Sabtu, 30 September 2017

DALAM KENANGAN KAMI, SAAT KITA HARUS TINGGALKAN JEJAK SEBELUM PERGI


MUQADDIMAH
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah untuk Nabi kita Muhammad dan semua keluarga, sahabat serta orang-orang yang mengikuti beliau hingga hari kiamat kelak.

“Kita tidak pernah tahu apa yang akan kita lalui di masa depan”, itulah satu pelajaran yang dapat saya petik dari perjalanan hidup hingga hari ini. Meski baru seumur jagung, tapi kehidupan dengan ombak dan gelombang, gelap dan terangnya, telah banyak mengajari saya untuk memaknai kehidupan itu sendiri.

Semua cerita dan kisah yang pernah kita lalui, terlalu banyak untuk kita pendam dalam ingatan. Payah rasanya kita untuk mengungkapkannya. Harus melalui gelak tangis jika kita ingin menceritakannya.

Peristiwa yang membuat kita bahagia di masa lampau, jika diingat dan dikenang kembali memang membuat kita bahagia. Namun kebahagiaannya tidak seperti dulu lagi. Atau bahkan, boleh jadi terkalahkan oleh kesedihan, karena kita tahu itu semua hanya tinggal kenangan. Entah kapan akan kembali terulang.

Kerap kali kita berkesimpulan, lebih baik mengenang peristiwa yang menyakitkan; kesedihan, penderitaan, kemelaratan, hal-hal yang memalukan, ketimbang mengingat-ngingat peristiwa bahagia. Sebab, peristiwa yang menyakitkan di masa lampau itu terkadang sudah tidak menyakitkan lagi jika dikenang, karena memang kita sudah tidak hidup lagi di masa itu. Atau paling tidak telah berkurang sekian persen dari apa yang pernah kita rasakan dahulu.

Bahkan, tidak sedikit pula kenangan buruk, menyakitkan, dan memalukan yang membuat kita tertawa, teringat betapa bodohnya kita tatkala itu, betapa kekanak-kanakkannya kita saat itu.

Saya tidak pernah menyangka akan bertemu dengan orang-orang yang luar biasa. Tidak pernah terbesit akan bertemu dengan seorang ayah yang sangat sayang pada anaknya, seorang guru yang sangat sangat perhatian kepada muridnya. Atau persahabatan dalam sakit senang. Saya kira hal itu hanya ada pada cerita-cerita orang tua-tua kita tempo dulu. Tentang pengorbanan, perjuangan, kesungguhan, cinta dan kasih sayang yang tak akan pernah lekang oleh zaman. Namun ternyata masih ada di hari ini.

Srowo, sebuah desa yang jauh di luar dugaan. Bahkan, saya tak mengira di Gresik ada desa yang sedemikian adanya. Dahulu semasa sekolah, berulang kali saya membuka peta. Namun tak pernah mengira bahwa suatu hari nanti saya akan berlabuh ke tempat itu.

Enam tahun adalah waktu yang cukup untuk mengukir kenangan, tapi tak cukup panjang untuk mendulang semua yang ada di ma’had ini. Masih terlalu banyak yang belum saya gapai. Ma’had ini dengan segala kelebihan dan kekurangannya, menyimpan banyak harta yang hanya akan dirasa oleh mereka yang punya niat yang lurus dalam mencari kebaikan.

Kenangan selama mengeyam pedidikan di sini, terlalu sayang untuk dilupakan begitu saja. Jika di letakkan di benak saja tentu cepat lambat akan terkikis oleh masa. Oleh sebab itu, saya tuliskan kenangan itu dalam bentuk yang saya mampu. Masih banyak kekurangannya, terlalu banyak peristiwa yang belum sempat untuk di tulis. Namun sesuatu yang tak sanggup kita gapai semuanya, janganlah di tinggalkan seluruhnya.

“Dalam kenangan kami, saat kita harus tinggalkan jejak sebelum pergi”, itulah temanya. Tidak ada gading yang tak retak dan sebagaimana saya katakan di atas, bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan. Saya sangat berharap dan berbahagia jika suatu saat ada yang menyempurnakannya sehingga menjadi sebuah rekaman sejarah yang nyata. Semoga bermanfaat dan terima kasih untuk semuanya. Wassalam.

