Imam Abu Dawud dan yang lainnya menyebutkan sebuah riwayat dari Ali bin Abi Thalib, ia mengatakan:
لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْىِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ.
“Kalau seandainya agama ini dibangun berdasarkan akal, maka sungguh bagian bawah sepatu lebih utama untuk diusap daripada bagian atasnya. Akan tetapi aku melihat Rasulullah mengusap bagian atas dari kedua sepatunya.” (HR. Abu Dawud: 162, Shahih Abi Dawud: 153)
Agama bukan akal, makanya Umar bin Khaththab pernah mengatakan ketika mencium Hajar Aswad:
وَاللَّهِ إِنِّى لأُقَبِّلُكَ وَإِنِّى أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ وَأَنَّكَ لاَ تَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ وَلَوْلاَ أَنِّى رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَبَّلَكَ مَا قَبَّلْتُكَ
“Demi Allah aku menciummu padahal aku sangat tahu bahwa engkau hanyalah sebongkah batu yang tidak bisa memberi manfaat atau mudharat. Kalaulah bukan karena aku pernah melihat Rasulullah menciummu, aku tidak akan menciummu.” (HR Bukhari: 1532, Muslim: 1270)
Anda tidak tercela karena menggunakan akal, bahkan itu disyariatkan. Yang tercela adalah saat Anda menjadikannya segala-galanya, lebih mendahulukannya dari wahyu Allah dan sabda Rasul-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar