Selasa, 24 Oktober 2017
LAKI APA PEREMPUAN?! (Art.Salayok59)
Hari ini, kita kadang sulit membedakan mana laki mana perempuan. Sebab, yang laki mirip perempuan yang perempuan mirip laki.
Sekarang yang pakai anting bukan hanya perempuan tapi laki-laki juga. Perempuan pun begitu, ngak sedikit juga yang pakai celana. Herannya lagi, di atasnya pakai hijab bawahnya celana “jin” yang ketat, tambah lagi ngeber “CBR”.
Padahal, Allah menciptakan manusia dengan jenis dan karakter masing-masing, yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Maka jika laki-laki menyerupai wanita -begitu juga sebaliknya- berarti ia telah merubah ciptaan Allah dan menentang ketetapan-Nya.
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ الْمُتَشَبِّهِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ
"Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melaknat kaum laki-laki yang menyerupai kaum wanita dan kaum wanita yang menyerupai kaum laki-laki.” (HR. al- Bukhari 5435)
Oleh sebab itu, perhatikanlah penampilan Anda dan juga keluarga Anda. Jangan sampai nanti malah menjadi kaum terlaknat.
Semoga bermanfaat
Zahir al-Minangkabawi
Kamis, 19 Oktober 2017
KATA ORANG (Art.Salayok58)
Kalau kita mau jujur, banyak di antara kita ini yang hidupnya berada dalam ketakutan di bawah bayang-bayang “apa kata orang.”
Takut melakukan ini karena khawatir “kata orang.” Tidak jadi melakukan itu juga karena takut “kata orang.” Mau ini itu selalu takut kata orang. Sampai-sampai ada perempuan belum juga menutup aurat sempurna padahal ia sudah tahu jalannya, juga lantaran khawatir “kata orang.”
Memang benar kita diperintahkan untuk menjaga harga diri agar tidak menjadi “buah bibir orang-orang.” Namun, disatu sisi kita harus sadar bahwa bibir orang-orang itu terlalu subur, sehingga ia akan tetap berbuah meski pun tidak disiram dan dipupuk.
Kita menginginkan semua manusia ridha dengan kita?! Mustahil, buang saja mimpi itu ganti dengan yang baru. Dengar apa kata Imam Syafi’i rahimahullah:
رِضَى النَّاسِ غَايَةٌ لاَ تُدْرَكُ، وَلَيْسَ إِلَى السَّلاَمَةِ مِنْهُم سَبِيْلٌ، فَعَلَيْكَ بِمَا يَنْفَعُكَ، فَالْزَمْهُ
“Mendapatkan keridhaan seluruh manusia adalah sebuah tujuan yang takkan mungkin digapai. Tidak ada jalan untuk selamat dari mereka. Cukuplah bagimu untuk menekuni hal-hal yang bermanfaat untukmu.” (Siyar A’lamin Nubala’: 10/89)
Jangankan perbuatan kita, perbuatan Allah saja pasti ada yang tidak suka. Hujan misalnya, ada orang yang bersyukur dengan mengatakan alhamdulillah, tapi ada juga orang-orang yang tidak suka, tidak ridha sehingga mengatakan; "hujan lagi, hujan lagi..."
Ingat, kita ini hidup untuk Allah bukan untuk orang apalagi untuk “kata orang.” Yang dicari dan diusahakan adalah ridha Allah bukan ridha orang-orang. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنِ التَمَسَ رِضَاءَ اللهِ بِسَخَطِ النَّاسِ كَفَاهُ اللَّهُ مُؤْنَةَ النَّاسِ ، وَمَنِ التَمَسَ رِضَاءَ النَّاسِ بِسَخَطِ اللهِ وَكَلَهُ اللَّهُ إِلَى النَّاسِ
“Barang siapa mencari keridhaan Allah sekalipun beresiko mendatangkan kebencian manusia, niscaya Allah akan membebaskan dia dari ketergantungan kepada manusia. Dan barangsiapa mencari keridhaan manusia dengan melakukan hal-hal yang mendatangkan kemurkaan Allah, niscaya Allah akan menjadikannya selalu tergantung kepada manusia.” (HR. Tirmidzi: 2414, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 2250)
Oleh sebab itu, kalau kita masih takut dengan “kata orang” maka selamanya kita akan bergantung pada “kata orang” itu. Kemudian mati dan celaka, berjumpa dengan kemurkaan Allah. Karena kita tidak mau menuruti perintah-nya lantaran kata orang tadi. Lantas baru kemudian menyesal, tapi sesal kemudian apalah guna.
KAYU BAKAR (Art.Salayok57)
Salah seorang sahabat Nabi yang mulia, Mu’adz bin Jabal pernah menuturkan:
كُنْتُ رِدْفَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَى حِمَارٍ يُقَالُ لَهُ عُفَيْرٌ قَالَ فَقَالَ « يَا مُعَاذُ تَدْرِى مَا حَقُّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ ». قَالَ قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « فَإِنَّ حَقَّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوا اللَّهَ وَلاَ يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَحَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ لاَ يُعَذِّبَ مَنْ لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا ». قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلاَ أُبَشِّرُ النَّاسَ قَالَ « لاَ تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوا .
Pernah suatu ketika aku dibondeng oleh Rasulullah di atas seekor himar yang bernama ‘Ufair. Lalu beliau berkata kepadaku:
“Wahai Mu’adz, tahukah engkau apa hak Allah atas hamba-Nya dan apa hak hamba atas Allah?” Aku menjawab: “Hanya Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau bersabda:
“Sesungguhnya hak Allah atas hamba-Nya adalah mereka hanya beribadah kepada Allah saja dan tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun. Dan hak hamba atas Allah adalah Allah tidak akan mengadzab seorang yang tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.”
Lantas kemudian aku bertanya: “Wahai Rasulullah, bolehkah aku kabarkan hal ini kepada manusia?” Beliau menjawab: “Jangan kabarkan kepada mereka, nanti mereka meninggalkan amal.” (HR. Muslim: 30)
Ada banyak faidah yang dapat kita petik dari hadits yang mulia ini. Di antaranya adalah tidak semua ilmu itu layak untuk disampaikan kepada manusia secara umum. Butuh untuk melihat keadaan dan akibat yang akan timbul nanti di belakangnya.
Hari ini, sering terjadi sikut-sikutan. Fitnah ini muncul dari kesalahan sebagian kalangan yang kurang cermat dalam memperhatikan timbangan antara mashlahat dan mafsadat. Apalagi kalau bukan, serampangan dalam meng-uploud kajian seorang ustadz ke media sosial. Tanpa memperhatikan, apakah kajian itu bersifat umum atau bersifat khusus, yang penting menarik, bisa membuat heboh, ramai, langsung uploud. Dan yang lebih parah, dengan memotong-motong bagian tertentu.
Sebagai seorang muslim, tentu hal ini tidak pantas kita lakukan. Mari belajar dari hadits di atas, lihatlah bagaimana Rasulullah tidak mengizinkan Mu’adz untuk menyebarkan hal itu. Padahal, itu adalah hadits Rasulullah. Karena apa? Karena Rasulullah khawatir akibat yang akan timbul dari hal itu.
Sekarang mari merenung sejenak, seandainya hadits Rasulullah saja tidak semuanya diberitahukan kepada masyarakat luas, lantas bagaimana dengan ucapan seorang ustadz? Tentu lebih layak lagi untuk dipilah pilih.
Oleh sebab itu wahai saudara-saudariku, mari bersikap dewasa. Jangan jadikan diri kita sebagai dalang penyulut fitnah. Jadilah pembuka pintu kebaikan dan penutup pintu keburukan, bukan malah sebaliknya menjadi kayu bakar.
Jika menyambung ayam saja hukumnya haram, mengadu domba juga haram, lantas bagaimana dengan mengadu sesama ustadz. Saya rasa, dosanya jauh lebih besar, karena kerusakannya juga jauh lebih besar daripada sekadar mengadu ayam atau domba.
Semoga bermanfaat.
Zahir al-Minangkabawi
Kamis, 12 Oktober 2017
ANDA PEDAGANG?? (Art.Salayok56)
Seorang yang berkecimpung dalam dunia perdagangan, maka wajib baginya untuk mengetahui seluk beluk hukum yang berkaitan dengannya.
Sebab, seorang pedagang yang tidak tahu tentang hukum halal haram akan sangat rentan terjatuh dalam praktek-praktek haram meski ia tidak berniat dan tidak punya sedikit pun keinginan untuk jatuh dalam hal itu. Oleh sebab itu, Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan:
مَنِ اتَّجرَ قَبْلَ أَنْ يَتَفَقَّهَ فِي الدِّيْنِ فَقَدْ ارتَطَمَ فِي الرِّبَى ثُمَّ ارْتَطَمَ ثُمَّ ارْتَطَمَ
“Barang siapa yang melakukan perniagaan sebelum memperlajari fikih maka ia akan terjerumus ke dalam riba, dia akan terjerumus kedalam riba.”
Dan jika sudah seperti itu, kerugian yang akan timbul tidak hanya untuk personal tapi juga berdampak kepada masyarakat banyak. Karena pahitnya riba akan dikecap oleh umat secara umum.
Makanya, dahulu di zaman Umar bin Khattab, beliau mengeluarkan perintah:
لاَ يَبِعْ فِي سُوقِنَا إِلاَّ مَنْ قَدْ تَفَقَّهَ فِي الدِّينِ
“Tidak boleh berjualan dipasar ini pedagang yang tidak mengerti agama (hukum jual beli).” (HR. Tirmidzi: 487)
Ingat, bahwa zaman ini adalah zaman yang dahulu dikabarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَالِي الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ أَمِنْ حَلَالٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ
“Akan datang suatu masa, orang-orang tidak peduli dari mana ia mendapatkan harta, apakah dari jalan yang halal atau yang haram.” (HR. Bukhari: 2083)
Maka oleh sebab itu, bagi Anda para pedangang, pebisnis, jika Anda mengaku muslim belajarlah tentang hukum halal-haram.
Semoga bermanfaat
Zahir al-Minangkabawi
Selasa, 10 Oktober 2017
KEMBALIKAN LAGI (Art.Salayok55)
Di negeri kita, banyak sekali masjid. Bahkan di suatu daerah ada masjid yang saling berhadap-hadapan, hanya dipisahkan oleh jalan saja. Suara adzan bersahut-sahutan. Masyarakat berlomba-lomba membangun dan mempercantik masjid. Rata-rata masjidnya besar, megah, nyaman.
Tapi, ada satu yang kurang, yang membuat hati kita tidak nyaman. Saat adzan berkumandang dan shalat berjamaah didirikan, “Sepi, satu atau dua shaf saja. Kemana yang lain?! Kalau kita katakan sedikit muslimnya, tidak juga. Itu buktinya setiap jum’at membludak, idul fitri-idul adha apalagi, sampai meluber ke jalan-jalan.”