Srowo, 12 Jumada Tsaniyah 1438 H
Zahirman Edri Abu Zaid al-Minangkabawi


Dalam Kenangan Kami
Saat Kita Harus Tinggalkan Jejak Sebelum Pergi

Al-Furqon, sebuah pondok pesantren yang telah banyak melahirkan pejuang-pejuang dakwah. Sesuai dengan namanya yang bermakna pembeda, ia memang pada kenyataannya berbeda dari pondok-pondok yang lainnya. Kerasnya lingkungan dan keterbatasan justru menjadi hikmah tersendiri.

Hawa panas, air asin, nyamuk ganas adalah di antara ujian yang akan menyaring penduduknya. Memisahkan antara mereka yang benar-benar ingin mencari ilmu agama dengan mereka yang hanya punya semangat seadanya.

Saya masih ingat salah seorang dari rombongan Peduli Muslim Yogyakarta yang mengungkapkan kesalutannya kepada ma’had ini dengan mengatakan bahwa alumninya adalah orang-orang yang tahan banting sehingga tidak heran jika kita bisa menemukan mereka di daerah terpencil sekali pun.

Benarkah?? Ya, mungkin saja dan moga-moga……  
 
KEBERANGKATAN

Takdirlah pengantar kami
menapaki kaki di tanah ini;
kota santri sejuta wali
tempat kami merajut mimpi.
Kami datang dari berbagai pelosok negeri
bersama harapan dan semangat tinggi
dalam kerinduan berbalut sepi
demi apa yang kami cari
bekal hidup kami
sebelum dan sesudah mati.

Kami biarkan dunia dan gemerlapnya
Kesenangan dan indahnya masa muda
Ayah-bunda serta sanak saudara
Tanah kelahiran tempat kami berada
Dan semua kenangan indah yang kami punya
“Selamat tinggal…..”
Sementara atau selamanya…….

Jangan tanyakan apa yang kami rasakan,
Sakit perih yang kami tahan,
Kesedihan dan hancurnya perasaan,
Ketika datang hari perpisahan,
Waktu keberangkatan dan awal dari perjalanan.
Saat itu, tiada yang dapat mereka katakan
Selain ucapan:
“Selamat jalan, semoga selamat sampai tujuan.”

Mulai kami melangkah
Meski harus dengan terengah,
Walau harus bersama rasa payah.
Mengapa berat kaki ini? Teruslah….
Apa yang terjadi? Entahlah…..
Kami tak peduli, terus berjalan dan terserah.

Mengalir air mata
Jatuh dan menetes ke dalam dada.
Terbayang dan semakin nyata
Senyum kesedihan mereka;
Ayah, bunda, kakak, adik dan semuanya.
Tiada daya dan upaya
Hanya kepada Allah saja kami kadukan semuanya;
Duka nestapa yang melanda.

Tiap kali melewati perbatasan
Dan semakin jauh kami berjalan
Kian bertambah kesedihan.
Malam yang indah dan rembulan
Bintang gemintang yang bertaburkan
Tidak mampu untuk melenyapkan
Semua apa yang kami rasakan.

Ketika menulis bait ini, saya teringat dengan perkataan al-Imam Amir bin Syarahil asy-Sya’bi. Beliau pernah ditanya, “Dari mana engkau memperoleh semua ilmu ini, wahai Imam?” Ia menjawab:

بِنَفْيِ الاغْتِمَامِ، وَالسَّيْرِ فِي البِلاَدِ، وَصَبْرٍ كَصَبْرِ الحَمَامِ، وَبُكُوْرٍ كَبُكُوْرِ الغُرَابِ.

“Dengan membuang kesedihan, berkelana di berbagai negeri, bersabar seperti sabarnya merpati dan berpagi-pagi seperti burung gagak.” (Siyar A’lam an-Nubala’ 7/333-334)

Benar engkau wahai Imam, ucapanmu benar-benar terjadi….

KEDATANGAN

Sampailah kami dengan selamat
Jauhnya jarak dan tempat
Menjadikan badan basah berkeringat
Letih, lelah dan penat

Semua yang terlihat
Dan segala yang terlewat
Menjauh serta mendekat
Sudah cukup untuk merusak niat

Hari pertama di kampung orang
Semuanya asing dan tak dikenal
Yang ada tak seindah yang di bayang
Semangat jatuh patah sejengkal.

Tidak ada bangunan megah
Transportasi atau kendaraan mewah
Pekarangan serta taman-taman nan indah
Lantas apa?
Hanya ada tanah-tanah merekah
Hawa panas dan angin gerah
Srowo, negeri seribu matahari
Yang membuat kami harus berbagi keringat setiap hari.

