Meniru orang kafir yang menjadi kekhususan mereka hukumnya adalah haram, berdasarkan dalil dari al-Qur’an, sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bahkan ijma’ ulama. Allah subhanahu wata'ala berfirman:

وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ

Sebagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. (QS. al-Baqarah: 109)

Mengapa kita dilarang meniru orang kafir secara lahiriah? Ibnu Taimiyyah berkata, “Keserupaan dalam perkara lahiriah bisa berpengaruh pada keserupaan dalam akhlak dan amalan. Oleh karena itu, kita dilarang tasyabbuh (menyerupai) dengan orang kafir.” (Majmu’ al-Fatawa 22/ 154)

Beliau juga berkata, “Jika dalam perkara adat (kebiasaan) saja kita dilarang tasyabbuh dengan mereka, bagaimana lagi dalam perkara yang lebih dari itu?!” (Majmu’ al-Fatawa 25/332)

Keterangan beliau ini, walaupun kita dan anak kita tidak bermaksud meniru mereka, namun jika gaya bicara dan amal kita meniru kekhususan mereka, tentu mereka bangga dan senang. Oleh karena itu hukumnya haram.

Berdasarkan dalil di atas, walau anak kita belum baligh, kita harus larang meniru mereka. Sebab anak yang masih muda umumya suka meniru apa yang mereka lihat dan yang mereka dengar karena keterbatasan akal dan kemampuannya, belum bisa membedakan yang halal dan haram, yang maslahat dan yang membahayakan.

Anak Mudah Meniru Apalagi Belum Berilmu

Rasulullah mengingatkan anak dan cucu kita ketika lahir yang belum melihat dan mendengar sesuatu, mereka dalam keadaan bersih dari noda, tetapi sesudah itu mereka umumnya berubah bicara dan tingkah lakunya karena susuatu yang mereka dengar dan yang mereka lihat. Sudahkah orang tua dan para pendidik menjaga fitrah mereka agar tetap bersih dan bertambah baik ibadah dan akhlaknya? Ataukah sebaliknya? Na’udzubillahi min dzalik. Kita kelak akan dimintai pertanggungan jawab ketika berjumpa dengan Allah. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَثَلِ الْبَهِيمَةِ تُنْتَجُ الْبَهِيمَةَ هَلْ تَرَى فِيهَا جَدْعَاءَ.

“Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi seorang Yahudi, Nasrani maupun Majusi. Sebagaimana seekor binatang yang melahirkan seekor anak tanpa cacat, apakah kamu merasakan terdapat yang terpotong hidungnya?” (HR. Muslim: 4803)

Berkata Imam Badruddin al-‘Aini, “Dua orang tualah yang mengajari dia beragama Yahudi atau Nasrani dan yang memalingkan fitrahnya, sehingga dia mengikuti agama orang tuanya.” (‘Umdatul Qari’ Syarh Shahih al-Bukhari 13/39)

Pola Pakaian Anak Orang Kafir

Pakaian berfungsi menutup aurat manusia agar tidak seperti hewan. Tentu aib bila terlihat auratnya. Namun perhatikan gaya pakaian anak-anak mereka; berpakaian tipis, tebal tapi press body, membuka aurat, bergambar makhluk hidup, anak wanita berpakaian di atas paha. Gaya pakaian mereka terkadang sama antara anak laki-laki dan perempuan; pria berambut panjang, putrinya dipangkas, prianya pakai anting, kalung dan yang serupa. Intinya, membuka aurat dan tidak jelas bedanya antara pria dan wanita. Ini semua haram ditiru oleh anak kita berdasarkan dalil, di antaranya:

1. Hadits Ibnu Abbas radliyallaahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaknat para laki-laki yang menyerupai wanita dan para wanita yang menyerupai laki-laki, sabdanya shallallahu 'alaihi wasallam:

أَخْرِجُوهُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ

“Keluarkanlah mereka dari rumah kalian!” Ibnu Abbas melanjutkan, “Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah mengeluarkan si fulan, begitu juga Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu.” (HR. al-Bukhari: 5436)

2. Hadits Aisyah radhiyallahu anha, dia berkata, “Asma’ binti Abu Bakar radhiyallahu anhuma menghadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dengan memakai pakaian yang tipis, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berpaling darinya dan berkata,

يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتْ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا

"Wahai Asma', Jika wanita telah mengalami haid (baligh) maka dia tidak boleh memperlihatkan auratnya kecuali ini dan ini —beliau memberi isyarat pada wajah dan kedua telapak tangan-.” (HR. Abu Dawud: 4104, Shahih, al-Hijab hal. 24)

3. Ibnu Abbas radliyallaahu anhu berkata:

لَعَنَ رَسُولُ اللهِ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ ، وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ

“Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaknat kaum pria yang menyerupai wanita, dan kaum wanita yang menyerupai pria.” (Disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam al-Fath 10/272-274, melalui Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah hal. 149)

Berdasarkan dalil di atas, anak umat Islam hendaknya tidak meniru cara berpakaian dan kekhususan orang kafir. Anak kita cukup meniru pakaian anak orang muslim yang mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.

Pola Makan Dan Minum Anak Orang Kafir

Kita saksikan orang kafir makan dan minum tidak mengenal halal dan haram, makan dan minum bersandar, mencela makanan, banyak yang makan dengan tangan kiri (bahkan terkadang dengan sepuluh jari), tidak baca basmalah, berlebih-lebihan (bahkan membuang makanan sesukanya), tidak menjilati jarinya setelah makan, makanan jatuh pun tidak diambil. Anak kita tidak boleh meniru mereka, karena semua yang disebut hukumnya terlarang.

Dalil yang melarang hal di atas di antaranya;
1. Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah mencela sama sekali pada suatu makanan. Jika beliau ingin makanan itu, beliau pun memakannya. Jika tidak menyukainya, maka beliau tinggalkan -tanpa mencelanya-.” (HR. al-Bukhari: 5409)

2. Salamah bin al-Akwa’ radhiyallahu anhu mengisahkan, bahwa ada seorang lelaki makan di sisi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dengan tangan kirinya, lalu Nabi bersabda, "Makanlah dengan tangan kananmu." Orang itu menjawab, "Saya tidak dapat -makan dengan tangan kanan-." Beliau lalu bersabda, "Engkau tidak bisa? Tidak ada yang menyebabkan ia berbuat sedemikian itu kecuali karena kesombongan.” Maka orang itu tidak dapat mengangkatkan tangan kanannya ke mulut -untuk selama-lamanya sejak saat itu-. (HR. Muslim: 107)

3. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Jikalau seseorang dari engkau semua makan sesuatu makanan, maka janganlah mengusap jari-jarinya sebelum menjilatnya -untuk mendapatkan keberkahan- atau menjilatkannya -kepada orang lain seperti kepada anaknya, muridnya dan lain-lain.” (HR. al-Bukhari: 5140)

Masih banyak lagi dalil yang menjelaskan larangan cara makan dan minum seperti mereka, hal ini bisa dilihat dalam kitab adab dan lainnya.

Pola Bicara Anak Orang Kafir

Anak orang kafir seperti orang tuanya, berbicara tanpa dipikir terlebih dahulu. Mereka pun berbohong, bercerita dusta, berteriak-teriak, bertepuk tangan, menyanyi, menari, membunyikan terompet, meniup seruling, mencela, mengolok-olok dan perkataan keji lainnya. Maka anak kita jangan sampai terpengaruh oleh akhlak seperti ini, baik dari teman atau dari tayangan TV.

Adapun dalil keharaman perbuatan tersebut, di antaranya;

1. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

فِى هَذِهِ الأُمَّةِ خَسْفٌ وَمَسْخٌ وَقَذْفٌ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَتَى ذَاكَ قَالَ « إِذَا ظَهَرَتِ الْقَيْنَاتُ وَالْمَعَازِفُ وَشُرِبَتِ الْخُمُورُ 

“Pada umat ini akan terjadi penenggelaman ke dalam bumi, perubahan rupa, dan pelemparan batu.” Seseorang dari kaum muslimin bertanya, "Wahai Rasulullah, kapan hal itu akan terjadi?” Beliau menjawab, "Jika para penyanyi wanita dan para pemain musik (tampil) muncul terang-terangan, dan khamer diminum.” (HR. at-Tirmidzi: 2212, Hasan sebagaimana dalam ash-Shahihah no. 1604)

2. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا لَا تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ وَلَا بِالنَّصَارَى فَإِنَّ تَسْلِيمَ الْيَهُودِ الْإِشَارَةُ بِالْأَصَابِعِ وَتَسْلِيمَ النَّصَارَى الْإِشَارَةُ بِالْأَكُفِّ

“Bukan termasuk golongan kami siapa yang menyerupai kaum selain kami. Janganlah kalian menyerupai Yahudi, juga Nasrani, karena Yahudi memberi salam dengan isyarat jari, dan kaum Nasrani memberi salam dengan isyarat telapak tangannya.” (HR. at-Tirmidzi: 2911 dihasnkan oleh al-Albani)

3. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengingatkan agar anak kita tidak berbicara melainkan yang diridhoi oleh Allah, karena bahaya lisan sangat besar. Beliau bersabda: “Barangsiapa bisa menjamin kepadaku (untuk menjaga) apa yang ada di antara dua janggutnya dan dua kakinya, maka kuberikan kepadanya jaminan masuk surga.” (HR. al-Bukhari: 6474)

Imam Abu Hatim Ibnu Hibban al-Busti berkata “Orang yang berakal selayaknya lebih banyak diam daripada bicara. Hal itu karena betapa banyak orang yang menyesal karena bicara, dan sedikit yang menyesal karena diam. Orang yang paling celaka dan paling besar mendapat bagian musibah adalah orang yang lisannya senantiasa berbicara, sedangkan pikirannya tidak mau jalan.” (Raudhah al-‘Uqala’ wa Nuzhah al-Fudhala’ hal. 45)

Pola Pergaulan Anak Orang Kafir

Pergaulan anak kafir bebas bercampur lelaki dan perempuan, bercanda, berboncengan dengan lain jenis yang bukan mahram, berjabat tangan dengan lawan jenis tanpa tahu siapa mahramnya. Karena itu kita sering jumpai mereka jatuh kepada perbuatan mesum karena mereka tidak mengenal adab bergaul yang baik.

Adapun dalil keharaman perbuatan tersebut, di antaranya;

1. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

 إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ: يَا رَسُولَ اللهِ , أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ 

“Jauhkan dirimu masuk di rumah wanita!” Lalu ada seorang Anshar bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu menemui ipar?” Beliau menjawab, “Dia dapat membawa kematian.” (HR. al-Bukhari: 5232)

2. Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu berkata:

وَإِيَّاكُمْ وَالتَّنَعُّمَ وَزِىَّ أَهْلِ الشِّرْكِ 

“Dan jauhkan dirimu dari berfoya-foya serta model orang musyrik.” (Muslim no. 5532)

3. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

“Janganlah laki-laki berduaan dengan perempuan (lain) kecuali perempuan itu didampingi mahramnya. Dan janganlah seorang perempuan melakukan perjalanan (safar) kecuali didampingi mahramnya.” (HR. Muslim: 2844)

Begitu belas kasih Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengingatkan umatnya agar berhati-hati bergaul dengan yang bukan mahram, padahal tidak sedikit pendidikan sekarang kurang memperhatikan perkara ini. Semoga kita dan anak-anak kita dilindungi oleh Allah dari murka-Nya. Amin


Senin, 25 Juni 2018

GAMBAR DAN MOTIF SAJADAH



Sajadah, adalah hal yang tidak asing lagi bagi kita umat Islam. Lebih-lebih di negara kita, tersebar luas baik di rumah maupun di masjid-masjid. Sangat beragam dengan berbagai motif dan warna. Ada gambar masjid, ka'bah, ukiran, mozaik, lampu, dan seterusnya.

Sebagai seorang muslim boleh-boleh saja kita shalat dengan mengunakan sajadah sebagai alas. Hanya saja, mengingat bahwasanya sajadah yang ada sekarang banyak sekali pilihannya maka satu hal yang harus diperhatikan adalah pemilihan motif dan hiasannya. Jangan sampai gambar atau motif sajadah justru menghilangkan ruh dari shalat itu sendiri yaitu kekhusyukan.

Dari Aisyah radhiyallahu anha, bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah shalat mengenakan baju yang ada motif garisnya. Beliau pun melihat selintas ke arah motifnya itu. Maka ketika beliau selesai shalat, beliau bersabda:

اذْهَبُوا بِخَمِيصَتِي هَذِهِ إِلَى أَبِي جَهْمٍ وَأْتُونِي بِأَنْبِجَانِيَّةِ أَبِي جَهْمٍ فَإِنَّهَا أَلْهَتْنِي آنِفًا عَنْ صَلَاتِي

“Pergilah dengan kain ini ke Abu Jahm dan datangkan kain kasar Abu Jahm. Karena kain ini barusan melenakanku dalam shalat."

Dalam redaksi yang lain beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda:

كُنْتُ أَنْظُرُ إِلَى عَلَمِهَا وَأَنَا فِي الصَّلَاةِ فَأَخَافُ أَنْ تَفْتِنَنِي

“Aku barusan melihat gambarnya sementara aku dalam shalat, aku khawatir kain ini menggangguku.” (HR. Bukhari: 373, Muslim: 556)

Itulah yang  dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Kekhusyukan  adalah inti dari shalat sehingga beliau menghindarkan segala sesuatu yang dapat merusaknya.

Dari hadits diatas dapat kita ambil pelajaran, bahwa dalam masalah ini hendaknya kita memilih sajadah yang tidak menggangu kekhusyukan shalat. Sajadah dengan motif yang dapat mengganggu kekhusyukan harus dihindari. Terlebih sajadah yang ada di masjid, hendaknya bebas dari motif-motif yang mengganggu. Para ulama melalui Lajnah Daimah telah menjelaskan:

وَالرُّسُوْمُ وَالزَخَارِفُ فِي فِرَشِ المَسَاجِدِ وَجِدْرَانِهَا مِمَّا يُشْغِلُ القَلْبَ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَيُذْهِبُ بِكَثِيْرٍ مِنْ خُشُوْعِ المُصَلِّيْنَ، وَلِذَا كَرِهَهُ كَثِيْرٌ مِنَ السَّلَفِ. فَيَنْبَغِيْ لِلْمُسْلِمِيْنَ أَنْ يُجَنِّبُوْا ذَلِكَ مَسَاجِدَهُمْ، مُحَافَظَةً عَلَى كَمَالِ عِبَادَتِهِمْ

"Gambar dan hiasan di karpet masjid dan dindingnya termasuk yang melalaikan hati dari zikir kepada Allah dan menghilangkan kekhusyukan jamaah shalat. Oleh karena itu banyak ulama salaf memakruhkannya. Selayaknya umat Islam menjauhkan hal itu dari masjid-masjid untuk menjaga kesempurnaan ibadah mereka." (Fatawa Lajnah Daimah: 6/181) 

Termasuk juga, sajadah yang bergambar masjid. Baik gambar masjidil haram, Nabawi, Aqsha, maupun masjid yang lainnya. Lebih baik dihindari. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, dengan berdalil dengan hadits di atas menjelaskan:

الَّذِي نَرَى أَنَّهُ لَا يَنْبَغِي أَنْ يُوْضَعَ لِلْإِمَامِ سَجادٌ فِيْهِ تَصَاوِيرُ مَسَاجِد ، لِأَنَّهُ رُبَّمَا يُشَوَّش عَلَيْهِ وَيُلْفِتُ نَظْرَهُ وَهَذَا يَخلُّ بِالصَّلَاةِ

"Pendapat kami, bahwasanya tidak layak menaruh untuk Imam sajadah yang ada gambar masjid. Karena terkadang mengganggu dan memalingkan pandangannya dan ini mengurangi kesempurnaan shalat." (Fatawa Syaikh Ibnu al-Utsaimin: 12/362)

Oleh sebab itu, hal inilah yang harus kita perhatikan bersama. Jangan sampai membeli sajadah dengan motif yang dapat mengganggu kekhusyukan. Terlebih bagi para pengurus masjid, hendaknya hati-hati dalam menentukan karpet sajadah masjid. Jangan sampai akhirnya membuat jama'ah kehilangan kekhusyukan karena sibuk memperhatikan dan memikirkan motif sajadah ketika shalat.

Minggu, 24 Juni 2018

NASEHATI DENGAN CARA YANG TEPAT


Nasehat adalah bagian penting dalam kehidupan. Ia merupakan tonggak dan tali kekang kemulian ummat. Sampai-sampai Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengatakan bahwa agama ini semuanya adalah nasehat. Tamim ad-Dari radhiyallahu anhu pernah menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda:

الدِّينُ النَّصِيحَةُ، قُلْنَا لِمَنْ؟، قال: لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ

“Agama adalah nasehat”, kami (para sahabat) berkata: “Bagi siapa ?” Beliau menjawab: “Bagi Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, dan untuk para pemimpin umat Islam dan kaum muslimin secara umum.” (HR. Muslim: 55)

Nasehat itu wajib, namun yang perlu diingat, bahwa nasehat itu adalah obat bagi luka. Selembut apapun, ia tetap memberikan sakit. Oleh sebab itu, perhatikan cara menyampaikan nasehat. Pahamilah, bahwa hukum asalnya, nasehat hendaknya dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Selama tidak ada mashlahat yang lebih besar untuk menampakkannya. Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah pernah mengatakan:

كَانَ السَّلَفُ إِذَا أَرَادُوْا نَصِيْحَةَ أَحَدٍ ، وَعَظُوْهُ سِرًّا ، حَتَّى قَالَ بَعْضُهُمْ: مَنْ وَعَظَ أَخَاهُ فِيْمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ فَهِيَ نَصِيْحَةٌ، وَمَنْ وَعَظَهُ عَلَى رُؤُوْسِ النَّاسِ فَإِنَّمَا وَبَّخَهَ 

“Dahulu generasi salaf jika mereka ingin menasehati seseorang, mereka menyampaikannya dengan sembunyi-sembunyi, sampai-sampai sebagian mereka berkata: 'Barangsiapa yang menasehati saudaranya antara dia dan saudaranya saja maka itulah nasehat, dan Barangsiapa yang menasehatinya di hadapan halayak, maka ia telah menjatuhkannya.'”

Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata:

المُؤْمِنُ يَسْتُرُ ويَنْصَحُ ، وَالفَاجِرُ يَهْتِكُ وَيُعَيِّرُ

“Seorang mukmin itu menutupi dan menasehati, sementara orang yang jahat adalah mencederai dan menghina”. (Jami Al-Ulum wal Hikam: 1/236)

Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah menjelaskan dengan gamblang perihal cara menasehati yang sesungguhnya ini. Beliau rahimahullah mengatakan:

إِِذَا نَصَحْتَ فَانْصَحْ سِرًّا لَا جَهْرًا، وَبِتَعْرِيْضٍ لَا تَصْرِيْحٍ، إِلَّا أَنْ لَا يَفْهَمَ المَنْصُوْحُ تَعْرِيْضَكَ، فَلَا بُدَّ مِنْ التَّصْرِيْحِ .... فَإِِنْ تَعَديْتَ هَذِهِ الْوُجُوْهَ فَأَنْتَ ظَالِمٌ لَا نَاصِحٌ

“Jika kamu ingin menasehati, maka nasehatilah dengan sembunyi-sembunyi tidak dengan terang-terangan, dengan bahasa kiasan tidak dengan bahasa lugas, kecuali jika yang dinasehati tidak memahami bahasa kiasan maka diperlukan bahasa yang lugas dan jelas. Jika kamu melampaui hal tersebut maka kamu adalah seorang yang zhalim, bukan sebagai pemberi nasehat”. (Al-Akhlak Was Siyar: 45)

Oleh sebab itu, sebelum menasehati orang lain. Perhatikanlah banyak hal, salah satunya yaitu cara kita menyampaikan nasehat itu. Nasehat itu penting, tapi lebih penting lagi cara menyampaikannya. Nasehat untuk memperbaiki bukan membuat orang semakin lari dan benci.