Tampaknya memang kiamat semakin dekat. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى النَّاسُ فِى الْمَسَاجِدِ
“Hari Kiamat tidak akan terjadi sampai manusia bermegah-megahan dalam membangun masjid.” (HR. Abu Dawud: 449, Shahih al-Jami’: 7421)
Dari Ibnu Abbas berkata, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَا أُمِرْتُ بِتَشْيِيدِ الْمَسَاجِدِ . قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لَتُزَخْرِفُنَّهَا كَمَا زَخْرَفَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى.
“Aku tidak diperintahkan untuk meninggikan bangunan masjid.”
Ibnu Abbas berkata, “Sungguh kalian akan menghiasi masjid-masjid sebagaimana orang-orang Yahudi dan Nasrani menghiasi tempat ibadah mereka.” (HR. Abu Dawud: 448, Misykah al-Mashabih: 30)
Mari kita lihat para sahabat Nabi. Abdullah bin Mas’ud pernah mengatakan:
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَلْقَى اللَّهَ غَدًا مُسْلِمًا فَلْيُحَافِظْ عَلَى هَؤُلاَءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ فَإِنَّ اللَّهَ شَرَعَ لِنَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- سُنَنَ الْهُدَى وَإِنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِى بُيُوتِكُمْ كَمَا يُصَلِّى هَذَا الْمُتَخَلِّفُ فِى بَيْتِهِ لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلاَّ مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِى الصَّفِّ
“Barang siapa yang ingin berjumpa dengan Allah kelak dalam keadaan muslim maka jagalah selalu shalat lima waktu (berjamaah di masjid) ketika adzan dikumandangkan. Karena sesungguhnya Allah mensyariatkan jalan hidayah kepada Nabi kalian. Dan shalat lima waktu di masjid itu adalah jalan hidayah. Kalau seandainya kalian shalat di rumah-rumah kalian sebagaimana yang diperbuat oleh orang-orang yang meninggalkan shalat jama’ah niscaya kalian telah meninggalkan jalan Nabi kalian. Dan apabila kalian telah meninggalkan jalan Nabi kalian, maka kalian akan tersesat. Aku melihat para sahabat, tidak ada yang mengerjakan shalat di rumah kecuali mereka yang sudah jelas-jelas munafik. Dahulu ada seorang sahabat yang harus dipapah oleh dua orang untuk bisa berdiri di shaf shalat berjamaah.” (HR. Muslim: 654, Abu Dawud: 550)
Maka dari itu, mari kita kembalikan fungsi masjid yaitu untuk shalat berjamaah. Sebagaimana kita berlomba-lomba berinfak untuk pembangunan masjid, maka berlomba-lomba memenuhi masjid dengan shalat berjamaah jauh lebih penting.
Semoga bermanfaat.
Zahir al-Minangkabawi
AGAK KECUT (Art.Salayok54)
Tidak sedikit yang salah kaprah, mengira bahwa manhaj salafush shalih dalam beragama itu hanya berkisar pada pembenahan akidah. Asal tauhidnya mantap dan tidak terjatuh pada kesyirikan, sudah cukup.
Padahal Islam adalah agama paripurna, mencakup dan mengatur segalanya, termasuk akhlak dan tata krama bermuamalah antar sesama. Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحَاسِنُهُمْ أَخْلاقًا ، الْمُوَطَّئُونَ أَكْنَافًا ، الَّذِينَ يَأْلَفُونَ وَيُؤْلَفُونَ ، وَلاَ خَيْرَ فِيمَنْ لا يَأْلَفُ وَلاَ يُؤْلَفُ
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, yang mau merendahkan pundaknya, yaitu orang-orang yang mau bersikap akrab dan mau diajak bersikap akrab. Dan tidak ada kebaikan pada diri orang yang tidak mau bersikap akrab dan tidak mau diajak bersikap akrab.” (HR.Thabrani, Mu’jamus Shagir: 605 dishahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahih 2/389)
Bahkan Imam Ahmad dan yang lainnya menyebutkan sebuah riwayat yang menunjukkan bahwa akhlak menempati posisi penting dalam kehidupan. Sebab, akhlak juga sebagai salah satu penentu selamat atau celakanya seseorang nanti di hari kiamat mengalahkan ibadah yang mungkin siang malam ia kerjakan.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ فُلَانَةَ يُذْكَرُ مِنْ كَثْرَةِ صَلَاتِهَا، وَصِيَامِهَا، وَصَدَقَتِهَا، غَيْرَ أَنَّهَا تُؤْذِي جِيرَانَهَا بِلِسَانِهَا، قَالَ: " هِيَ فِي النَّارِ "
Dari Abu Hurairah, ia berkata: “Seorang laki-laki berkata, ‘Wahai Rasulullah! Sesungguhnya si fulanah banyak shalatnya, banyak pula sedekah dan puasanya, namun ia suka menyakiti tetangganya dengan lisannya.’ Maka Nabi bersabda, ‘Ia di Neraka.’” (HR. Ahmad no. 9675 dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib no.2560)
Oleh sebab itu, perhatikanlah akhlak mulia. Jangan mentang-mentang sudah belajar Kitabut Tauhid, lantas lupa senyum sama orang-orang. Atau senyum tapi agak kecut, jangan. Aqidah dan akhlak harus berjalan bersama.
Semoga bermanfaat.
Zahir al-Minangkabawi
Sabtu, 07 Oktober 2017
LEPAS TANGAN (Art.Salayok53)
Sebagian orang tua hari ini ada yang salah kaprah. Menganggap bahwa tanggung jawab pendidikan anak-anak mereka itu mutlak pada guru-guru mereka di sekolah. Sehingga tidak heran, ada diantara orang tua yang setelah menyerahkan anaknya masuk pondok pesantren misalnya, tidak pernah lagi turut campur urusan mereka.
Tidak pernah lagi bertanya tentang PR, hafalan sudah berapa, ibadah bagaimana, dst. Lepas tangan. Lalu dikemudian hari anaknya ternyata “tidak baik-baik juga” yang disalahkan gurunya, ustadznya yang tidak bisa mengajar, sekolahnya yang tidak berkualitas, dst.
Padahal tanggung jawab pendidikan anak itu ada pada orang tua, adapun sekolah, guru, itu hanyalah pembantu. Yang bertanggung jawab tetap orang tua. Coba perhatikan firman Allah berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6)
Dari ayat diatas siapa yang diperintahkan untuk menjaga keluarga (anak, istri) Anda dari neraka? Apakah gurunya?!
Nabi shallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda:
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah. Kedua orangtuanyalah yang membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari: 1319)
Coba renungkan kalimat “Kedua orang tuanyalah..”, bukankah itu menunjukkan bahwa tanggung jawab pendidikan ada di pundak orang tuanya?!
Ingatlah bahwa tanggung jawab pendidikan anak Anda berada di tangan Anda. Oleh sebab itu, jangan lepas tangan. Meski Anda telah memasukkan mereka ke lembaga pendidikan terbaik sekali pun. Yang tanggung jawab utama tetap berada pada Anda. Bukan pada sekolah, guru atau ustadznya.
Semoga bermanfaat.
Zahir al-Minangkabawi
Jumat, 06 Oktober 2017
4S: SAKIT SENANG SAMA SAJA (Art.Salayok52)
Allah berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Tiap-tiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati. Kami akan menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan hanya kepada Kamilah kalian dikembalikan.” (QS. Al-Anbiya’: 35)
Imam Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Allah menguji kita dengan kejelekan dan kebaikan, gembira dan sedih, sehat dan sakit, kaya dan miskin, halal dan haram, taat dan maksiat, petunjuk dan kesesatan.”
Jika kita mau merenungi ayat mulia ini, kita akan mengetahui bahwa ternyata beginilah hakikat hidup manusia yang sebenarnya. Tidak selamanya kaya adalah nikmat dan tidak pula miskin itu selamanya derita.
Ternyata sakit senang keduanya adalah ujian dari Allah. Sehingga betul juga ucapan bahwa kehidupan itu adalah ujian yang takkan putus. Bagaimana pun kondisi kita pada hakikatnya kita senantiasa berada dalam ujian Allah.
Ujian akan berakhir dengan berakhirnya riwayat kehidupan dunia kita. Kemudian, kita akan melihat hasil dari ujian selama ini. Beruntunglah mereka beruntung, rugilah mereka yang rugi. Karena ujian takkan diulang, tidak ada remedial.
Lantas apa yang patut kita banggakan? Tidak ada, selain amal shalih masing-masing. Benarlah firman Allah:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
“Dialah Allah yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian, mana di antara kalian yang paling baik amalannya dan Dia Maha Perkasa dan Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 2)
Semoga bermanfaat.
Zahir al-Minangkabawi
INDONESIA DI UJUNG TANDUK (Art.Refleksi Hikmah)
Bumi Indonesia seakan berguncang, hawanya memanas oleh sulutan api kemarahan jutaan kaum muslimin. Sebabnya adalah sepenggal kalimat yang terlontar dari mulut seorang Gubernur nonmuslim yang jelas-jelas memojokkan serta melecehkan kitab suci umat Islam.
Hal ini tentu menimbulkan reaksi keras dari umat Islam sendiri, sebab mereka adalah etnis mayoritas di negeri ini. Aksi protes dan tuntutan tidak hanya di daerah ibu kota, namun telah menjalar ke seluruh pelosok nusantara.
Para pemimpin dan tokoh kaum muslimin beramai-ramai angkat suara, di berbagai kota terjadi demonstrasi besar-besaran, menunjukkan bahwa umat Islam negeri ini tidak terima dan menolak keras peristiwa tersebut.
Di tengah kemelut ini, tersebar pula sesuatu yang menimbulkan kecemasan luar biasa pada sebagian kaum muslimin. Yaitu adanya prediksi dari sebagian kalangan berkenaan dengan masa depan Indonesia. Disebutkan bahwa peristiwa ini adalah campur tangan pihak asing (Cina, Amerika, dan sekutunya) yang merupakan langkah awal dari strategi mereka untuk menancapkan kuku di negeri ini.
Sekarang Indonesia di ujung tanduk, kelak jika telah sampai waktunya negeri ini akan dicaplok dan dijajah seperti yang terjadi pada beberapa negara Islam lain atau paling tidak bernasib sama dengan negara tetangga; Singapura. Pribumi jadi babu di rumah sendiri. Bahkan lebih dari itu, tersiar pula kabar tentang usaha pelenyapan Islam dari negeri tercinta ini.
Namun sebagai seorang muslim, kita tentu tidak semudah itu terbawa oleh arus kecemasan yang sedang bergejolak ini. Sebab, kita memiliki pegangan kuat dalam meniti kehidupan, yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Selama kita berpegang teguh dengan keduanya, niscaya kita akan selamat dari berbagai fitnah (cobaan) dunia.
SEMUA ADALAH SUNNATULLAH
Apa yang terjadi dewasa ini, jika dicermati lebih dalam tidak lain adalah sebuah sunnatullah (ketetapan takdir) yang pasti terjadi. Jauh-jauh hari Allah dan Rasul-Nya telah mengabarkan. Allah berfirman:
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. (QS. al-Baqarah: 120)
Rasulullah bersabda:
« يُوشِكُ الأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا »
“Hampir saja umat-umat itu (musuh-musuh kalian) mengerumuni kalian seperti orang-orang yang makan mengerumuni nampannya.” (HR. Abu Dawud: 4299 Dishahihkan oleh al-Albani dalam al-Silsilah ash-Shahihah no. 958)
Sekarang hal itu menjadi nyata, kita percaya bahwa yang menjadi dalang dari semua yang terjadi belakangan ini adalah musuh-musuh Islam, baik dari luar seperti Yahudi, Nasrani, dan yang lainnya, maupun musuh dari tubuh Islam sendiri yaitu orang-orang bermuka dua yang senang menggunting dalam lipatan (munafik).
Oleh sebab itu, kita tidak perlu heran dengan apa yang terjadi. Kita harus menyakini semua ini adalah takdir Allah sebagai ujian agar kita tidak terkukung dalam ketakutan yang tak berujung. Yang perlu kita lakukan adalah usaha untuk menghadapi serta mengatasi ujian-ujian tersebut.
MENAMBAH KEIMANAN
Ketakutan adalah sifat yang manusiawi. Sebab, sifat inilah yang nantinya menimbulkan kewaspadaan. Namun apabila melebihi batas kewajaran maka ia menjadi sifat yang tercela. Seorang muslim boleh saja merasa takut tapi jangan sampai ketakutan tersebut menyeretnya ke dalam hal-hal yang dilarang dalam syariat.
Bahkan semestinya di saat seperti ini (desas-desus berkumpulnya musuh untuk menghancurkan negeri ini), seorang muslim yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya justru hendaknya semakin bertambah keimanannya, berbeda dengan orang-orang munafik.
Allah berfirman menghikayatkan sifat orang-orang yang beriman tatkala mendengar berita tentang berkumpulnya musuh yang akan menyerang:
الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: "Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka", maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: "Cukuplah Allah menjadi penolong Kami dan Allah adalah Sebaik-baik Pelindung." (QS. Ali Imran: 173)
MENGGUGAH SEMANGAT JUANG
Jika melihat sisi lain dari peristiwa ini, justru semestinya menjadi pembuka mata serta penggugah semangat kita (kaum muslimin) dalam membela Islam, bukan malah membuat kita lemah dengan senantiasa berkutat dalam kecemasan.
Di hadapan kita musuh siap menyerang, apakah kita akan bergeming?! Padahal apa yang kita takutkan itu adalah sebuah misteri yang belum tentu terjadi. Sebab, ia adalah masa depan, sedangkan hanya Allah yang tahu apa yang akan terjadi pada masa itu.
Sekarang yang terpenting adalah mengesampingkan kecemasan lantas menyingsingkan lengan baju untuk menolong agama ini. Jangan takut karena sesungguhnya Allah bersama kita, Allah akan menolong dan memberikan kekuatan kepada siapa saja yang menolong agama-Nya. Allah q berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kaki-kakimu (kedudukanmu). (QS. Muhammad: 7)
SAAT USAHA TELAH KANDAS
Kita tidak menyangsikan lagi kebenaran agama Islam ini. Meski dirundung berbagai cobaan, tapi kita percaya bahwa agama ini tidak akan sirna. Saat usaha telah kandas, tidak ada manusia yang sanggup membela, maka saat itulah Allah sendiri yang akan membela Agama ini.
Inilah Ka’bah yang dahulu ingin dihancurkan oleh Abrahah dan tentara bergajahnya. Tidak satu pun manusia yang sanggup menghalanginya termasuk kaum Quraisy. Lihatlah apa yang dikatakan oleh Abdul Muththalib ketika ia mendatangi Abrahah untuk meminta unta-untanya:
“Aku adalah pemilik unta-unta ini, sedangkan rumah ini (Ka’bah) ada pemiliknya (Allah) yang akan menahan (menghalangi) orang-orang yang bermaksud jahat terhadapnya.” (Ma’alim at-Tanzil 5/306)
Dan benar, Allah sendiri yang menghancurkan Abrahah dan bala tentaranya dengan mengirim sekawanan burung, sebagaimana yang termaktub dalam surat al-Fil.
Oleh karena itu, jangan berlebihan dalam kecemasan, dan jangan pula meremehkan (menganggap kecil permasalahan) akan tetapi berada di antara keduanya (waspada) sembari berusaha dan berdo’a kepada Allah supaya Allah senantiasa menjaga negeri ini dari musuh-musuh Islam serta menjadikan Islam kuat dan jaya. Wallahul Muwaffiq.
Kamis, 05 Oktober 2017
BUKAN BEGITU TAPI BEGINI (Art.Salayok51)
Petunjuk siapa yang terbaik? Jalan siapa yang paling pantas kita ikuti? Tentu, kita sepakat jawabnya adalah pentunjuk dan jalannya Rasulullah shalallahu alaihi wasallam.
Tapi ironisnya kenapa banyak pula dari kita ini (umat Islam) yang berpaling dari petunjuk beliau terkhusus dalam hal menasehati pemerintah.
Tidak sedikit yang mengaku muslim, tetapi dengan mudahnya membongkar aib penguasa dengan alasan amar makruf nahi mungkar. Di mimbar-mibar, media sosial, spanduk dan baliho adalah “tempat yang pas untuk menasehati penguasa,” kata mereka.
“Ini kan zaman kebebasan berpendapat. Rakyat boleh saja mengkritik, tidak ada larangan. Tidak khawatir lagi hilang malam. Demokrasi itu kan dari rakyat dan untuk rakyat juga. Jadi apa salahnya kita terang-terangan menyampaikan kritikan. Kalau tidak begitu nanti tidak ada kontrol dan pengawasan.”
Padahal petunjuk Rasulullah shalallahu alaihi wasallam tidak begitu, akan tetapi malah sebaliknya. Beliau bersabda:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِهِ عَلاَنِيَةً ، وَلَكِنْ يَأْخُذُ بِيَدِهِ فَيَخْلُوا بِهِ ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ ، وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ
“Barang siapa yang mau menasehati penguasa maka janganlah dengan terang-terangan. Akan tetapi, peganglah tangannya lalu menyepilah dengannya. Jika ia menerima maka itulah yang diharapkan, namun jika tidak maka dia (yang memberi nasehat) telah menyelesaikan tanggungannya.” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah: 2/521, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Zhilalul Jannah: 2/273)
Oleh sebab itu, sebagai muslim mari kita kembali kepada kesepakatan kita di awal tadi. Kita sepakat bahwa petunjuk Rasulullah-lah yang pantas kita ikuti. Dengan demikian sekarang kita sepakat bahwa menasehati pemimpin jangan terang-terangan.
Mari berhenti menyebut aib pemerintah. Bukan untuk menjilat, bukan karena apa-apa, tetapi karena itu adalah perintah Allah dan Rasul-Nya.
Semoga bermanfaat
Zahir al-Minangkabawi
Rabu, 04 Oktober 2017
JUSTRU MENYESATKAN (Art.Salayok50)
Hidup di zaman ini harus lebih banyak hati-hatinya. Karena sunnatullah semakin ke belakang zaman semakin rusak. Di antaranya harus hati-hati dan selektif dalam memilih panutan. Sebab, sekarang banyak orang yang ditokohkan yang justru menjadi penyesat umat.
Tahu darimana? Dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Beliau pernah bersabda:
أَنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الأَئِمَّةُ الْمُضِلُّونَ
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah imam-imam (para tokoh) yang menyesatkan.” (HR. Ahmad: 1/42, ash-Shahihah: 4/109)
Dalam riwayat yang lain tatkala menyebut tentang kabut kerusakan di akhir zaman di antaranya beliau shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan:
دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا
"Para da’i (penyeru) yang mengajak ke pintu Jahannam. Siapa yang memenuhi seruan mereka maka akan dilemparkan ke dalamnya." (HR. Bukhari: 7084, Muslim: 1847)
Oleh sebab itu, kita harus kritis, bukan saatnya lagi menjadi layang-layang putus. Jangan sekadar ikut-ikutan. Jangan mentang-mentang ia tokoh lantas kemudian kita mudah percaya. Bukan karena apa-apa, akan tetapi karena kita bertanggung jawab terhadap diri kita masing-masing kelak di hadapan Allah ta’ala.
Selasa, 03 Oktober 2017
BUKAN BALAS BUDI (Art.Salayok49)
Selama ini kita menganggap bahwa menyambung silahturrahim itu adalah mengunjungi kerabat lantaran dia juga pernah berkunjung kepada kita. Atau menelponnya karena ia juga sering menelpon kita. Adapun kerabat yang tidak pernah berinteraksi dengan kita atau yang jahat, cerita mereka telah terkubur bersama kejahatan mereka itu pula.
Kita masih belum bisa melupakan prinsip, “Kebaikan dibalas kebaikan, keburukan dibalas keburukan yang serupa. Buat apa menghabiskan pulsa untuk bertanya tentang keadaannya sedang dia tidak butuh juga.”
Padahal hakikat menyambung silaturrahim yang sesungguhnya adalah sebagaimana yang disabdakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam:
لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنِ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قَطَعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا
“Bukanlah termasuk menyambung silaturrahim sekadar balas budi, akan tetapi seorang penyambung itu adalah yang apabila diputuskan hubungan rahimnya ia masih senantiasa menyambungnya.” (HR. Bukhari: 5645)
Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan dalam Fathul Bari’, bahwa ath-Thibi mengatakan:
“Maknanya tidaklah termasuk seorang penyambung (silaturrahim) yang sesungguhnya, tidak pula tergolong orang yang menyambungnya yaitu orang yang hanya membalas (kebaikan) saudaranya semisal perbuatannya. Akan tetapi yang dikatakan penyambung silaturrahim ialah yang berbuat kebaikan berlebih kepada saudaranya.”
Jadi, saat kerabat Anda memutus hubungan dengan Anda, berlaku buruk, disaat itulah Anda dituntut untuk menyambung hubungan yang terputus itu kembali. Itulah menyambung silaturrahim yang sesungguhnya.
Semoga bermanfaat
Zahir al-Minangkabawi
Senin, 02 Oktober 2017
NGINAP GRATIS (Art.Salayok48)
Banyak orang yang tahu bahwa musuhnya dan musuh semua manusia itu adalah setan. Sehingga wajar banyak yang takut dengannya. Seorang muslim disyariatkan untuk senantiasa berlindung dan menjauh dari makhluk yang satu itu.
Akan tetapi, anehnya banyak orang yang takut setan namun justru memberikan penginapan gratis pada mereka. Lengkap dengan makanannya. Banyak, dan bahkan mungkin juga kita.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:
إِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ فَذَكَرَ اللَّهَ عِنْدَ دُخُولِهِ وَعِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ لاَ مَبِيتَ لَكُمْ وَلاَ عَشَاءَ. وَإِذَا دَخَلَ فَلَمْ يَذْكُرِ اللَّهَ عِنْدَ دُخُولِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيتَ. وَإِذَا لَمْ يَذْكُرِ اللَّهَ عِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيتَ وَالْعَشَاءَ
“Apabila seseorang masuk rumahnya, kemudian dia mengingat Allah baik ketika masuk maupun ketika hendak makan maka setan akan mengatakan (kepada teman-temannya): ‘Tidak ada tempat bermalam dan makan bagi kalian.’ Namun apabila ia masuk tanpa mengingat Allah baik ketika masuk maupun ketika makan maka setan akan mengatakan: ‘Kalian dapat tempat menginap dan makan malam.’” (HR. Muslim: 2018)
Bagaimana menurut Anda? Berapa banyak orang yang lupa berdzikir (membaca do’a) ketika masuk rumah dan makan? Sedikit atau banyak?
Makanya tidak heran juga banyak rumah sekarang dirundung masalah. Bisa jadi sebabnya adalah karena rumah itu kosong dari dzikir sehingga setan pun ramai-ramai nginap di sana.
Oleh sebab itu, jangan lupa do’a, ingatlah Allah baik ketika masuk rumah, hendak makan dan di segala aktifitas, agar kita bisa terhindar dari musuh kita yang sesungguhnya.
Semoga bermanfaat
Zahir al-Minangkabawi
BERSABAR DALAM MENUNTUT ILMU
Menuntut ilmu itu bukan perkara mudah. Sebab, ia adalah jalan menuju surga, bahkan jalan tercepat, sedangkan surga dikelilingi oleh hal-hal yang dibenci syahwat manusia.
Rasulullah pernah bersabda:
حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ
“Surga diliputi oleh sesuatu yang dibenci sedangkan neraka diliputi oleh syahwat.” (HR. Muslim: 7308)
Banyak orang yang awalnya bersemangat dalam menuntut ilmu, tapi dengan silih bergantinya hari tak sedikit yang akhirnya putus di tengah jalan.
Imam Ibnu Mubarak pernah menuturkan:
خَرَجْتُ أَنَا وَاِبْرَاهِيْمُ بْنُ أَدْهَم مِنْ خُرَاسَان وَنَحْنُ سِتُّوْنَ فَتًى نَطْلُبُ العِلْمَ مَا مِنْهُمْ آخِذٌ غَيْرِيْ
“Aku dan Ibrahim bin Adham keluar dari kota Khurasan, kami berjumlah 60 orang pemuda untuk menuntut ilmu. Tidak ada yang mendapatkan (ilmu) selain aku.” (Hilyah al-Auliya’ 7/369)
Menuntut ilmu membutuhkan kesabaran yang tinggi, pengorbanan, serta semangat membaja. Tanpa itu mustahil seorang memperoleh ilmu.
قِيْلَ لِلشَّعْبِيِّ: مِنْ أَيْنَ لَكَ كُلُّ هَذَا العِلْمِ؟ قَالَ: بِنَفْيِ الاغْتِمَامِ، وَالسَّيْرِ فِي البِلاَدِ، وَصَبْرٍ كَصَبْرِ الحَمَامِ، وَبُكُوْرٍ كَبُكُوْرِ الغُرَابِ.
Pernah ditanyakan kepada Imam asy-Sya’bi: “Dari mana engkau memperoleh semua ilmu ini?” Ia menjawab: “Dengan membuang kesedihan, berkelana di berbagai negeri, bersabar seperti sabarnya merpati dan berpagi-pagi seperti burung gagak.” (Siyar A’lam an-Nubala’ 7/333-334)
Oleh sebab itu, bersabarlah dalam menuntut ilmu. Tidak ada batas waktu dalam hal itu, tidak ada batas umur. Kita akan terus belajar agama sampai nanti, ketika nafas telah terhenti.
Semoga bermanfaat.
Zahir al-Minangkabawi
Sabtu, 30 September 2017
INGAT!! (Art.Salayok47)
Anak merupakan amanah Allah yang akan dimintai pertanggung jawabannya nanti. Maka sudah semestinya bagi setiap orang tua memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Jangan lupa, bahwa pendidikan yang terpenting adalah bagaimana mereka dapat terhindar dari neraka. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6)
Banyak orang tua hari ini sangat perhatian dengan pendidikan anaknya. Tetapi, sangat disayangkan hanya bersifat keduniaan saja. Mati-matian memperjuangkan anaknya agar bisa Bahasa Inggris, pintar Komputer, lulus di Universitas ternama, bisa ke Amerika atau Eropa. Namun lupa dengan agamanya.
Maka ingatlah! Anda tidak akan ditanya kenapa anak Anda tidak bisa Bahasa Inggris, akan tetapi Anda akan ditanya kenapa anak Anda tidak bisa shalat?
Anda tidak akan ditanya kenapa anak Anda tidak lulus S1, namun Anda akan ditanya kenapa dia tidak menutup aurat?
Setinggi apapun Anda mampu menyekolahkan mereka, sampai S3 atau dapat meraih titel Prof sekali pun, jika mereka tidak bisa menutup auratnya maka Anda telah gagal dalam mendidik mereka, dan kemudian Anda akan mempertanggung jawabkan itu semua.
Ingat, tanggung jawab pendidikan agama anak ada pada tangan Anda.
Semoga bermanfaat.
Zahir al-Minangkabawi
DALAM KENANGAN KAMI, SAAT KITA HARUS TINGGALKAN JEJAK SEBELUM PERGI
MUQADDIMAH
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah untuk Nabi kita Muhammad dan semua keluarga, sahabat serta orang-orang yang mengikuti beliau hingga hari kiamat kelak.
“Kita tidak pernah tahu apa yang akan kita lalui di masa depan”, itulah satu pelajaran yang dapat saya petik dari perjalanan hidup hingga hari ini. Meski baru seumur jagung, tapi kehidupan dengan ombak dan gelombang, gelap dan terangnya, telah banyak mengajari saya untuk memaknai kehidupan itu sendiri.
Semua cerita dan kisah yang pernah kita lalui, terlalu banyak untuk kita pendam dalam ingatan. Payah rasanya kita untuk mengungkapkannya. Harus melalui gelak tangis jika kita ingin menceritakannya.
Peristiwa yang membuat kita bahagia di masa lampau, jika diingat dan dikenang kembali memang membuat kita bahagia. Namun kebahagiaannya tidak seperti dulu lagi. Atau bahkan, boleh jadi terkalahkan oleh kesedihan, karena kita tahu itu semua hanya tinggal kenangan. Entah kapan akan kembali terulang.
Kerap kali kita berkesimpulan, lebih baik mengenang peristiwa yang menyakitkan; kesedihan, penderitaan, kemelaratan, hal-hal yang memalukan, ketimbang mengingat-ngingat peristiwa bahagia. Sebab, peristiwa yang menyakitkan di masa lampau itu terkadang sudah tidak menyakitkan lagi jika dikenang, karena memang kita sudah tidak hidup lagi di masa itu. Atau paling tidak telah berkurang sekian persen dari apa yang pernah kita rasakan dahulu.
Bahkan, tidak sedikit pula kenangan buruk, menyakitkan, dan memalukan yang membuat kita tertawa, teringat betapa bodohnya kita tatkala itu, betapa kekanak-kanakkannya kita saat itu.
Saya tidak pernah menyangka akan bertemu dengan orang-orang yang luar biasa. Tidak pernah terbesit akan bertemu dengan seorang ayah yang sangat sayang pada anaknya, seorang guru yang sangat sangat perhatian kepada muridnya. Atau persahabatan dalam sakit senang. Saya kira hal itu hanya ada pada cerita-cerita orang tua-tua kita tempo dulu. Tentang pengorbanan, perjuangan, kesungguhan, cinta dan kasih sayang yang tak akan pernah lekang oleh zaman. Namun ternyata masih ada di hari ini.
Srowo, sebuah desa yang jauh di luar dugaan. Bahkan, saya tak mengira di Gresik ada desa yang sedemikian adanya. Dahulu semasa sekolah, berulang kali saya membuka peta. Namun tak pernah mengira bahwa suatu hari nanti saya akan berlabuh ke tempat itu.
Enam tahun adalah waktu yang cukup untuk mengukir kenangan, tapi tak cukup panjang untuk mendulang semua yang ada di ma’had ini. Masih terlalu banyak yang belum saya gapai. Ma’had ini dengan segala kelebihan dan kekurangannya, menyimpan banyak harta yang hanya akan dirasa oleh mereka yang punya niat yang lurus dalam mencari kebaikan.
Kenangan selama mengeyam pedidikan di sini, terlalu sayang untuk dilupakan begitu saja. Jika di letakkan di benak saja tentu cepat lambat akan terkikis oleh masa. Oleh sebab itu, saya tuliskan kenangan itu dalam bentuk yang saya mampu. Masih banyak kekurangannya, terlalu banyak peristiwa yang belum sempat untuk di tulis. Namun sesuatu yang tak sanggup kita gapai semuanya, janganlah di tinggalkan seluruhnya.
“Dalam kenangan kami, saat kita harus tinggalkan jejak sebelum pergi”, itulah temanya. Tidak ada gading yang tak retak dan sebagaimana saya katakan di atas, bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan. Saya sangat berharap dan berbahagia jika suatu saat ada yang menyempurnakannya sehingga menjadi sebuah rekaman sejarah yang nyata. Semoga bermanfaat dan terima kasih untuk semuanya. Wassalam.
Srowo, 12 Jumada Tsaniyah 1438 H
Zahirman Edri Abu Zaid al-Minangkabawi
Dalam Kenangan Kami
Saat Kita Harus Tinggalkan Jejak Sebelum Pergi
Al-Furqon, sebuah pondok pesantren yang telah banyak melahirkan pejuang-pejuang dakwah. Sesuai dengan namanya yang bermakna pembeda, ia memang pada kenyataannya berbeda dari pondok-pondok yang lainnya. Kerasnya lingkungan dan keterbatasan justru menjadi hikmah tersendiri.
Hawa panas, air asin, nyamuk ganas adalah di antara ujian yang akan menyaring penduduknya. Memisahkan antara mereka yang benar-benar ingin mencari ilmu agama dengan mereka yang hanya punya semangat seadanya.
Saya masih ingat salah seorang dari rombongan Peduli Muslim Yogyakarta yang mengungkapkan kesalutannya kepada ma’had ini dengan mengatakan bahwa alumninya adalah orang-orang yang tahan banting sehingga tidak heran jika kita bisa menemukan mereka di daerah terpencil sekali pun.
Benarkah?? Ya, mungkin saja dan moga-moga……
KEBERANGKATAN
Takdirlah pengantar kami
menapaki kaki di tanah ini;
kota santri sejuta wali
tempat kami merajut mimpi.
Kami datang dari berbagai pelosok negeri
bersama harapan dan semangat tinggi
dalam kerinduan berbalut sepi
demi apa yang kami cari
bekal hidup kami
sebelum dan sesudah mati.
Kami biarkan dunia dan gemerlapnya
Kesenangan dan indahnya masa muda
Ayah-bunda serta sanak saudara
Tanah kelahiran tempat kami berada
Dan semua kenangan indah yang kami punya
“Selamat tinggal…..”
Sementara atau selamanya…….
Jangan tanyakan apa yang kami rasakan,
Sakit perih yang kami tahan,
Kesedihan dan hancurnya perasaan,
Ketika datang hari perpisahan,
Waktu keberangkatan dan awal dari perjalanan.
Saat itu, tiada yang dapat mereka katakan
Selain ucapan:
“Selamat jalan, semoga selamat sampai tujuan.”
Mulai kami melangkah
Meski harus dengan terengah,
Walau harus bersama rasa payah.
Mengapa berat kaki ini? Teruslah….
Apa yang terjadi? Entahlah…..
Kami tak peduli, terus berjalan dan terserah.
Mengalir air mata
Jatuh dan menetes ke dalam dada.
Terbayang dan semakin nyata
Senyum kesedihan mereka;
Ayah, bunda, kakak, adik dan semuanya.
Tiada daya dan upaya
Hanya kepada Allah saja kami kadukan semuanya;
Duka nestapa yang melanda.
Tiap kali melewati perbatasan
Dan semakin jauh kami berjalan
Kian bertambah kesedihan.
Malam yang indah dan rembulan
Bintang gemintang yang bertaburkan
Tidak mampu untuk melenyapkan
Semua apa yang kami rasakan.
Ketika menulis bait ini, saya teringat dengan perkataan al-Imam Amir bin Syarahil asy-Sya’bi. Beliau pernah ditanya, “Dari mana engkau memperoleh semua ilmu ini, wahai Imam?” Ia menjawab:
بِنَفْيِ الاغْتِمَامِ، وَالسَّيْرِ فِي البِلاَدِ، وَصَبْرٍ كَصَبْرِ الحَمَامِ، وَبُكُوْرٍ كَبُكُوْرِ الغُرَابِ.
“Dengan membuang kesedihan, berkelana di berbagai negeri, bersabar seperti sabarnya merpati dan berpagi-pagi seperti burung gagak.” (Siyar A’lam an-Nubala’ 7/333-334)
Benar engkau wahai Imam, ucapanmu benar-benar terjadi….
KEDATANGAN
Sampailah kami dengan selamat
Jauhnya jarak dan tempat
Menjadikan badan basah berkeringat
Letih, lelah dan penat
Semua yang terlihat
Dan segala yang terlewat
Menjauh serta mendekat
Sudah cukup untuk merusak niat
Hari pertama di kampung orang
Semuanya asing dan tak dikenal
Yang ada tak seindah yang di bayang
Semangat jatuh patah sejengkal.
Tidak ada bangunan megah
Transportasi atau kendaraan mewah
Pekarangan serta taman-taman nan indah
Lantas apa?
Hanya ada tanah-tanah merekah
Hawa panas dan angin gerah
Srowo, negeri seribu matahari
Yang membuat kami harus berbagi keringat setiap hari.
Saat pertama adalah fase istimewa.
Berkenalan dengan segala yang berbeda.
Ada banyak hal yang tak biasa,
Belum terbayang dan tak terkira,
Tiada tergambar tiada terduga
Selama ini dan sebelumnya.
Terbit dan tenggelam sang mentari
Hari berganti….
Denting jam pun kian kencang berlari.
Maka terbangunlah kami
Dari semua mimpi
Yang selama ini melingkupi
Termangu dalam sendiri,
Tersadar di kala sepi,
Terjaga di saat sunyi.
“Inilah yang kami cari, inilah yang kami nanti,”
Gumam pelan sanubari kami
Bisik lembut hati ini.
Selamat datang kawan,
Selamat datang di tempat ini,
Selamat bergabung di pondok kami,
Di Ma’had al-Furqon al-Islami.
Ada yang bilang, penyesuaian diri dengan lingkungan yang baru itu adalah kelaziman, terlebih bagi para penuntut ilmu. Sebab, tanpa hal itu niscaya kita takkan pernah bisa bertahan.
Maka dari itu, mengambil ilmu dan belajar dari bunglon adalah salah satu keharusan. Kita harus bisa melebur bersama lingkungan yang ada agar senantiasa dapat berjalan. Terus melangkah dan jangan berkeluh kesah…..
MANDI
Mari lanjutkan kisah ini
dengan air mandi kami sehari-hari.
Jernih, segar dan menyejukkan
bagi nener, bandeng, udang dan mujair sekalian.
Rasanya pun cukup lumayan
meski tak setawar air kemasan.
Kalau boleh kami katakan,
ia adik tiri air lautan.
Sedikit asin, tapi mengagumkan.
Kenapa?
karena dapat menyembuhkan
panu, kudis dan kurap di selangkangan.
Jikalau mandi dengan sabun batangan,
jangan bingung dan jangan heran,
berapa pun usaha kau kerahkan,
betapa pun engkau usahakan,
namun yang si busa tetap enggan untuk berteman.
Ooo…maaf, ada yang sedikit kelupaan.
Cerita sebelumnya tak kalah menakjubkan.
Untuk mendapatkan semua ini
kita harus rela dan sabar menanti
mengantri bersama sekalian santri
di lorong kamar mandi yang tak pernah rapi.
Tapi ingat jangan kecewa,
berkecil hati dan bersempit dada.
Sering terjadi dan mungkin saja,
saat bosan mulai melanda
setelah lelah menunggu sekian lama,
pintu terbuka giliran tiba,
ditilik ke dalam ada yang beda,
ada apa?
kran diputar tapi ternyata
airnya tak menyala….
Habis sudah tak tersisa
Tinggallah kita bersama duka
Lantas tunggu apa lagi,
buat apa kita berlama-lama di sini,
nikmati saja hidup ini.
Ayo pergi…..! tak usah mandi,
nanti malam kita kembali.
Moga-moga sepi
Kita kan mandi sepuas hati
Dua puluh empat kamar mandi,
untuk ratusan pasang mata kaki.
Gelanggang perang bagi kami
pagi sore setiap hari.
Di sana kami belajar,
di situ pula kami ditempa.
Tentang pentingnya waktu dan sifat sabar,
bagi kami para pemuda.
Itulah ladang pembekalan,
gudang penyimpanan kebutuhan,
tempat pelatihan dan persiapan
untuk kami di masa depan.
Tumbuh subur tanamannya,
beragam bentuk serta warnanya,
senda, gurau, canda dan tawa,
marah, jengkel serta kecewa.
Jika Anda pernah mendengar cerita bahwa orang mandi hanya satu kali dalam sepekan, mungkin itu berlaku di daerah yang punya tingkat kesejukan dan hawa dingin yang tinggi. Tapi, saran saya jangan pernah Anda lakukan jika bermukim di al-Furqon. Sebab, jika Anda pernah mendengar bahwa orang justru sudah gerah kembali ketika handukan selesai mandi, maka di sinilah tempatnya.
KELAS
Pukul tujuh kurang seperempat
tapi seringnya jam tujuh tepat
waktu Srowo bagian barat
berbondong-bondonglah kami berangkat
menuju tempat kami bertambat
yang setiap tahun berpidah tempat.
Ada yang sampai dengan cepat dan selamat,
tapi tak sedikit pula yang tersangkut dan terlambat.
Kalau tempat duduk hukumnya hukum mubahat;
siapa cepat dia dapat
Kelas kami sangat luar biasa,
tanpa merek dan papan nama,
tempat belajar yang sederhana
biasanya di masjid atau mushalla.
Pernah juga, dua tahun lamanya
di ruangan pengap tanpa jendela.
Ada AC-nya? Jangan ditanya,
karena memang bukan hotel bintang lima,
kami tak punya,
hanya ada satu kipas saja,
satu kipas inilah untuk semua..
Segala bau di diaduk rata
Keringat, kentut, bau mulut dan seterusnya..
Kita nikmati bersama…
Kebersamaan, memang hal yang luar biasa….
Ustadz kami tercinta datang segera
dengan muka seri merona
lalu duduk di singgasana
Layaknya raja, hanya saja
tanpa kursi cuma meja
itu pun tidak ada alasnya.
Duduklah ustadz duduk bersila,
di atas lantai dan biasanya
tanpa alas atau hanya
sajadah usang yang sudah tua.
Kitab dibuka mulailah beliau angkat bicara,
dengan segala puji dan puja
untuk Allah tuhan semesta
shalawat dan salam tiada lupa pula
bagi Nabi kita Muhammad al-Mushthafa.
Suatu ketika seorang ustadz melintasi kelas kami. Sambil bercanda ia berceletuk : “Ini kelas atau pedepokan silat?” Karena kondisi belajar kami lesehan, membuat kaki, pinggang dan punggung menjadi cepat kaku. Sehingga tidak butuh waktu lama untuk membuat kami menganti posisi duduk dengan gaya yang bermacam-macam seperti orang-orang yang sedang pemanasan sebelum latihan karate.
NGANTUK
Setengah jam berjalan,
itu pun sudah kelamaan.
Mulai tampak kemunculan
isyarat awal pertunjukan.
Bukan, bukan…
ini adalah musibah kami sekalian,
atau mungkin juga sebagian.
Jangan tertipu atau terlena
apalagi sampai terperdaya.
Mari lihat dengan seksama!
Ada di belakang di depan juga,
di kiri atau kanan sama saja,
di tengah? Juga sepertinya…
Kepala yang tegak mulai merunduk,
punggung yang lurus mulai membungkuk.
Suasana tenang perasaan khusyuk
hanya suara ustadz yang merasuk,
atau… irama kipas yang krasak-krusuk,
kian lama bertambah takluk.
Pelajarannya? mungkin tak masuk,
Kenapa? karena masing-masing sedang sibuk
menopang kelopak mata yang lapuk.
Ya, ini dia musibah mengantuk,
membuat kami mengganti tajuk
menjadi: “Lomba tidur sambil duduk.”
Kami sadar dengan dalam,
ketika mata mulai terpejam,
akan kedatangan musuh nan bengis lagi kejam,
utusan raja para pendendam,
pimpinan tertinggi penduduk Jahannam;
Iblis, yang takkan pernah diam,
ia akan senantiasa mengintai dan siap menikam,
menyerang dan menerkam,
menerjang, menghantam dan menghujam,
dengan semangat tak pernah padam,
dengan kesabaran serta dendam
yang tak bisa diredam.
Punya sejuta cara bermacam-macam,
menguasai tipu daya yang beragam.
Semua itu akan dikerahkan dalam
menyeret anak cucu Adam,
agar luput dari ketaatan kepada Tuhan semesta alam,
atau menuju kesesatan yang kelam,
laksana malam hitam legam.
Segala obat telah kami ramu,
penangkal mata yang mudah layu.
Mulai dari pijat, sambal, dan jamu,
sampai mandi, push-up, dan tidur dahulu,
Tapi tetap saja semua itu
tidak bisa dan belum mampu
mengenyahkan musibah kami yang lalu.
Jangan cela dan pojokkan kami,
atas apa yang terjadi.
Semua itu bukan kehendak hati
bukan pula keinginan diri.
Ini medan, medan pertempuran.
Kalah dan menang bergantian.
Kami terus berusaha untuk bertahan
meskipun sering kali dikalahkan.
Kisah ini kami ceritakan,
agar diambil pelajaran,
sekaligus kami ingin menunjukkan,
beratnya cobaan dan banyaknya rintangan,
di sepanjang jalan menuju kebahagiaan.
Ingat kita dengan sabda Nabi:
حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ
“Surga diliputi oleh sesuatu yang dibenci sedangkan neraka diliputi oleh syahwat.” (HR. Muslim: 7308)
Dan perkataan Imam Ghazali:
“Apabila suatu tujuan teramat suci dan mulia, sukarlah jalan yang harus ditempuh dan banyaklah penderitaan yang akan ditemui di tengah jalan.”
ANTARA DAHULU DAN SEKARANG
Dahulu awalnya,
60 orang kami tak kurang.
Namun bertambah hari semakin lekang.
Seribu satu sebab dan penghalang.
Satu terbang yang lain pulang.
Sisanya berangsur-angsur menghilang.
Satu persatu kami tumbang.
Pergi melayang,
baik di waktu pagi ataupun di waktu petang,
atau bahkan saat malam sehitam arang.
Memang… Malang melintang.
Awal mula tiada berbilang,
cita-cita setinggi bintang.
Semangat luar biasa garang,
bagaikan kuda-kuda perang
yang tak gentar sabetan pedang.
Siap menyerang dan menerjang,
menyeruak masuk ke tengah gelanggang.
Namun sayang seribu sayang,
ketika cobaan mulai datang,
saat ujian mulai menghadang,
yang tadi pedang jadi parang,
sebelumnya kopi jadi rebusan bawang;
lunak, lembek dan tak bertulang.
Awalnya elang jadi belalang,
hiu berubah jadi udang.
Surut mundur ke belakang,
pontang-panting tunggang-langgang.
Kelas yang sempit jadi lapang,
karena sekarang….
Hanya ada 17 orang saja.
Suatu ketika, di tengah lautan dalam perjalanan ke Pulau Seribu Masjid dengan menumpang kapal Legundi, saya menemukan suatu ungkapan yang dahulu pernah diucapkan oleh al-Imam Ibnu Mubarak persis berkaitan dengan cerita kita di atas. Beliau menuturkan:
خَرَجْتُ أَنَا وَاِبْرَاهِيْمُ بْنُ أَدْهَم مِنْ خُرَاسَان وَنَحْنُ سِتُّوْنَ فَتًى نَطْلُبُ العِلْمَ مَا مِنْهُمْ آخِذٌ غَيْرِيْ
“Aku dan Ibrahim bin Adham keluar dari kota Khurasan, kami berjumlah 60 orang pemuda untuk menuntut ilmu. Tidak ada yang mendapatkan ilmu selain aku.” (Hilyah al-Auliya’ 7/369)
Dari ucapan beliau tersebut, dapat kita pahami bahwa tersingkirnya para penuntut ilmu dari jalannya tidak hanya terjadi di zaman kita saja, tetapi sudah ada dari zaman dahulu kala.
ANGGOTA KELAS
Di kelas kami ada tiga
Bukan kasta bukan apa-apa
Hanya letingan umur saja
Ada golongan tua
Ada golongan muda
Dan ada pula golongan di antara keduanya
Golongan tua adalah udamasbangkak kita
Orang-orang yang sudah berkepala tiga
Atau yang mendekatinya
Kalau mereka berjumpa
Dan saling beradu kata-kata
Sudah bisa ditebak tema apa
Apa lagi kalau bukan urusan qobiltu nikahaha
Karena memang sudah waktunya
Atau mungkin hampir kadarluarsa
Betul sudah ada pula di antara mereka
Yang telah menjalaninya
Bahkan ada yang sudah beranak dua
Tapi itu bukan penghalang nyata
Untuk ikut angkat bicara
Sebab, dalam agama kita
Sampai empat pun boleh juga
Kakak pertama kita
Bang Zubair Supratman namanya
Dari wajah dan gaya bicara
Pada awalnya saya kira ia orang Jawa
Namun jelas salahnya
Karena ternyata ia orang Bima
Jangan salah, beliau ini juga anggota KPK
Bukan Komisi Pemberantasan Korupsi
Tapi Komunitas Peternak Kambing
Kakak kedua Abu Ismail
Itulah yang biasa kami panggil
Sebenarnya Syafrizal nama aslinya
Orang awak jua
Tapi besar dan tinggal di Pekanbaru
Negerinya orang-orang Melayu
Yang ketiga Abu Abdillah
Lahir dan besar di Jakarta
Di Bangka pun pernah, tapi kerja
Dan akhirnya hidup bersama kita
Nama aslinya Nofri Endri
Darahnya darah Minang
Di Solok sana rumah gadangnya
Setelah uda kita tadi
Mas Ratam namanya
Ada pepatah dalam hal ini:
“Tidak ada rotan kayu pun jadi
Tidak ada Ratam, Abu Ayyub pun jadi”
Bayumas kampung halamannya
Masih bagian dari pulau Jawa
Mas Syam kami memanggilnya
Tapi baunya wangi tidak masam
Abu Yasir Muh Syamsuddin tepatnya
Duduk di depan sering bertanya
Dengar-dengar orang sunda
Tapi tidak ada tanda-tanda
Katanya dari Indramayu
Tapi Indramayu itu masuk mana?
Sunda apa Jawa?
Jika anda pernah mendengar cerita
Tentang manusia-manusia kompor dunia
Dialah salah satunya.
Awas, nanti bisa terbakar…..
Selanjutnya Tengku Azmi namanya
Kabarnya berdarah biru keturunan raja
Dari daerah Selat Panjang sana
Selat Panjang itu di Sumatera
Itulah kakak-kakak kita
Semuanya masih pejaka
Kecuali dua orang saja
Kakak pertama dan kedua
Kemudian golongan pertengahan
Mereka yang kelahiran antara sembilan puluhan
Sampai sembilan puluh tiga-an
Dari Madiun ia berhembus
Kami panggil ia pak Agus
Bergabung bersama kami dahulu
Saat kami di Ali satu
Selanjutnya Abu Fauzan
Dari Jember, tapi pernah di Kalimantan
Kalau mau beli pulsa
Sama abu Fauzan saja
Anda tidak akan kecewa
Karena murah dan boleh hutang juga
Yang ini teman istimewa kita
Penulis dan pecinta sastra
Namanya Luki tapi biasa
Abu Tholhah kami memanggilnya
Ia datang dari Sambas sana
Perbatasan dengan Malaysa
Selanjutnya urutan saya
Tapi sepertinya tak ada lebihnya
Selain satu saja yaitu sekampung dengan Buya HAMKA
Dari lereng gunung Sumbing
Teman kita yang satu ini terlanting
Panggil saja Cak Rul
Abu Ammar boleh juga
Memasuki golongan muda
Dengan semangat jejaka
Dunia akan lambat tanpa mereka
Mereka kuat
Mereka giat
Muh Jundi al-Faruqi
Pendekar sakti dari Kediri
Setelah itu Mukhlis Ali
Spesialis bagian konsumsi
Bahana Syair Adil
Darah muda dari Bekasi
Imam kita Imam Solihin
Dari Ponorogo datangnya
Jika imam kita imam solihin
Turun Rahmat setelahnya
Rahmat Supriadi ini dari Riau
Terakhir tinggal satu nama
Ashim Abdurrahman, dari Medan lah Bang….
Banyak manusia yang ingin namanya dikenal banyak orang. Oleh sebab itu tak heran mereka tanpa sungkan menuliskan namanya di batu-batu besar tempat wisata, tembok-tembok taman kota, jok bis kota atau di dinding kamar mandi kereta.
Mereka lupa, bahwa tulisan di tempat-tempat tersebut akan cepat sirna, akan terhapus oleh hujan, panas dan perjalanan masa. Padahal ada satu tempat yang lebih layak dan lebih tahan lama yaitu di dalam hati-hati manusia.
Maka ukirlah nama Anda di hati manusia dengan berbuat baik kepada mereka.
MASJID
Jami’ Sulthan adz-Dzakari,
itulah nama masjid kami.
Tempat sujud kami sehari-hari,
beribadah dan mendekatkan diri.
Di sana tempat belajar kami,
di situ pula kami mengaji.
Duduk mendengar petuah ilahi,
agar kami dapat selamat di hari nanti.
Banyak waktu kami habiskan di sana.
Mulai saat kami baru saja
membuka mata dan cakrawala,
sampai di akhir dan penghujungnya;
saat lelah mulai terasa,
ketika kantuk telah melanda,
manusia telah lelap dalam tidurnya.
Masjid ini,
saksi bisu semangat santri
bersama kami yang masih sempat mendapati,
mengecap-merasai dan mencicipi,
waktu-masa serta hari-hari,
semarak semangat belajar yang tinggi.
Di saat malam hari tiba,
masjid dengan senang menerima,
kedatangan ratusan pasang mata
dengan buku dalam pangkuannya.
Halaqah belajar di mana-mana,
di setiap sudut dan bagiannya;
di teras atau ruang utama,
lantai dasar atau lantai dua.
Berbagai ilmu di bahas,
berjilid masalah dikupas.
Tanpa peduli jarum jam,
tanpa hiraukan jalannya malam.
Tak sadar dan tak terasa,
ternyata sudah pukul dua belas saja.
Kala itu,
masih banyak santri baru,
dengan kemauan dan semangat menggebu.
Berpadu,
dengan banyaknya kakak kelas,
yang siap membimbing dengan ikhlas.
Tak kenal waktu dan lelah,
melebur dalam suasana yang indah,
walaupun mereka tiadalah,
memiliki hubungan nasab dan darah.
Saat bait ini ditulis,
dua hal yang takkan terkikis.
Senantiasa ada dalam ingatan,
satu sedih yang lain senyuman.
Hal pertama di sinilah adanya,
kumpulan suara luar biasa
Bergemuruh hebat tiada dua,
bagaikan lebah bersama dengungannya.
Suara itu lantunan al-Qur’an,
bersumber dari ratusan lisan.
Lima waktu kita dengarkan,
antara adzan sampai shalat didirikan.
Benar…inilah salah satunya,
kebiasaan baik yang masih ada,
dan moga-moga berlanjut untuk seterusnya.
Namun ketika,
teringat waktu kami sudah tak lama,
datanglah sedih dan duka cita.
Karena kami akan kehilangannya,
dan belum tentu ada gantinya.
Hal kedua membuat kami heran,
jengkel sekaligus menggelikan.
Sepertinya hanya ada di masjid al-Furqan,
pada setiap shalat jama’ah yang dilaksanakan.
Shaf yang rapat dan lurus
bisa saja tiba-tiba putus.
Menyisakan celah yang bisa ditembus
oleh musuh yang punya sejuta jurus.
Haruslah kita berjalan,
ke depan ke kiri atau ke kanan,
untuk menambal kebocoran,
serta mempertahankan kekhusyukan.
Tapi, celah itu banyak dan sering sekali,
sehingga shalat jama’ah pun menjadi
seperti gerak jalan pada HUT RI.
Rakaat pertama di shaf kelima,
selesai salam sudah ternyata,
di shaf terdepan yang pertama.
Inilah yang membuat kita,
tersenyum sambil menggelengkan kepala.
Kelak akan terbayang di mata.
Barisan rapi al-Qur’an di raknya,
mimbar kecil yang sederhana,
coklat tua dengan dua tangga,
lantai marmer dan pengeras suara,
kipas angin serta lampunya,
dinding-jam dan tiang penyangga,
mihrab-meja pintu dan jendela.
Semua…
akan tinggal kenangan saja,
terkubur bersama kisah lainnya.
Dan suatu hari nanti,
akan menjadi sebab kesedihan hati.
Karena terkadang,
“Bukan kenangan buruk yang membuat kita bersedih, tapi kenangan indah yang kita tahu hal itu tak akan terulang kembali….”
Duhai masjid kami,
ke manakah akan kami cari?
Akankah semua ada ganti?
Engkau dengan kesederhanaanmu,
keterbatasan dan kekuranganmu,
adalah kenangan terindah,
padamu tersimpan berjuta kisah,
beribu riwayat dan sejarah.
Yang akan tetap ada,
pada ingatan kami semua.
Akan terus mengalir deras,
dalam darah-nadi dan nafas.
Namun memang seringnya,
tatkala kita masih bersama,
tiada keelokanmu terasa.
Semua yang ada hanya,
keluh kesah dan pengaduan saja.
Tidak pernah ada habisnya.
Kelebihanmu seakan sirna,
mata seolah buta,
panca indra sudah tak peka,
yang tampak hanya cacat-kurang dan cela.
Lantaimu yang berlubang,
lampumu yang kurang terang,
suara spekermu yang sering hilang,
kipas anginmu yang membuat risih,
jam-jam dindingmu yang sering berselisih
atau hawa sejukmu yang tak pernah berlebih.
Namun harus kami sadari,
dari lubuk terdalam sanubari.
Itu semua hanyalah ucapan mulut kami
Yang tak tahu diri ini
Karena jauh dari relung hati
Engkau adalah masjid tercinta yang kami miliki
Tempat terindah yang pernah kami singgahi
Banyak di antara kita yang telah menjadikan masjid bagian dari hidupnya. Ketika hendak beristirahat dalam perjalanan, yang pertama kita cari bukan hotel berbintang, tapi hotel bulan bintang (masjid). bahkan kita kerap kali kecewa, sebab masjid-masjid di zaman ini di banyak daerah di negara kita seringnya dikunci. Hanya dibuka ketika waktu-waktu shalat saja. Padahal kita merasa sangat nyaman jika berada di dalamnya.
Tapi tak mengapa, tak usah bersedih hati mudah-mudahan kita bisa masuk dalam sabda Nabi:
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ …… وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ……
“Tujuh golongan yang akan dinaungi Allah pada hari tidak ada naungan selain naungan-Nya: (di antaranya)… seorang yang hatinya terpaut dengan masjid…” (HR. Bukhari: 660)
Katakan: Aamiiin….!!!
SELAMAT TINGGAL
Perputaran waktu- pergantian hari
entah kenapa serasa cepat sekali
Seakan baru kemarin lusa terjadi
kedatangan kami di pondok ini
Sekarang dipenghujung cerita
kesempatan kami sudah tak lama
Hanya menungu waktunya tiba
saat kami tinggalkan semua
Tahukah engkau apa yang kami rasa?
Gelegak kuat dalam dada
Sedih, kalut dan bahagia
Melebur menjadi satu warna
Kami pun tak tahu namanya apa
Kata yang tepat tidak ada
Tapi yang jelas itu semua
Beban berat yang kami bawa
Suara tak bisa lantang
Mulut bagai terkekang
Hanya bisa isyarat mata
Dengan linangan air dipelupuknya
Masih ingat terkenang
Masih jelas terbayang
Dahulu pernah kita
Satu sampan bersama
Badai kita lalui
Gelombang kita lampaui
Sampai pelabuhan yang terakhir
Kita pun tidak terlalu khawatir
Karena atap masih satu
Gerak langkah masih padu
Namun kita tak mampu tepiskan
ketetapan takdir yang berjalan
Akhirnya biduk tertumbuk
Dayung pun telah tertumpuk
Kita kan berpisah
kami kan melangkah
Ingat-ingatlah kami
yang pernah hidup di tempat ini
Kenang-kenanglah kami
yang pernah ada di kisah ini…
Saya pribadi, merasa payah ketika harus menuliskan bagian yang ini. Memang perpisahan adalah suatu yang membuat kita bersedih, tapi ia juga kelaziman. Oleh sebab itu, sambil menahan kesedihan kedua saya tambahkan haturan permohonan maaf kepada Anda yang mengenal saya dan siapa saja yang pernah saya sakiti. Kita tak ingin melangkah dengan dendam yang masih terukir di dalam hati. Maafkanlah…….
JANGAN LUPAKAN
Kita takkan pernah tahu…
Akan berjumpa dengan siapa dalam hidup ini
Orang-orang datang silih berganti
Sebagian kecil mereka
ada yang punya tempat di hati kita
Dan sisanya akan segera terlupakan begitu saja
Di antara mereka yang punya tempat itu
adalah handai tolan; sahabat karib sekatiduran
Saya adalah orang yang berbahagia
Dapat berkenalan dengan mereka.
Sakit senang kami lalui
berbagai cobaan kami lampaui
Memang tak banyak yang dapat bertahan hingga akhir perjalanan….
Karena sebab yang bermacam-macam
Meski hanya tersisa tujuh belas orang, tapi itu bukan penghalang buat melanjutkan perjuangan.
Kawan…..
Saya tak tahu kelak engkau kan jadi apa
Tapi saya hanya punya harapan
Engkau akan senantiasa
Menjadi pembuka kebaikan dan penutup keburukan.
Jika suatu hari nanti engkau jadi orang besar, jangan lupakan saya.
Dan jika engkau menengadahkan tangan untuk berdo’a meminta surga, sertakan juga saya di dalamnya.
Semoga kita dapat berjumpa kembali di sana. Amin.
Kawan, andaikata kita memang harus terpisah oleh ruang dan waktu, saya harap kita tetap satu dalam tujuan. Dimanapun kita berada mudah-mudahan kita bisa menjadi pembuka kebaikan dan penutup keburukan. Sebab Nabi kita pernah bersabda:
فَطُوبَى لِعَبْدٍ جَعَلَهُ اللَّهُ مِفْتَاحًا لِلْخَيْرِ مِغْلَاقًا لِلشَّرِّ
“Beruntung seorang hamba yang dijadikan Allah pembuka kebaikan dan penutup keburukan.” (HR. Ibnu Majah)
Semoga saja, kita termasuk ke dalamnya….Aamiiin.
SEPATAH DUA KATA UNTUK ENGKAU YANG KAMI CINTA (Naskah Perpisahan)
الله الرحمن الرحيم الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، أما بعد.
Dia-lah Allah yang menciptakan siang dan malam mentari dan rembulan, tua-muda laki-laki dan perempuan. Allah-lah yang telah menakdirkan segalanya. Ada yang miskin ada yang kaya, ada yang hidup juga ada yang meninggal dunia. Dan Ia pula yang telah menetapkan perjumpaan serta perpisahan.
Shalawat dan salam kita haturkan kepada penghulu anak cucu Adam; Nabi kita Muhammad shalallahu alaihi wa sallam. Kepada keluarga dan sahabat-sahabat beliau, serta orang-orang yang menempuh jejak langkah mereka hingga hari yang ditentukan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Yang kami hormati, yang kami cintai serta kami sayangi, guru-guru sekaligus orang tua kami; para asatidzah yang tidak kami sebutkan satu per satu.
Yang kami muliakan kakak, adik serta teman-teman kami yang seiman, senasib, dan seperjuangan.
Izinkanlah kami mewakili teman-teman kami di kelas ALI 3, menyampaikan sepatah dua kata di kesempatan yang berbahagia ini, dihari nan cerah ini, saat banyak hati sudah tak sabar lagi melangkahkan kaki. Menuju ayah-bunda, sanak-saudara, disana dirumah kampung halaman yang tercinta setelah berpisah sekian lama.
Takdirlah yang telah mengantarkan kami ke tempat ini. Menapaki kaki di tanah yang dikenal dengan kota santri negrinya para wali.
Sebelumnya, tidak pernah terbesit, tidak pernah terlintas di hati dan pikiran kami bahwa ma’had ini akan mengambil bagian dalam kisah perjalanan hidup kami.
Kami yang datang dari berbagai pelosok negeri. Keluaran dari berbagai latar belakang dan profesi. Diberikan hidayah oleh Allah, dikumpulkan di ma’had yang penuh berkah. Yang penuh dengan hal yang luar biasa dan menakjubkan, penuh dengan pelajaran dan teladan.
Di sini kami belajar…
Di sini pula kami ditempa,
Tentang pentingnya waktu dan sifat sabar
Bagi kami para pemuda.
Tempat ini adalah ladang penyemaian,
Gudang pembekalan,
Tempat pelatihan dan persiapan
Untuk kami dimasa depan.
Tumbuh subur tanamannya,
Beragam bentuk serta warnanya.
Sakit sedih dan derita,
Canda tawa dan bahagia.
Di sinilah kami menyadari siapa diri ini. Siapa penciptanya dan apa kewajiban yang harus ditunaikan kepada penciptanya itu. Di sinilah kami mengenal hakikat kehidupan, di sini pula kami mengetahui tujuan akhir perjalanan. Mata yang dahulu buta sekarang mulai terbuka. Kami yang dahulu tertidur akhirnya pun mulai terjaga.
Oleh karena itulah, semua takdir ini adalah satu hal yang wajib senantiasa kami syukuri, ini adalah nikmat besar yang tidak dirasakan oleh setiap orang. Kepada Allah kami bersyukur, karena Allah masih menginginkan kebaikan pada diri kami.
مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
Barang siapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, Allah pahamkan ia dengan agama-Nya (HR. Bukhari: 71 Muslim: 1037)
Sebagai bentuk pengamalan dari sabda Nabi:
لاَ يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ
“Tidak dikatakan bersyukur kepada Allah, seorang yang tidak beryukur dan berterima kasih kepada manusia.”
Maka, izinkanlah kami untuk mengatakan :
Kepada engkau, wahai guru-guru kami……
Engkau adalah pahlawan di medan juang…
Engkau adalah pelita dalam kegelapan…
Engkau bintang gemintang saat perjalanan…
Engkaulah sosok mulia dalam cerita kehidupan…
Dahulu kami adalah ulat. Yang merusak dedaunan, membusukkan buah-buahan, membuat gatal setiap tangan yang menyentuhnya, membuat jijik mata yang memandangnya. Kedatangan kami membuat banyak orang berduka cita, kepergian kami adalah suka ria yang harus disambut bahagia.
Namun, setelah hidayah dan pertolongan Allah, engkau tunjuki dan engkau bimbing kami, hingga kami pun berubah menjadi kupu-kupu nan indah. Setiap bunga akan menanti kedatangan kami, berjuta mata akan berbahagia menyambut kehadiran kami.
Dahulu kami adalah air di atas dedaunan. Terombang-ambing oleh angin serta hembusan. Kami tidak punya pendirian, kami tidak punya pegangan. Lantas engkau pidahkan kami ke dalam gelas, engkau ajari kami hakikat kehidupan.
Dahulu kami adalah sobekan kertas. Sampah yang tak bernilai, terlantar dan terbuang, berserakan di jalanan, ditelan habis oleh pergaulan, tersisihkan dari lingkungan. Tapi kemudian engkau pungut kami, engkau daur ulang kembali, hingga kami pun punya nilai hari ini.
Apa yang akan kami berikan kepada engkau wahai guru-guru kami…??
Dunia dan seisinya tak sebanding dengan jasa engkau pada kami.
Segunung emas tak sepadan dengan hakikat tauhid yang telah engkau ajarkan kepada kami.
Selembah mutiara tak cukup mengganti jerih payahmu, tidak akan mampu membeli kesabaran, kesederhanaan serta ketulusanmu…
Engkaulah pahlawan tanpa tanda jasa.
Engkau tidak mengharapkan balasan dan ucapan terima kasih manusia..
Karena engkau telah korbankan jiwa dan ragamu untuk Allah dan agama-Nya.
Lantas apa yang dapat kami lakukan?
Apa yang bisa kami berikan?
Sedangkan kami lemah tak berdaya…
Kami pun papa dan tak punya apa-apa...
Maka, tidak ada yang dapat kami lakukan selain mengucapkan terima kasih dari lubuk hati yang terdalam. Tidak ada yang bisa kami berikan selain do’a keikhlasan, semoga Allah ta’ala membalas jasa-jasa engkau dengan surga-Nya, mengampuni dosa dan kesalahan engkau, memberkahi setiap urusan engkau serta mengumpulkan engkau bersama orang-orang yang dicintai-Nya; hamba-hamba pilihan-Nya yang telah Ia beri nikmat dari para nabi, para shiddiqin, para syuhada’ dan orang-orang shaleh.
Harus kami akui, jujur kami sadari…
Betapa banyak kesalahan kami padamu, wahai guru-guru kami…
Tingkah laku dan perbuatan kami, seringnya membuat engkau mengelus dada…
Atau bahkan meneteskan air mata…
Setiap hari kami tambahkan beban pikiranmu…
Setiap hari kami rampas waktu dan kesempatanmu…
Padahal engkau memiliki kehidupan pula…
Engkau memiliki anak, istri dan keluarga…
Engkau mempunyai tanggung jawab yang lainnya…
Maka maafkanlah kami, wahai guru-guru kami…
Siramilah kami dengan samudra kemaafanmu…
Jangan jadikan ini penyebab datangnya murka Allah pada kami…
Hingga kami pun hancur berkeping-keping tak menentu…
Semua itu..
karena kebodohan kami.
Semua itu…
karena kelalaian serta ketidakdewasaan kami.
Oleh karena itu..
Maafkanlah kami, wahai guru-guru kami…
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِجَمِيْع أَسَاتِذَتِنَا، وثَبِّت أَقْدَامَهُمْ، وَاشْرَحْ صُدُوْرَهُمْ، وَبَارِكْ لهم في دِيْنِهِمْ وَ دُنْيَاهُمْ، اللهُمَّ ثَقِّلْ مَوَازِنَهُمْ، وَ اجْمعُهُمْ مَعَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّين وَ الصِّدِّيْقِين وَ الشُّهَدَاء وَالصَّالِحين.....
Kemudian selanjutnya kepada kakak-kakak, adik-adik, teman-teman, serta siapa saja yang kami kenal yang tidak kami sebutkan satu per satu.
Layak pula kami ucapkan terima kasih banyak kepada antum sekalian. Antum adalah saudara sekaligus sahabat kami. Maka untukmu wahai saudara-saudara kami, dengarkanlah bisikan sanubari kami ini :
Sahabat….
Engkau punya tempat di hati kami…
Engkau adalah penghibur lara ini
Penguat langkah kaki kami…
Engkau raih tangan kami tatkala kami hampir jatuh ke jurang keputusasaan…
Engkau nyalakan kembali semangat kami yang mulai padam…
Engkau hibur hati kami saat gundah gulana datang menghantam…
Engkau temani kami ketika kami kesepian…
Engkau kuatkan kami saat kami lemah…
Engkau teguhkan kami saat kaki kami mulai goyah…
Engkaulah yang menyuapkan nasi, menuangkan air ke mulut ini, saat kami ditimpa sakit…
Engkau pulalah yang meminjamkan uang kepada kami, saat kami kehabisan bekal…
Walaupun terkadang engkau pun juga membutuhkan…
Lalu dengan apa hendak kami balas semua itu…??
Kami berhutang budi padamu…
Hanya do’a yang dapat kami hadiahkan untukmu…
Karena hanya Allah yang mampu membalas banyaknya kebaikanmu…
Maafkanlah kesalahan kami……
Mulut kami yang sering menggores hati…
Sikap kami yang acap kali menyakiti…
Tangan kami yang ringan atau sekadar bermuka masam…
Maafkanlah kami, wahai saudara-saudara kami sekalian….
Sekarang…
Tak terasa lima tahun sudah kami di sini.
Dengan susah payah kami lalui onak dan duri..
Hingga kami pun mampu mengukir sejarah hidup kami…
Perputaran waktu-pergantian hari
Entah kenapa serasa cepat sekali
Seakan baru kemarin lusa terjadi
Kedatangan kami di pondok ini
Sekarang di penghujung cerita
Kesempatan kami sudah tak lama
Hanya menungu waktunya tiba
saat kami tinggalkan semua
Tahukah engkau apa yang kami rasa?
Gelegak kuat dalam dada
Sedih, kalut dan bahagia
Melebur menjadi satu warna
Kami pun tak tahu namanya apa
Kata yang tepat tidak ada
Tapi yang jelas itu semua
Beban berat yang kami bawa
Suara tak bisa lantang
Mulut bagai terkekang
Hanya bisa isyarat mata
Dengan linangan air di pelupuknya
Masih ingat terkenang
Masih jelas terbayang
Dahulu pernah kita
Satu sampan bersama
Badai kita lalui
Gelombang kita lampaui
Sampai pelabuhan yang terakhir
Kita pun tidak terlalu khawatir
Karena atap masih satu
gerak langkah masih padu
Namun kita tak mampu tepiskan
Ketetapan takdir yang berjalan
Akhirnya biduk tertumbuk
Dayung pun telah tertumpuk
Kita kan berpisah
Kami kan melangkah
Ingat-ingatlah kami
Yang pernah hidup di tempat ini
Kenang-kenanglah kami
Yang pernah ada di kisah ini…
Memang, terlalu cepat kami mengucapkan kata perpisahan sedangkan kami masih punya waktu satu tahun ke depan. Namun satu tahun itu bukanlah waktu yang lama, ia akan belalu tanpa terasa.
Hari ini, kami laksana penyu-penyu kecil yang baru saja menetas. Di hadapan kami terhampar luas samudera lepas, gelombang ganas dan pemangsa-pemangsa buas yang siap menerkam, menggulung habis kami sekalian.
Di luar sana, fitnah dunia bagai potongan malam gelap gulita. Yang akan menyesatkan setiap orang yang berjalan tanpa cahaya. Ada banyak ujian yang mungkin saja tidak ada di zaman guru-guru kami dahulu, namun sekarang tumbuh subur bagai jamur di musim penghujan.
Tawaran fasilitas adalah musibah tersendiri bagi kami..
Menggetarkan lutut dan jari-jemari…
Kami khawatir kami tak berdaya …
Kami takut seandainya itu menimpa…
Hingga kami lupa…
Dan kami pun tersungkur dalam petaka…
Hati yang lemah ini dihadapkan pada berbagai macam godaan..
Kemudahan dan kemegahan dunia ada di ujung lisan ..
Tinggal mengatakan: ”Ya, saya terima…” akan sulit mempertahankan
Kesederhanaan yang selama ini kami perjuangkan.
Belum lagi fitnah perpecahan dalam barisan penyeru kebenaran. Yang bermula dari hawa nafsu keduniaan. Membutakan banyak da’i, menghilangkan banyak hati nurani. Sampai seorang murid tega mendiamkan gurunya, seorang anak lancang mencela orang tua yang telah mendidik dan membesarkannya.
Fitnah-fitnah itu tentunya akan kami selami, ujian-ujian itu cepat atau lambat akan kami jumpai. Oleh karena itu,
Do’akanlah kami, agar kami tetap teguh dalam agama ini…
Do’akanlah kami, agar langkah kaki kami tak keluar dari jalan ini…
Do’akanlah kami, agar hidayah Allah tetap di hati kami…
يا مقلب القلوب ثبت قلوبنا على دينك، يا مصرف القلوب صرف قلوبنا على طاعتك، ربنا أفرغ علينا صبرا وثبت أقدامنا وانصرنا على القوم الكافرين،اللهم لا تجعل مصيبتنا في ديننا ولا تجعل الدنيا أكبر همنا ولا مبلغ علمنا،اللهم باركنا في علمنا و وقتنا و جميع أمورنا، واجعلنا مباركا أينما كنا، واجعلنا مفتاحا للخير و مغلاقا للشر،ربنا آتنا في الدنيا حسنة و في الأخرة حسنة و قنا عذاب النار.
وصلى الله على نبينا محمد و على آله و صحبه و سلم.السلام عليكم و رحمة الله و بركاته.
Ditulis oleh:
Zahirman Edri Abu Zaid al-Minangkabawi
Srowo, 18 Ramadhan 1437 H
Tulisan ini adalah naskah perpisahan yang disampaikan oleh penulis sendiri pada acara perpisahan akhir tahun dan penerimaan raport di hadapan seluruh pengajar dan santri ma’had al-Furqon dari berbagai marhalah di masjid Jami’ Sulthan adz-Dzakari pada tanggal 20 Ramadhan 1437 H.
Langganan:
Postingan (Atom)