Saat pertama adalah fase istimewa.
Berkenalan dengan segala yang berbeda.
Ada banyak hal yang tak biasa,
Belum terbayang dan tak terkira,
Tiada tergambar tiada terduga
Selama ini dan sebelumnya.

Terbit dan tenggelam sang mentari
Hari berganti….
Denting jam pun kian kencang berlari.
Maka terbangunlah kami
Dari semua mimpi
Yang selama ini melingkupi
Termangu dalam sendiri,
Tersadar di kala sepi,
Terjaga di saat sunyi.
“Inilah yang kami cari, inilah yang kami nanti,”
Gumam pelan sanubari kami
Bisik lembut hati ini.

Selamat datang kawan,
Selamat datang di tempat ini,
Selamat bergabung di pondok kami,
Di Ma’had al-Furqon al-Islami.

Ada yang bilang, penyesuaian diri dengan lingkungan yang baru itu adalah kelaziman, terlebih bagi para penuntut ilmu. Sebab, tanpa hal itu niscaya kita takkan pernah bisa bertahan.

Maka dari itu, mengambil ilmu dan belajar dari bunglon adalah salah satu keharusan. Kita harus bisa melebur bersama lingkungan yang ada agar senantiasa dapat berjalan. Terus melangkah dan jangan berkeluh kesah…..

MANDI

Mari lanjutkan kisah ini
dengan air mandi kami sehari-hari.
Jernih, segar dan menyejukkan
bagi nener, bandeng, udang dan mujair sekalian.
Rasanya pun cukup lumayan
meski tak setawar air kemasan.
Kalau boleh kami katakan,
ia adik tiri air lautan.
Sedikit asin, tapi mengagumkan.
Kenapa?
karena dapat menyembuhkan
panu, kudis dan kurap di selangkangan.
Jikalau mandi dengan sabun batangan,
jangan bingung dan jangan heran,
berapa pun usaha kau kerahkan,
betapa pun engkau usahakan,
namun yang si busa tetap enggan untuk berteman.
Ooo…maaf, ada yang sedikit kelupaan.
Cerita sebelumnya tak kalah menakjubkan.

Untuk mendapatkan semua ini
kita harus rela dan sabar menanti
mengantri bersama sekalian santri
di lorong kamar mandi yang tak pernah rapi.

Tapi ingat jangan kecewa,
berkecil hati dan bersempit dada.
Sering terjadi dan mungkin saja,
saat bosan mulai melanda
setelah lelah menunggu sekian lama,
pintu terbuka giliran tiba,
ditilik ke dalam ada yang beda,
ada apa?
kran diputar tapi ternyata
airnya tak menyala….
Habis sudah tak tersisa
Tinggallah kita bersama duka

Lantas tunggu apa lagi,
buat apa kita berlama-lama di sini,
nikmati saja hidup ini.
Ayo pergi…..! tak usah mandi,
nanti malam kita kembali.
Moga-moga sepi
Kita kan mandi sepuas hati

Dua puluh empat kamar mandi,
untuk ratusan pasang mata kaki.
Gelanggang perang bagi kami
pagi sore setiap hari.

Di sana kami belajar,
di situ pula kami ditempa.
Tentang pentingnya waktu dan sifat sabar,
bagi kami para pemuda.

Itulah ladang pembekalan,
gudang penyimpanan kebutuhan,
tempat pelatihan dan persiapan
untuk kami di masa depan.

Tumbuh subur tanamannya,
beragam bentuk serta warnanya,
senda, gurau, canda dan tawa,
marah, jengkel serta kecewa.

Jika Anda pernah mendengar cerita bahwa orang mandi hanya satu kali dalam sepekan, mungkin itu berlaku di daerah yang punya tingkat kesejukan dan hawa dingin yang tinggi. Tapi, saran saya jangan pernah Anda lakukan jika bermukim di al-Furqon. Sebab, jika Anda pernah mendengar bahwa orang justru sudah gerah kembali ketika handukan selesai mandi, maka di sinilah tempatnya.