Sabtu, 23 Juni 2018

AGAR TAK MENDATANGKAN PENYESALAN


Katanya, penyelasan itu selalu datang belakangan. Mengingat apa yang telah terjadi dan kesempatan yang terbuang percuma hingga akhirnya mendatangkan kesedihan yang mendalam.

Karenanya, salah satu nikmat bagi wali-wali Allah yaitu mereka yang beriman dan bertakwa kepada-Nya adalah mereka diselamatkan dari kesedihan hati terhadap apa yang telah berlalu dan diselamatkan dari rasa khawatir terhadap apa yang akan terjadi di masa depan. Allah berfirman:

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. (QS. Yunus: 62)

Mereka yang akan selamat dari sedihnya penyelasan adalah mereka yang mampu mengetahui hakikat dua kehidupan; kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Kemudian ia mampu menempatkan dirinya pada masing-masing kehidupan tersebut.

Inilah Imam Ahmad rahimahullah, yang telah memberikan nasehat berharga dan petuah emas untuk kita di hari ini. Beliau pernah mengatakan:

الدُنْيَا دَارُ عَمَلٍ، وَالآخِرَةُ دَارُ جَزَاءٍ، فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ هُنَا؛ نَدِمَ هُنَاكَ

"Dunia ini adalah negeri untuk beramal, sedangkan akhirat adalah negeri balasan, maka siapa yang tidak beramal di sini, dia pasti akan menyesal di sana." (Az-Zuhd, al-Baihaqi, no. 730)

Oleh sebab itu, pahamilah hakikat dua kehidupan itu, tempatkan diri kita pada tempatnya. Jika kita masih menghirup udara dunia, maka ingatlah bahwa dunia adalah negeri untuk beramal, menyiapkan bekal menuju negeri berikutnya. Jangan sampai kita lupa karena hiruk pikuknya dunia, akhirnya kita menyesal untuk selamanya.

ORANG BAIK UJIANNYA BERAT


Hidup tanpa musuh atau bebas dari orang-orang yang tidak suka adalah hal yang mustahil. Karena memang Allah telah menakdirkan keseimbangan. Ada kebaikan dan keburukan, kebenaran dan kesesatan, haq dan batil yang senantiasa ada dan berperang. Allah berfirman:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا مِّنَ الْمُجْرِمِينَ ۗ وَكَفَىٰ بِرَبِّكَ هَادِيًا وَنَصِيرًا

Dan seperti itulah, telah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi, musuh dari orang-orang yang berdosa. Dan cukuplah Tuhanmu menjadi Pemberi petunjuk dan Penolong. (QS. Al-Furqan: 31)

Dalam ayat yang lain, Allah menerangkan tentang musuh para nabi dan pengikutnya yaitu setan-setan, baik dari kalangan jin maupun manusia. Allah berfirman:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا ۚ 

"Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia)." (QS. Al-An'am: 112)

Makanya, jangan pernah mengira ketika kita telah menjadi orang baik dan berusaha meniti kebenaran lantas kemudian hidup tenang tanpa musuh dan gangguan. Bahkan, semakin kukuh kita di atas kebenaran semakin banyak dan besar ujiannya.

Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ditanya tentang manusia yang paling berat ujiannya, beliau bukan menjawab orang yang paling durjana akan tetapi mereka yang paling dekat kedudukannya dengan Allah, bagus agamanya. Dari Sa'ad bin Abi Waqqash radhiyallahu anhu, ia pernah menuturkan:

قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ , أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاءً ؟ قَالَ : الأَنْبِيَاءُ , ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ , فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ , فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاؤُهُ , وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ , فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ

"Aku pernah berkata: Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berat ujiannya? Beliau menjawab: 'Para nabi, kemudian yang semisal, kemudian yang semisal. Sungguh seseorang itu akan diuji berdasarkan agamanya, bila agamanya kuat, ujiannya pun berat, sebaliknya bila agamanya lemah, ia diuji sesuai dengan kadar agamanya. Ujian tidak akan berhenti menimpa seorang hamba hingga ia berjalan di muka bumi dengan tidak mempunyai kesalahan.'" (HR. Tirmidzi: 2398)

Belajarlah dari perjalanan hidup Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, banyak orang yang tidak suka dengan apa yang beliau bawa dan dakwahkan. Sehingga bermacam gangguan pun beliau dapatkan. Mulai dari tuduhan dusta; pemecah belah, tukang sihir, dukun, orang gila, diludahi, ditaruh kotoran di pundaknya ketika sedang shalat, sampai usaha pembuhunan, dst. Bahkan, tidak sedikit yang menjadi musuh beliau itu adalah orang-orang dekat yang masih ada hubungan keluarga.

Oleh sebab itu, jangan terlalu diambil hati apa yang kita dapatkan dari manusia. Tetaplah menjadi orang baik meski dihina, dikucilkan, dituduh yang bukan-bukan, disakiti, dst. Ingat saja bahwa itu memang takdir kehidupan. Jangan sedih, masih ada kehidupan berikutnya, kelak di sana akan tampak terang mana yang benar dan mana yang salah, dihadapan Allah subhanahu wata'ala. Dan masing-masing akan mendapat balasan sesuai dengan perbuatannya.

Kamis, 21 Juni 2018

SELAMATKAN DIRI MESKI HANYA DENGAN SEPARUH KURMA


Jangan pernah berangan-angan untuk singgah di neraka walau hanya sekejap mata. Tidak ada yang sanggup dengan pedih siksaannya. Sebab, siksa teringannya saja sangat mengerikan. Satu celupannya saja sudah cukup untuk membuat manusia lupa dengan semua kenikmatan yang pernah mereka rasakan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda:

يُؤْتَى بِأَنْعَمِ أَهْلِ الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُصْبَغُ فِي النَّارِ صَبْغَةً ثُمَّ يُقَالُ : يَا ابْنَ آدَمَ هَلْ رَأَيْتَ خَيْرًا قَطُّ ؟ هَلْ مَرَّ بِكَ نَعِيمٌ قَطُّ ؟ فَيَقُولُ : لَا وَاللَّهِ يَا رَبِّ

"Didatangkan orang yang paling nikmat hidupnya di dunia yang termasuk penghuni neraka pada hari kiamat lalu dicelupkan ke neraka sekali celupan, setelah itu dikatakan padanya: 'Wahai anak cucu Adam, apakah kau pernah melihat kebaikan sedikit pun, apakah kau pernah merasakan kenikmatan sedikit pun? ' Ia menjawab: 'Tidak, demi Allah, wahai Rabb.'" (HR. Muslim: 2807)

Makanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kita agar berusaha keras menghindarkan diri dari neraka, meski hanya bersedekah separuh kurma. Beliau shallallahu 'alaihi wasallam  bersabda:

مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَتِرَ مِنْ النَّارِ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ فَلْيَفْعَلْ

"Barangsiapa di antara kalian yang mampu menghalangi dirinya dari neraka walau dengan sedekah separuh kurma maka lakukanlah." (HR. Muslim: 1016)

Oleh sebab itu, sisihkanlah sebagian harta untuk disedekahkan agar menjadi penghalang dari neraka. Karena sedekah adalah satu hal yang dapat menghalangi manusia dari kerasnya siksa neraka.

Abdullah bin Mas'ud - Prejudice


Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu anhu said:

مَا أَحْسَنَ عَبْدُ الظَّنِّ بِاللّٰهِ قَطْ إِلَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ عَلَى ذَالِكَ، وَ ذَالِكَ أَنَّ الخَيْرَ كُلُهُ بِيَدِهِ

"No a servant is prejudiced to God except God gives to him his prejudice, because that good things are in His hands." (Kitabuz Zuhd Abu Dawud as Sijistani: 132)

Husnuzzhan to Allah is our duty to Him. Allah knows better and cares more for us than our love for ourselves. Show good faith toward Allah because Rasulullah shallallahu alaihi wasallam said:

 قَالَ اللَّهُ أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي

"Allah says: I always depend the prejudice of my servant to Me." (HR. Bukhari: 7505)

Writer: Zahir al-Minangkabawi
Translator: dr. Halimah Chairunnisa

Rabu, 20 Juni 2018

LINDUNGI ANAK-ANAK DARI PENYAKIT 'AIN



Di zaman kemajuan teknologi ini, jangan terlalu mengekspos diri. Hati-hati mengupload foto/video pribadi atau anak-anak ke media sosial. Sebab, satu hal yang harus kita imani adalah sebuah penyakit yang bernama "penyakit al-'Ain." Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda:

ﺍﻟﻌَﻴْﻦُ ﺣَﻖٌّ ﻭَﻟَﻮْ ﻛَﺎﻥَ ﺷَﻲْﺀٌ ﺳَﺎﺑَﻖَ ﺍﻟﻘَﺪَﺭَ ﻟَﺴَﺒَﻘَﺘْﻪُ ﺍﻟﻌَﻴْﻦُ

Pengaruh ‘ain itu benar-benar ada, seandainya ada sesuatu yang bisa mendahului takdir, maka ‘ainlah yang dapat melakukannya.” (HR. Muslim: 2188)

Penyakit ‘ain adalah penyakit yang dapat menyerang badan maupun jiwa yang disebabkan oleh pandangan mata, baik pandangan mata orang yang dengki ataupun pandangan takjub. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam saja pernah hampir celaka karenanya, sebagaimana yang difirmankan Allah subhanahu wata'ala:

وَإِن يَكَادُ الَّذِينَ كَفَرُوا لَيُزْلِقُونَكَ بِأَبْصَارِهِمْ لَمَّا سَمِعُوا الذِّكْرَ وَيَقُولُونَ إِنَّهُ لَمَجْنُونٌ

Dan sesungguhnya orang-orang kafir itu benar-benar hampir menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka, tatkala mereka mendengar Al Quran dan mereka berkata: "Sesungguhnya ia (Muhammad) benar-benar orang yang gila." (QS. Al-Qalam: 51)

Makanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sangat perhatian dengan penyakit yang satu ini. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, ia pernah menuturkan:

كَانَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم يُعَوِّذُ الْحَسَنَ وَالْحُسَيْنَ وَيَقُولُ: إِنَّ أَبَاكُمَا كَانَ يُعَوِّذُ بِهَا إِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ ، أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ ، وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لاَمَّةٍ

"Nabi shallallahu 'alaihi wasallam membaca bacaan untuk perlindungan Al-Hasan dan al-Husain beliau bersabda: “Sesungguhnya bapak kalian berdua (nabi Ibrahim) sesantiasa membaca bacaan untuk perlindungan Ismail dan Ishaq, bacaannya adalah: "'Audzu bikalimatillahit  tammati min kulli syaithanin wa hammatih wa min kulli 'ainin lammah. (Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari setiap setan dan binatang yang beracun dan dari setiap mata yang menyakitkan).” (HR. Bukhari: 3371)

Itulah yang dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada cucu-cucunya, bukti kasih sayang yang sesungguhnya yaitu berusaha melindungi mereka dari segala pengaruh pandangan mata jahat.

Bandingkan dengan kebanyakan kita di hari ini yang justru menjerumuskan anak cucu pada bahaya besar. Sengaja upload foto dan video mereka yang lucu-lucu agar semua orang di dunia tahu dan menyaksikan.

Padahal dengan perkembangan teknologi yang ada, postingan kita dapat dilihat oleh siapa saja dan dimana saja. Tidak menutup kemungkinan di antara mata yang melihat terdapat mata yang berpenyakit 'ain. Akhirnya anak menjadi sakit, sering menangis, tidak mau makan dan minum, dan sebagainya, dari gejala penyakit 'ain. Karena penyakit ini bisa menyerang melalui foto dan video. Kasihan, padahal mereka masih kecil dan tak tahu apa-apa.

Oleh sebab itu, lindungilah anak-anak dari penyakit ini. Kalau kita memang sayang pada anak dan cucu, bukan begitu cara mengekspresikannya. Akan tetapi seperti Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yaitu berusaha untuk menghindarkannya dari segala pandangan mata jahat dan memohonkan perlindungan kepada Allah subhanahu wata'ala untuk mereka.

TIDUR SETELAH SUBUH



Kadang kala, karena ketidaktahuan kita kehilangan banyak hal berharga. Kita habiskan waktu dan segalanya hanya untuk mengumpulkan batu-batu berkilauan yang kita kira bernilai padahal itu hanyalah pecahan kaca yang telah lama terendam air laut, sedang batu permata yang sesungguhnya justru kita buang.

Waktu antara subuh hingga terbit matahari, adalah waktu yang sangat berharga. Kenapa? Karena ada keberkahan di waktu itu bagi mereka yang mampu memanfaatkannya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

اللَّهُمَّ بَارِكْ لأُمَّتِى فِى بُكُورِهَا

Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya.” (HR. Abu Daud no. 2606, At Tirmidzi no. 1212, Ibnu Majah no. 2236)

Do'a dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Akan tetapi, tidak banyak yang mengetahuinya sehingga waktu itu berlalu begitu saja dengan percuma. Dihabiskan untuk menyambung tidur karena sebelumnya bergadang karena alasan yang tidak terlalu penting.

Di sinilah kesalahan kita, "waktu tidur" kita gunakan untuk bergadang sedang "waktu bangun" kita gunakan untuk tidur. Waktu setelah isya, makhruh untuk hanya sekadar ngobrol ngalor-ngidul. Dengan kata lain jika tidak ada keperluan penting lebih baik cepat tidur. Dari Abu Barzah radhiyallahu anhu, ia mengatakan:

أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْل العِشَاءِ وَالحَدِيْثَ بَعْدَهَا

"Bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam membenci tidur sebelum shalat Isya' dan berbincang setelahnya." (HR. Bukhari: 568, Muslim: 647)

Demikian juga dengan tidur setelah subuh hingga terbit matahari hukumnya juga makhruh. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan:

المَكْرُوْهُ عِنْدَهُمْ: النَّوْمُ بَيْنَ صَلَاةِ الصُّبْحِ وَطُلُوْعِ الشَّمْسِ؛ فَإِنَّهُ وَقْتُ غَنِيْمَةٍ

"Hal yang makruh menurut mereka (para ulama): tidur antara selesai shalat subuh hingga terbit matahari. Karena itu adalah waktu ghanimah." (Madarijus Salikin: 1/324)

"Waktu ghanimah" yaitu waktu meraup kebaikan yang banyak. Makanya para salafush shalih sangat perhatian dalam hal ini. Di antaranya sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abi Syaibah:

عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ أَنَّهُ قَالَ : كَانَ الزُّبَيْرُ يَنْهَى بَنِيْهِ عَنِ التَّصَبُّحِ

Dari Urwah bin Zubair, ia menuturkan: "Bahwa Zubair bin al-Awwam radhiyallahu anhu melarang anak-anaknya untuk tidur di waktu subuh." (al-Mushannaf: 25442)

Bahkan diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu bahwa ia melihat salah seorang anaknya tidur pada waktu subuh maka ia pun mengatakan:

قُمْ، أَتَنَامُ فِي السَّاعَةِ الَّتِي تُقَسَّمُ فِيْهَا الأَرْزَاقُ؟!

"Bagun!! Apakah engkau akan tidur di waktu rezeki sedang dibagikan." (al-Adabu Asy-Sya'iyyah: 3/147)

Oleh sebab itu, perhatikanlah baik-baik waktu setelah subuh, manfaatkan sesuai dengan anjuran Allah dan Rasul-Nya. Waktu setelah subuh adalah waktu yang sangat berharga maka jangan sampai terbuang sia-sia hanya dengan tidur semata.

Minggu, 17 Juni 2018

PUASA SYAWWAL DAN TANDA DITERIMANYA IBADAH YANG LALU


Salah satu sunnah yang seyogyanya dilakukan oleh seorang muslim dan muslimah sepeninggalan bulan Ramadhan adalah berpuasa enam hari di bulan Syawwal. Karena keutamaannya yang besar sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits:

عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Dari Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda: “Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian ia iringi dengan puasa enam hari di bulan Syawwal maka ia seolah telah berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim: 1164)

Disamping itu, puasa enam hari di bulan Syawwal ini sangat penting kedudukannya jika dilihat dan dikaitkan dengan ibadah yang telah kita lakukan sebelumnya di bulan Ramadhan. Sebab, diantara tanda diterimanya amalan ibadah kita sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama yaitu ketika kita dimudahkan untuk mengikutkannya dengan amalan ibadah berikutnya.

Al-Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah menerangkan tentang hal ini. Setelah beliau menyebutkan hadits-hadits tentang anjuran puasa enam hari di bulan Syawwal beliau kemudian mengatakan:

إِنَّ مُعَاوَدَةَ الصِّيَامِ بَعْدَ صِيَامِ رَمَضَانَ عَلَامَةٌ عَلَى قَبُوْلِ صَوْمِ رَمَضَان، ﻓَﺈِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﺇِﺫَﺍ ﺗَﻘَﺒَّﻞَ ﻋَﻤَﻞَ ﻋَﺒْﺪٍ ﻭَﻓَّﻘَﻪُ ﻟِﻌَﻤَﻞٍ ﺻَﺎﻟِﺢٍ ﺑَﻌْﺪَﻩُ ﻛَﻤَﺎ ﻗَﺎﻝَ ﺑَﻌْﻀُﻬُﻢْ: ﺛَﻮَﺍﺏُ ﺍﻟﺤَﺴَﻨَﺔِ ﺍﻟﺤَﺴَﻨَﺔُ ﺑَﻌْﺪَﻫَﺎ ﻓَﻤَﻦُ ﻋَﻤِﻞَ ﺣَﺴَﻨَﺔً ﺛُﻢَّ ﺍِﺗَّﺒَﻌَﻬَﺎ ﺑَﻌْﺪُ ﺑِﺤَﺴَﻨَﺔٍ ﻛَﺎﻥَ ﺫَﻟِﻚَ ﻋَﻼَﻣَﺔً ﻋَﻠَﻰ ﻗَﺒُﻮْﻝِ ﺍﻟﺤَﺴَﻨَﺔِ ﺍﻷُﻭْﻟَﻰﻛَﻤَﺎ ﺃَﻥَّ ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﺣَﺴَﻨَﺔً ﺛُﻢَّ ﺍِﺗَّﺒَﻌَﻬَﺎ ﺑِﺴَﻴِّﺌَﺔٍ ﻛَﺎﻥَ ﺫَﻟِﻚَ ﻋَﻼَﻣَﺔَ ﺭَﺩِّ ﺍﻟﺤَﺴَﻨَﺔِ ﻭَ ﻋَﺪَﻡِ ﻗَﺒُﻮْﻟِﻬَﺎ

"Sesungguhnya membiasakan puasa setelah puasa Ramadhan adalah salah satu tanda diterimanya ibadah puasa Ramadhan. Karena Allah apabila menerima amalan seorang hamba, maka Ia akan memberikan kemampuan kepadanya untuk beramal shalih lagi setelahnya, sebagaimana kata sebagian ulama: 'Ganjaran kebaikan adalah kebaikan setelahnya, barangsiapa melakukan suatu kebaikan kemudian ia ikutkan dengan kebaikan yang lain maka itu adalah tanda diterimanya amal kebaikannya yang sebelumnya, sebagaimana orang yang melakukan kebaikan kemudian ia ikutkan dengan kejelekan maka itu adalah tanda ditolak dan tidak diterimanya kebaikan yang telah ia kerjakan sebelumnya.'" (Lathaiful Ma'arif: 394)

Oleh sebab itu, mari bersungguh-sungguh untuk melakukan puasa enam hari di bulan Syawwal ini. Sehingga kita seolah berpuasa selama setahun penuh dan moga-moga menjadi sebuah petanda diterimanya amal ibadah kita di bulan Ramadhan yang lalu.