KELAS

Pukul tujuh kurang seperempat
tapi seringnya jam tujuh tepat
waktu Srowo bagian barat
berbondong-bondonglah kami berangkat
menuju tempat kami bertambat
yang setiap tahun berpidah tempat.
Ada yang sampai dengan cepat dan selamat,
tapi tak sedikit pula yang tersangkut dan terlambat.
Kalau tempat duduk hukumnya hukum mubahat;
siapa cepat dia dapat

Kelas kami sangat luar biasa,
tanpa merek dan papan nama,
tempat belajar yang sederhana
biasanya di masjid atau mushalla.
Pernah juga, dua tahun lamanya
di ruangan pengap tanpa jendela.
Ada AC-nya? Jangan ditanya,
karena memang bukan hotel bintang lima,
kami tak punya,
hanya ada satu kipas saja,
satu kipas inilah untuk semua..
Segala bau di diaduk rata
Keringat, kentut, bau mulut dan seterusnya..
Kita nikmati bersama…
Kebersamaan, memang hal yang luar biasa….

Ustadz kami tercinta datang segera
dengan muka seri merona
lalu duduk di singgasana
Layaknya raja, hanya saja
tanpa kursi cuma meja
itu pun tidak ada alasnya.

Duduklah ustadz duduk bersila,
di atas lantai dan biasanya
tanpa alas atau hanya
sajadah usang yang sudah tua.

Kitab dibuka mulailah beliau angkat bicara,
dengan segala puji dan puja
untuk Allah tuhan semesta
shalawat dan salam tiada lupa pula
bagi Nabi kita Muhammad al-Mushthafa.

Suatu ketika seorang ustadz melintasi kelas kami. Sambil bercanda ia berceletuk : “Ini kelas atau pedepokan silat?” Karena kondisi belajar kami lesehan, membuat kaki, pinggang dan punggung menjadi cepat kaku. Sehingga tidak butuh waktu lama untuk membuat kami menganti posisi duduk dengan gaya yang bermacam-macam seperti orang-orang yang sedang pemanasan sebelum latihan karate.


NGANTUK

Setengah jam berjalan,
itu pun sudah kelamaan.
Mulai tampak kemunculan
isyarat awal pertunjukan.
Bukan, bukan…
ini adalah musibah kami sekalian,
atau mungkin juga sebagian.

Jangan tertipu atau terlena
apalagi sampai terperdaya.
Mari lihat dengan seksama!
Ada di belakang di depan juga,
di kiri atau kanan sama saja,
di tengah? Juga sepertinya…

Kepala yang tegak mulai merunduk,
punggung yang lurus mulai membungkuk.
Suasana tenang perasaan khusyuk
hanya suara ustadz yang merasuk,
atau… irama kipas yang krasak-krusuk,
kian lama bertambah takluk.
Pelajarannya? mungkin tak masuk,
Kenapa? karena masing-masing sedang sibuk
menopang kelopak mata yang lapuk.
Ya, ini dia musibah mengantuk,
membuat kami mengganti tajuk
menjadi: “Lomba tidur sambil duduk.”

Kami sadar dengan dalam,
ketika mata mulai terpejam,
akan kedatangan musuh nan bengis lagi kejam,
utusan raja para pendendam,
pimpinan tertinggi penduduk Jahannam;
Iblis, yang takkan pernah diam,
ia akan senantiasa mengintai dan siap menikam,
menyerang dan menerkam,
menerjang, menghantam dan menghujam,
dengan semangat tak pernah padam,
dengan kesabaran serta dendam
yang tak bisa diredam.
Punya sejuta cara bermacam-macam,
menguasai tipu daya yang beragam.
Semua itu akan dikerahkan dalam
menyeret anak cucu Adam,
agar luput dari ketaatan kepada Tuhan semesta alam,
atau menuju kesesatan yang kelam,
laksana malam hitam legam.

Segala obat telah kami ramu,
penangkal mata yang mudah layu.
Mulai dari pijat, sambal, dan jamu,
sampai mandi, push-up, dan tidur dahulu,
Tapi tetap saja semua itu
tidak bisa dan belum mampu
mengenyahkan musibah kami yang lalu.

Jangan cela dan pojokkan kami,
atas apa yang terjadi.
Semua itu bukan kehendak hati
bukan pula keinginan diri.
Ini medan, medan pertempuran.
Kalah dan menang bergantian.
Kami terus berusaha untuk bertahan
meskipun sering kali dikalahkan.
Kisah ini kami ceritakan,
agar diambil pelajaran,
sekaligus kami ingin menunjukkan,
beratnya cobaan dan banyaknya rintangan,
di sepanjang jalan menuju kebahagiaan.


Ingat kita dengan sabda Nabi:

حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ

“Surga diliputi oleh sesuatu yang dibenci sedangkan neraka diliputi oleh syahwat.” (HR. Muslim: 7308)

Dan perkataan Imam Ghazali:

“Apabila suatu tujuan teramat suci dan mulia, sukarlah jalan yang harus ditempuh dan banyaklah penderitaan yang akan ditemui di tengah jalan.”

ANTARA DAHULU DAN SEKARANG

Dahulu awalnya,
60 orang kami tak kurang.
Namun bertambah hari semakin lekang.
Seribu satu sebab dan penghalang.
Satu terbang yang lain pulang.
Sisanya berangsur-angsur menghilang.
Satu persatu kami tumbang.
Pergi melayang,
baik di waktu pagi ataupun di waktu petang,
atau bahkan saat malam sehitam arang.

Memang… Malang melintang.
Awal mula tiada berbilang,
cita-cita setinggi bintang.
Semangat luar biasa garang,
bagaikan kuda-kuda perang
yang tak gentar sabetan pedang.
Siap menyerang dan menerjang,
menyeruak masuk ke tengah gelanggang.

Namun sayang seribu sayang,
ketika cobaan mulai datang,
saat ujian mulai menghadang,
yang tadi pedang jadi parang,
sebelumnya kopi jadi rebusan bawang;
lunak, lembek dan tak bertulang.
Awalnya elang jadi belalang,
hiu berubah jadi udang.
Surut mundur ke belakang,
pontang-panting tunggang-langgang.
Kelas yang sempit jadi lapang,
karena sekarang….
Hanya ada 17 orang saja.

Suatu ketika, di tengah lautan dalam perjalanan ke Pulau Seribu Masjid dengan menumpang kapal Legundi, saya menemukan suatu ungkapan yang dahulu pernah diucapkan oleh al-Imam Ibnu Mubarak persis berkaitan dengan cerita kita di atas. Beliau menuturkan:

خَرَجْتُ أَنَا وَاِبْرَاهِيْمُ بْنُ أَدْهَم مِنْ خُرَاسَان وَنَحْنُ سِتُّوْنَ فَتًى نَطْلُبُ العِلْمَ مَا مِنْهُمْ آخِذٌ غَيْرِيْ

“Aku dan Ibrahim bin Adham keluar dari kota Khurasan, kami berjumlah 60 orang pemuda untuk menuntut ilmu. Tidak ada yang mendapatkan ilmu selain aku.” (Hilyah al-Auliya’ 7/369)

Dari ucapan beliau tersebut, dapat kita pahami bahwa tersingkirnya para penuntut ilmu dari jalannya tidak hanya terjadi di zaman kita saja, tetapi sudah ada dari zaman dahulu kala.

ANGGOTA KELAS

Di kelas kami ada tiga
Bukan kasta bukan apa-apa
Hanya letingan umur saja
Ada golongan tua
Ada golongan muda
Dan ada pula golongan di antara keduanya

Golongan tua adalah udamasbangkak kita
Orang-orang yang sudah berkepala tiga
Atau yang mendekatinya
Kalau mereka berjumpa
Dan saling beradu kata-kata
Sudah bisa ditebak tema apa
Apa lagi kalau bukan urusan qobiltu nikahaha
Karena memang sudah waktunya
Atau mungkin hampir kadarluarsa
Betul sudah ada pula di antara mereka
Yang telah menjalaninya
Bahkan ada yang sudah beranak dua
Tapi itu bukan penghalang nyata
Untuk ikut angkat bicara
Sebab, dalam agama kita
Sampai empat pun boleh juga

Kakak pertama kita
Bang Zubair Supratman namanya
Dari wajah dan gaya bicara
Pada awalnya saya kira ia orang Jawa
Namun jelas salahnya
Karena ternyata ia orang Bima
Jangan salah, beliau ini juga anggota KPK
Bukan Komisi Pemberantasan Korupsi
Tapi Komunitas Peternak Kambing

Kakak kedua Abu Ismail
Itulah yang biasa kami panggil
Sebenarnya Syafrizal nama aslinya
Orang awak jua
Tapi besar dan tinggal di Pekanbaru
Negerinya orang-orang Melayu

Yang ketiga Abu Abdillah
Lahir dan besar di Jakarta
Di Bangka pun pernah, tapi kerja
Dan akhirnya hidup bersama kita
Nama aslinya Nofri Endri
Darahnya darah Minang
Di Solok sana rumah gadangnya

Setelah uda kita tadi
Mas Ratam namanya
Ada pepatah dalam hal ini:
“Tidak ada rotan kayu pun jadi
Tidak ada Ratam, Abu Ayyub pun jadi”
Bayumas kampung halamannya
Masih bagian dari pulau Jawa

Mas Syam kami memanggilnya
Tapi baunya wangi tidak masam
Abu Yasir Muh Syamsuddin tepatnya
Duduk di depan sering bertanya
Dengar-dengar orang sunda
Tapi tidak ada tanda-tanda
Katanya dari Indramayu
Tapi Indramayu itu masuk mana?
Sunda apa Jawa?
Jika anda pernah mendengar cerita
Tentang manusia-manusia kompor dunia
Dialah salah satunya.
Awas, nanti bisa terbakar…..

Selanjutnya Tengku Azmi namanya
Kabarnya berdarah biru keturunan raja
Dari daerah Selat Panjang sana
Selat Panjang itu di Sumatera

Itulah kakak-kakak kita
Semuanya masih pejaka
Kecuali dua orang saja
Kakak pertama dan kedua

Kemudian golongan pertengahan
Mereka yang kelahiran antara sembilan puluhan
Sampai sembilan puluh tiga-an

Dari Madiun ia berhembus
Kami panggil ia pak Agus
Bergabung bersama kami dahulu
Saat kami di Ali satu

Selanjutnya Abu Fauzan
Dari Jember, tapi pernah di Kalimantan
Kalau mau beli pulsa
Sama abu Fauzan saja
Anda tidak akan kecewa
Karena murah dan boleh hutang juga

Yang ini teman istimewa kita
Penulis dan pecinta sastra
Namanya Luki tapi biasa
Abu Tholhah kami memanggilnya
Ia datang dari Sambas sana
Perbatasan dengan Malaysa

Selanjutnya urutan saya
Tapi sepertinya tak ada lebihnya
Selain satu saja yaitu sekampung dengan Buya HAMKA

Dari lereng gunung Sumbing
Teman kita yang satu ini terlanting
Panggil saja Cak Rul
Abu Ammar boleh juga

Memasuki golongan muda
Dengan semangat jejaka
Dunia akan lambat tanpa mereka
Mereka kuat
Mereka giat

Muh Jundi al-Faruqi
Pendekar sakti dari Kediri
Setelah itu Mukhlis Ali
Spesialis bagian konsumsi
Bahana Syair Adil
Darah muda dari Bekasi
Imam kita Imam Solihin
Dari Ponorogo datangnya

Jika imam kita imam solihin
Turun Rahmat setelahnya
Rahmat Supriadi ini dari Riau
Terakhir tinggal satu nama
Ashim Abdurrahman, dari Medan lah Bang….

Banyak manusia yang ingin namanya dikenal banyak orang. Oleh sebab itu tak heran mereka tanpa sungkan menuliskan namanya di batu-batu besar tempat wisata, tembok-tembok taman kota, jok bis kota atau di dinding kamar mandi kereta.

Mereka lupa, bahwa tulisan di tempat-tempat tersebut akan cepat sirna, akan terhapus oleh hujan, panas dan perjalanan masa. Padahal ada satu tempat yang lebih layak dan lebih tahan lama yaitu di dalam hati-hati manusia.


Maka ukirlah nama Anda di hati manusia dengan berbuat baik kepada mereka.

MASJID

Jami’ Sulthan adz-Dzakari,
itulah nama masjid kami.
Tempat sujud kami sehari-hari,
beribadah dan mendekatkan diri.
Di sana tempat belajar kami,
di situ pula kami mengaji.
Duduk mendengar petuah ilahi,
agar kami dapat selamat di hari nanti.

Banyak waktu kami habiskan di sana.
Mulai saat kami baru saja
membuka mata dan cakrawala,
sampai di akhir dan penghujungnya;
saat lelah mulai terasa,
ketika kantuk telah melanda,
manusia telah lelap dalam tidurnya.

Masjid ini,
saksi bisu semangat santri
bersama kami yang masih sempat mendapati,
mengecap-merasai dan mencicipi,
waktu-masa serta hari-hari,
semarak semangat belajar yang tinggi.

Di saat malam hari tiba,
masjid dengan senang menerima,
kedatangan ratusan pasang mata
dengan buku dalam pangkuannya.
Halaqah belajar di mana-mana,
di setiap sudut dan bagiannya;
di teras atau ruang utama,
lantai dasar atau lantai dua.

Berbagai ilmu di bahas,
berjilid masalah dikupas.
Tanpa peduli jarum jam,
tanpa hiraukan jalannya malam.
Tak sadar dan tak terasa,
ternyata sudah pukul dua belas saja.

Kala itu,
masih banyak santri baru,
dengan kemauan dan semangat menggebu.
Berpadu,
dengan banyaknya kakak kelas,
yang siap membimbing dengan ikhlas.
Tak kenal waktu dan lelah,
melebur dalam suasana yang indah,
walaupun mereka tiadalah,
memiliki hubungan nasab dan darah.

Saat bait ini ditulis,
dua hal yang takkan terkikis.
Senantiasa ada dalam ingatan,
satu sedih yang lain senyuman.

Hal pertama di sinilah adanya,
kumpulan suara luar biasa
Bergemuruh hebat tiada dua,
bagaikan lebah bersama dengungannya.
Suara itu lantunan al-Qur’an,
bersumber dari ratusan lisan.
Lima waktu kita dengarkan,
antara adzan sampai shalat didirikan.

Benar…inilah salah satunya,
kebiasaan baik yang masih ada,
dan moga-moga berlanjut untuk seterusnya.
Namun ketika,
teringat waktu kami sudah tak lama,
datanglah sedih dan duka cita.
Karena kami akan kehilangannya,
dan belum tentu ada gantinya.

Hal kedua membuat kami heran,
jengkel sekaligus menggelikan.
Sepertinya hanya ada di masjid al-Furqan,
pada setiap shalat jama’ah yang dilaksanakan.

Shaf yang rapat dan lurus
bisa saja tiba-tiba putus.
Menyisakan celah yang bisa ditembus
oleh musuh yang punya sejuta jurus.

Haruslah kita berjalan,
ke depan ke kiri atau ke kanan,
untuk menambal kebocoran,
serta mempertahankan kekhusyukan.

Tapi, celah itu banyak dan sering sekali,
sehingga shalat jama’ah pun menjadi
seperti gerak jalan pada HUT RI.

Rakaat pertama di shaf kelima,
selesai salam sudah ternyata,
di shaf terdepan yang pertama.
Inilah yang membuat kita,
tersenyum sambil menggelengkan kepala.

Kelak akan terbayang di mata.
Barisan rapi al-Qur’an di raknya,
mimbar kecil yang sederhana,
coklat tua dengan dua tangga,
lantai marmer dan pengeras suara,
kipas angin serta lampunya,
dinding-jam dan tiang penyangga,
mihrab-meja pintu dan jendela.
Semua…
akan tinggal kenangan saja,
terkubur bersama kisah lainnya.
Dan suatu hari nanti,
akan menjadi sebab kesedihan hati.
Karena terkadang,
“Bukan kenangan buruk yang membuat kita bersedih, tapi kenangan indah yang kita tahu hal itu tak akan terulang kembali….”

Duhai masjid kami,
ke manakah akan kami cari?
Akankah semua ada ganti?
Engkau dengan kesederhanaanmu,
keterbatasan dan kekuranganmu,
adalah kenangan terindah,
padamu tersimpan berjuta kisah,
beribu riwayat dan sejarah.
Yang akan tetap ada,
pada ingatan kami semua.
Akan terus mengalir deras,
dalam darah-nadi dan nafas.

Namun memang seringnya,
tatkala kita masih bersama,
tiada keelokanmu terasa.
Semua yang ada hanya,
keluh kesah dan pengaduan saja.
Tidak pernah ada habisnya.
Kelebihanmu seakan sirna,
mata seolah buta,
panca indra sudah tak peka,
yang tampak hanya cacat-kurang dan cela.

Lantaimu yang berlubang,
lampumu yang kurang terang,
suara spekermu yang sering hilang,
kipas anginmu yang membuat risih,
jam-jam dindingmu yang sering berselisih
atau hawa sejukmu yang tak pernah berlebih.

Namun harus kami sadari,
dari lubuk terdalam sanubari.
Itu semua hanyalah ucapan mulut kami
Yang tak tahu diri ini
Karena jauh dari relung hati
Engkau adalah masjid tercinta yang kami miliki
Tempat terindah yang pernah kami singgahi

Banyak di antara kita yang telah menjadikan masjid bagian dari hidupnya. Ketika hendak beristirahat dalam perjalanan, yang pertama kita cari bukan hotel berbintang, tapi hotel bulan bintang (masjid). bahkan kita kerap kali kecewa, sebab masjid-masjid di zaman ini di banyak daerah di negara kita seringnya dikunci. Hanya dibuka ketika waktu-waktu shalat saja. Padahal kita merasa sangat nyaman jika berada di dalamnya.

Tapi tak mengapa, tak usah bersedih hati mudah-mudahan kita bisa masuk dalam sabda Nabi:

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ …… وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ……

“Tujuh golongan yang akan dinaungi Allah pada hari tidak ada naungan selain naungan-Nya: (di antaranya)… seorang yang hatinya terpaut dengan masjid…” (HR. Bukhari: 660)

Katakan: Aamiiin….!!!

SELAMAT TINGGAL

Perputaran waktu- pergantian hari
entah kenapa serasa cepat sekali
Seakan baru kemarin lusa terjadi
kedatangan kami di pondok ini
Sekarang dipenghujung cerita
kesempatan kami sudah tak lama
Hanya menungu waktunya tiba
saat kami tinggalkan semua
Tahukah engkau apa yang kami rasa?
Gelegak kuat dalam dada
Sedih, kalut dan bahagia
Melebur menjadi satu warna
Kami pun tak tahu namanya apa
Kata yang tepat tidak ada
Tapi yang jelas itu semua
Beban berat yang kami bawa
Suara tak bisa lantang
Mulut bagai terkekang
Hanya bisa isyarat mata
Dengan linangan air dipelupuknya
Masih ingat terkenang
Masih jelas terbayang
Dahulu pernah kita
Satu sampan bersama
Badai kita lalui
Gelombang kita lampaui
Sampai pelabuhan yang terakhir
Kita pun tidak terlalu khawatir
Karena atap masih satu
Gerak langkah masih padu
Namun kita tak mampu tepiskan
ketetapan takdir yang berjalan
Akhirnya biduk tertumbuk
Dayung pun telah tertumpuk
Kita kan berpisah
kami kan melangkah
Ingat-ingatlah kami
yang pernah hidup di tempat ini
Kenang-kenanglah kami
yang pernah ada di kisah ini…

Saya pribadi, merasa payah ketika harus menuliskan bagian yang ini. Memang perpisahan adalah suatu yang membuat kita bersedih, tapi ia juga kelaziman. Oleh sebab itu, sambil menahan kesedihan kedua saya tambahkan haturan permohonan maaf kepada Anda yang mengenal saya dan siapa saja yang pernah saya sakiti. Kita tak ingin melangkah dengan dendam yang masih terukir di dalam hati. Maafkanlah…….

JANGAN LUPAKAN

Kita takkan pernah tahu… 
Akan berjumpa dengan siapa dalam hidup ini
Orang-orang datang silih berganti 
Sebagian kecil mereka 
ada yang punya tempat di hati kita 
Dan sisanya akan segera terlupakan begitu saja
Di antara mereka yang punya tempat itu 
adalah handai tolan; sahabat karib sekatiduran
Saya adalah orang yang berbahagia 
Dapat berkenalan dengan mereka. 
Sakit senang kami lalui 
berbagai cobaan kami lampaui
Memang tak banyak yang dapat bertahan hingga akhir perjalanan…. 
Karena sebab yang bermacam-macam 
Meski hanya tersisa tujuh belas orang, tapi itu bukan penghalang buat melanjutkan perjuangan.
Kawan…..
Saya tak tahu kelak engkau kan jadi apa 
Tapi saya hanya punya harapan 
Engkau akan senantiasa 
Menjadi pembuka kebaikan dan penutup keburukan. 
Jika suatu hari nanti engkau jadi orang besar, jangan lupakan saya. 
Dan jika engkau menengadahkan tangan untuk berdo’a meminta surga, sertakan juga saya di dalamnya. 
Semoga kita dapat berjumpa kembali di sana. Amin.    

Kawan, andaikata kita memang harus terpisah oleh ruang dan waktu, saya harap kita tetap satu dalam tujuan. Dimanapun kita berada mudah-mudahan kita bisa menjadi pembuka kebaikan dan penutup keburukan. Sebab Nabi kita pernah bersabda:

 فَطُوبَى لِعَبْدٍ جَعَلَهُ اللَّهُ مِفْتَاحًا لِلْخَيْرِ مِغْلَاقًا لِلشَّرِّ

“Beruntung seorang hamba yang dijadikan Allah pembuka kebaikan dan penutup keburukan.” (HR. Ibnu Majah)

Semoga saja, kita termasuk ke dalamnya….Aamiiin.

1 komentar: