Sabtu, 30 September 2017

INGAT!! (Art.Salayok47)


Anak merupakan amanah Allah yang akan dimintai pertanggung jawabannya nanti. Maka sudah semestinya bagi setiap orang tua memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Jangan lupa, bahwa pendidikan yang terpenting adalah bagaimana mereka dapat terhindar dari neraka. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6)

Banyak orang tua hari ini sangat perhatian dengan pendidikan anaknya. Tetapi, sangat disayangkan hanya bersifat keduniaan saja. Mati-matian memperjuangkan anaknya agar bisa Bahasa Inggris, pintar Komputer, lulus di Universitas ternama, bisa ke Amerika atau Eropa. Namun lupa dengan agamanya.

Maka ingatlah! Anda tidak akan ditanya kenapa anak Anda tidak bisa Bahasa Inggris, akan tetapi Anda akan ditanya kenapa anak Anda tidak bisa shalat?

Anda tidak akan ditanya kenapa anak Anda tidak lulus S1, namun Anda akan ditanya kenapa dia tidak menutup aurat?

Setinggi apapun Anda mampu menyekolahkan mereka, sampai S3 atau dapat meraih titel Prof sekali pun, jika mereka tidak bisa menutup auratnya maka Anda telah gagal dalam mendidik mereka, dan kemudian Anda akan mempertanggung jawabkan itu semua.

Ingat, tanggung jawab pendidikan agama anak ada pada tangan Anda.

Semoga bermanfaat.
Zahir al-Minangkabawi

DALAM KENANGAN KAMI, SAAT KITA HARUS TINGGALKAN JEJAK SEBELUM PERGI


MUQADDIMAH
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah untuk Nabi kita Muhammad dan semua keluarga, sahabat serta orang-orang yang mengikuti beliau hingga hari kiamat kelak.

“Kita tidak pernah tahu apa yang akan kita lalui di masa depan”, itulah satu pelajaran yang dapat saya petik dari perjalanan hidup hingga hari ini. Meski baru seumur jagung, tapi kehidupan dengan ombak dan gelombang, gelap dan terangnya, telah banyak mengajari saya untuk memaknai kehidupan itu sendiri.

Semua cerita dan kisah yang pernah kita lalui, terlalu banyak untuk kita pendam dalam ingatan. Payah rasanya kita untuk mengungkapkannya. Harus melalui gelak tangis jika kita ingin menceritakannya.

Peristiwa yang membuat kita bahagia di masa lampau, jika diingat dan dikenang kembali memang membuat kita bahagia. Namun kebahagiaannya tidak seperti dulu lagi. Atau bahkan, boleh jadi terkalahkan oleh kesedihan, karena kita tahu itu semua hanya tinggal kenangan. Entah kapan akan kembali terulang.

Kerap kali kita berkesimpulan, lebih baik mengenang peristiwa yang menyakitkan; kesedihan, penderitaan, kemelaratan, hal-hal yang memalukan, ketimbang mengingat-ngingat peristiwa bahagia. Sebab, peristiwa yang menyakitkan di masa lampau itu terkadang sudah tidak menyakitkan lagi jika dikenang, karena memang kita sudah tidak hidup lagi di masa itu. Atau paling tidak telah berkurang sekian persen dari apa yang pernah kita rasakan dahulu.

Bahkan, tidak sedikit pula kenangan buruk, menyakitkan, dan memalukan yang membuat kita tertawa, teringat betapa bodohnya kita tatkala itu, betapa kekanak-kanakkannya kita saat itu.

Saya tidak pernah menyangka akan bertemu dengan orang-orang yang luar biasa. Tidak pernah terbesit akan bertemu dengan seorang ayah yang sangat sayang pada anaknya, seorang guru yang sangat sangat perhatian kepada muridnya. Atau persahabatan dalam sakit senang. Saya kira hal itu hanya ada pada cerita-cerita orang tua-tua kita tempo dulu. Tentang pengorbanan, perjuangan, kesungguhan, cinta dan kasih sayang yang tak akan pernah lekang oleh zaman. Namun ternyata masih ada di hari ini.

Srowo, sebuah desa yang jauh di luar dugaan. Bahkan, saya tak mengira di Gresik ada desa yang sedemikian adanya. Dahulu semasa sekolah, berulang kali saya membuka peta. Namun tak pernah mengira bahwa suatu hari nanti saya akan berlabuh ke tempat itu.

Enam tahun adalah waktu yang cukup untuk mengukir kenangan, tapi tak cukup panjang untuk mendulang semua yang ada di ma’had ini. Masih terlalu banyak yang belum saya gapai. Ma’had ini dengan segala kelebihan dan kekurangannya, menyimpan banyak harta yang hanya akan dirasa oleh mereka yang punya niat yang lurus dalam mencari kebaikan.

Kenangan selama mengeyam pedidikan di sini, terlalu sayang untuk dilupakan begitu saja. Jika di letakkan di benak saja tentu cepat lambat akan terkikis oleh masa. Oleh sebab itu, saya tuliskan kenangan itu dalam bentuk yang saya mampu. Masih banyak kekurangannya, terlalu banyak peristiwa yang belum sempat untuk di tulis. Namun sesuatu yang tak sanggup kita gapai semuanya, janganlah di tinggalkan seluruhnya.

“Dalam kenangan kami, saat kita harus tinggalkan jejak sebelum pergi”, itulah temanya. Tidak ada gading yang tak retak dan sebagaimana saya katakan di atas, bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan. Saya sangat berharap dan berbahagia jika suatu saat ada yang menyempurnakannya sehingga menjadi sebuah rekaman sejarah yang nyata. Semoga bermanfaat dan terima kasih untuk semuanya. Wassalam.

Srowo, 12 Jumada Tsaniyah 1438 H
Zahirman Edri Abu Zaid al-Minangkabawi


Dalam Kenangan Kami
Saat Kita Harus Tinggalkan Jejak Sebelum Pergi

Al-Furqon, sebuah pondok pesantren yang telah banyak melahirkan pejuang-pejuang dakwah. Sesuai dengan namanya yang bermakna pembeda, ia memang pada kenyataannya berbeda dari pondok-pondok yang lainnya. Kerasnya lingkungan dan keterbatasan justru menjadi hikmah tersendiri.

Hawa panas, air asin, nyamuk ganas adalah di antara ujian yang akan menyaring penduduknya. Memisahkan antara mereka yang benar-benar ingin mencari ilmu agama dengan mereka yang hanya punya semangat seadanya.

Saya masih ingat salah seorang dari rombongan Peduli Muslim Yogyakarta yang mengungkapkan kesalutannya kepada ma’had ini dengan mengatakan bahwa alumninya adalah orang-orang yang tahan banting sehingga tidak heran jika kita bisa menemukan mereka di daerah terpencil sekali pun.

Benarkah?? Ya, mungkin saja dan moga-moga……  
 
KEBERANGKATAN

Takdirlah pengantar kami
menapaki kaki di tanah ini;
kota santri sejuta wali
tempat kami merajut mimpi.
Kami datang dari berbagai pelosok negeri
bersama harapan dan semangat tinggi
dalam kerinduan berbalut sepi
demi apa yang kami cari
bekal hidup kami
sebelum dan sesudah mati.

Kami biarkan dunia dan gemerlapnya
Kesenangan dan indahnya masa muda
Ayah-bunda serta sanak saudara
Tanah kelahiran tempat kami berada
Dan semua kenangan indah yang kami punya
“Selamat tinggal…..”
Sementara atau selamanya…….

Jangan tanyakan apa yang kami rasakan,
Sakit perih yang kami tahan,
Kesedihan dan hancurnya perasaan,
Ketika datang hari perpisahan,
Waktu keberangkatan dan awal dari perjalanan.
Saat itu, tiada yang dapat mereka katakan
Selain ucapan:
“Selamat jalan, semoga selamat sampai tujuan.”

Mulai kami melangkah
Meski harus dengan terengah,
Walau harus bersama rasa payah.
Mengapa berat kaki ini? Teruslah….
Apa yang terjadi? Entahlah…..
Kami tak peduli, terus berjalan dan terserah.

Mengalir air mata
Jatuh dan menetes ke dalam dada.
Terbayang dan semakin nyata
Senyum kesedihan mereka;
Ayah, bunda, kakak, adik dan semuanya.
Tiada daya dan upaya
Hanya kepada Allah saja kami kadukan semuanya;
Duka nestapa yang melanda.

Tiap kali melewati perbatasan
Dan semakin jauh kami berjalan
Kian bertambah kesedihan.
Malam yang indah dan rembulan
Bintang gemintang yang bertaburkan
Tidak mampu untuk melenyapkan
Semua apa yang kami rasakan.

Ketika menulis bait ini, saya teringat dengan perkataan al-Imam Amir bin Syarahil asy-Sya’bi. Beliau pernah ditanya, “Dari mana engkau memperoleh semua ilmu ini, wahai Imam?” Ia menjawab:

بِنَفْيِ الاغْتِمَامِ، وَالسَّيْرِ فِي البِلاَدِ، وَصَبْرٍ كَصَبْرِ الحَمَامِ، وَبُكُوْرٍ كَبُكُوْرِ الغُرَابِ.

“Dengan membuang kesedihan, berkelana di berbagai negeri, bersabar seperti sabarnya merpati dan berpagi-pagi seperti burung gagak.” (Siyar A’lam an-Nubala’ 7/333-334)

Benar engkau wahai Imam, ucapanmu benar-benar terjadi….

KEDATANGAN

Sampailah kami dengan selamat
Jauhnya jarak dan tempat
Menjadikan badan basah berkeringat
Letih, lelah dan penat

Semua yang terlihat
Dan segala yang terlewat
Menjauh serta mendekat
Sudah cukup untuk merusak niat

Hari pertama di kampung orang
Semuanya asing dan tak dikenal
Yang ada tak seindah yang di bayang
Semangat jatuh patah sejengkal.

Tidak ada bangunan megah
Transportasi atau kendaraan mewah
Pekarangan serta taman-taman nan indah
Lantas apa?
Hanya ada tanah-tanah merekah
Hawa panas dan angin gerah
Srowo, negeri seribu matahari
Yang membuat kami harus berbagi keringat setiap hari.

Saat pertama adalah fase istimewa.
Berkenalan dengan segala yang berbeda.
Ada banyak hal yang tak biasa,
Belum terbayang dan tak terkira,
Tiada tergambar tiada terduga
Selama ini dan sebelumnya.

Terbit dan tenggelam sang mentari
Hari berganti….
Denting jam pun kian kencang berlari.
Maka terbangunlah kami
Dari semua mimpi
Yang selama ini melingkupi
Termangu dalam sendiri,
Tersadar di kala sepi,
Terjaga di saat sunyi.
“Inilah yang kami cari, inilah yang kami nanti,”
Gumam pelan sanubari kami
Bisik lembut hati ini.

Selamat datang kawan,
Selamat datang di tempat ini,
Selamat bergabung di pondok kami,
Di Ma’had al-Furqon al-Islami.

Ada yang bilang, penyesuaian diri dengan lingkungan yang baru itu adalah kelaziman, terlebih bagi para penuntut ilmu. Sebab, tanpa hal itu niscaya kita takkan pernah bisa bertahan.

Maka dari itu, mengambil ilmu dan belajar dari bunglon adalah salah satu keharusan. Kita harus bisa melebur bersama lingkungan yang ada agar senantiasa dapat berjalan. Terus melangkah dan jangan berkeluh kesah…..

MANDI

Mari lanjutkan kisah ini
dengan air mandi kami sehari-hari.
Jernih, segar dan menyejukkan
bagi nener, bandeng, udang dan mujair sekalian.
Rasanya pun cukup lumayan
meski tak setawar air kemasan.
Kalau boleh kami katakan,
ia adik tiri air lautan.
Sedikit asin, tapi mengagumkan.
Kenapa?
karena dapat menyembuhkan
panu, kudis dan kurap di selangkangan.
Jikalau mandi dengan sabun batangan,
jangan bingung dan jangan heran,
berapa pun usaha kau kerahkan,
betapa pun engkau usahakan,
namun yang si busa tetap enggan untuk berteman.
Ooo…maaf, ada yang sedikit kelupaan.
Cerita sebelumnya tak kalah menakjubkan.

Untuk mendapatkan semua ini
kita harus rela dan sabar menanti
mengantri bersama sekalian santri
di lorong kamar mandi yang tak pernah rapi.

Tapi ingat jangan kecewa,
berkecil hati dan bersempit dada.
Sering terjadi dan mungkin saja,
saat bosan mulai melanda
setelah lelah menunggu sekian lama,
pintu terbuka giliran tiba,
ditilik ke dalam ada yang beda,
ada apa?
kran diputar tapi ternyata
airnya tak menyala….
Habis sudah tak tersisa
Tinggallah kita bersama duka

Lantas tunggu apa lagi,
buat apa kita berlama-lama di sini,
nikmati saja hidup ini.
Ayo pergi…..! tak usah mandi,
nanti malam kita kembali.
Moga-moga sepi
Kita kan mandi sepuas hati

Dua puluh empat kamar mandi,
untuk ratusan pasang mata kaki.
Gelanggang perang bagi kami
pagi sore setiap hari.

Di sana kami belajar,
di situ pula kami ditempa.
Tentang pentingnya waktu dan sifat sabar,
bagi kami para pemuda.

Itulah ladang pembekalan,
gudang penyimpanan kebutuhan,
tempat pelatihan dan persiapan
untuk kami di masa depan.

Tumbuh subur tanamannya,
beragam bentuk serta warnanya,
senda, gurau, canda dan tawa,
marah, jengkel serta kecewa.

Jika Anda pernah mendengar cerita bahwa orang mandi hanya satu kali dalam sepekan, mungkin itu berlaku di daerah yang punya tingkat kesejukan dan hawa dingin yang tinggi. Tapi, saran saya jangan pernah Anda lakukan jika bermukim di al-Furqon. Sebab, jika Anda pernah mendengar bahwa orang justru sudah gerah kembali ketika handukan selesai mandi, maka di sinilah tempatnya.

KELAS

Pukul tujuh kurang seperempat
tapi seringnya jam tujuh tepat
waktu Srowo bagian barat
berbondong-bondonglah kami berangkat
menuju tempat kami bertambat
yang setiap tahun berpidah tempat.
Ada yang sampai dengan cepat dan selamat,
tapi tak sedikit pula yang tersangkut dan terlambat.
Kalau tempat duduk hukumnya hukum mubahat;
siapa cepat dia dapat

Kelas kami sangat luar biasa,
tanpa merek dan papan nama,
tempat belajar yang sederhana
biasanya di masjid atau mushalla.
Pernah juga, dua tahun lamanya
di ruangan pengap tanpa jendela.
Ada AC-nya? Jangan ditanya,
karena memang bukan hotel bintang lima,
kami tak punya,
hanya ada satu kipas saja,
satu kipas inilah untuk semua..
Segala bau di diaduk rata
Keringat, kentut, bau mulut dan seterusnya..
Kita nikmati bersama…
Kebersamaan, memang hal yang luar biasa….

Ustadz kami tercinta datang segera
dengan muka seri merona
lalu duduk di singgasana
Layaknya raja, hanya saja
tanpa kursi cuma meja
itu pun tidak ada alasnya.

Duduklah ustadz duduk bersila,
di atas lantai dan biasanya
tanpa alas atau hanya
sajadah usang yang sudah tua.

Kitab dibuka mulailah beliau angkat bicara,
dengan segala puji dan puja
untuk Allah tuhan semesta
shalawat dan salam tiada lupa pula
bagi Nabi kita Muhammad al-Mushthafa.

Suatu ketika seorang ustadz melintasi kelas kami. Sambil bercanda ia berceletuk : “Ini kelas atau pedepokan silat?” Karena kondisi belajar kami lesehan, membuat kaki, pinggang dan punggung menjadi cepat kaku. Sehingga tidak butuh waktu lama untuk membuat kami menganti posisi duduk dengan gaya yang bermacam-macam seperti orang-orang yang sedang pemanasan sebelum latihan karate.


NGANTUK

Setengah jam berjalan,
itu pun sudah kelamaan.
Mulai tampak kemunculan
isyarat awal pertunjukan.
Bukan, bukan…
ini adalah musibah kami sekalian,
atau mungkin juga sebagian.

Jangan tertipu atau terlena
apalagi sampai terperdaya.
Mari lihat dengan seksama!
Ada di belakang di depan juga,
di kiri atau kanan sama saja,
di tengah? Juga sepertinya…

Kepala yang tegak mulai merunduk,
punggung yang lurus mulai membungkuk.
Suasana tenang perasaan khusyuk
hanya suara ustadz yang merasuk,
atau… irama kipas yang krasak-krusuk,
kian lama bertambah takluk.
Pelajarannya? mungkin tak masuk,
Kenapa? karena masing-masing sedang sibuk
menopang kelopak mata yang lapuk.
Ya, ini dia musibah mengantuk,
membuat kami mengganti tajuk
menjadi: “Lomba tidur sambil duduk.”

Kami sadar dengan dalam,
ketika mata mulai terpejam,
akan kedatangan musuh nan bengis lagi kejam,
utusan raja para pendendam,
pimpinan tertinggi penduduk Jahannam;
Iblis, yang takkan pernah diam,
ia akan senantiasa mengintai dan siap menikam,
menyerang dan menerkam,
menerjang, menghantam dan menghujam,
dengan semangat tak pernah padam,
dengan kesabaran serta dendam
yang tak bisa diredam.
Punya sejuta cara bermacam-macam,
menguasai tipu daya yang beragam.
Semua itu akan dikerahkan dalam
menyeret anak cucu Adam,
agar luput dari ketaatan kepada Tuhan semesta alam,
atau menuju kesesatan yang kelam,
laksana malam hitam legam.

Segala obat telah kami ramu,
penangkal mata yang mudah layu.
Mulai dari pijat, sambal, dan jamu,
sampai mandi, push-up, dan tidur dahulu,
Tapi tetap saja semua itu
tidak bisa dan belum mampu
mengenyahkan musibah kami yang lalu.

Jangan cela dan pojokkan kami,
atas apa yang terjadi.
Semua itu bukan kehendak hati
bukan pula keinginan diri.
Ini medan, medan pertempuran.
Kalah dan menang bergantian.
Kami terus berusaha untuk bertahan
meskipun sering kali dikalahkan.
Kisah ini kami ceritakan,
agar diambil pelajaran,
sekaligus kami ingin menunjukkan,
beratnya cobaan dan banyaknya rintangan,
di sepanjang jalan menuju kebahagiaan.


Ingat kita dengan sabda Nabi:

حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ

“Surga diliputi oleh sesuatu yang dibenci sedangkan neraka diliputi oleh syahwat.” (HR. Muslim: 7308)

Dan perkataan Imam Ghazali:

“Apabila suatu tujuan teramat suci dan mulia, sukarlah jalan yang harus ditempuh dan banyaklah penderitaan yang akan ditemui di tengah jalan.”

ANTARA DAHULU DAN SEKARANG

Dahulu awalnya,
60 orang kami tak kurang.
Namun bertambah hari semakin lekang.
Seribu satu sebab dan penghalang.
Satu terbang yang lain pulang.
Sisanya berangsur-angsur menghilang.
Satu persatu kami tumbang.
Pergi melayang,
baik di waktu pagi ataupun di waktu petang,
atau bahkan saat malam sehitam arang.

Memang… Malang melintang.
Awal mula tiada berbilang,
cita-cita setinggi bintang.
Semangat luar biasa garang,
bagaikan kuda-kuda perang
yang tak gentar sabetan pedang.
Siap menyerang dan menerjang,
menyeruak masuk ke tengah gelanggang.

Namun sayang seribu sayang,
ketika cobaan mulai datang,
saat ujian mulai menghadang,
yang tadi pedang jadi parang,
sebelumnya kopi jadi rebusan bawang;
lunak, lembek dan tak bertulang.
Awalnya elang jadi belalang,
hiu berubah jadi udang.
Surut mundur ke belakang,
pontang-panting tunggang-langgang.
Kelas yang sempit jadi lapang,
karena sekarang….
Hanya ada 17 orang saja.

Suatu ketika, di tengah lautan dalam perjalanan ke Pulau Seribu Masjid dengan menumpang kapal Legundi, saya menemukan suatu ungkapan yang dahulu pernah diucapkan oleh al-Imam Ibnu Mubarak persis berkaitan dengan cerita kita di atas. Beliau menuturkan:

خَرَجْتُ أَنَا وَاِبْرَاهِيْمُ بْنُ أَدْهَم مِنْ خُرَاسَان وَنَحْنُ سِتُّوْنَ فَتًى نَطْلُبُ العِلْمَ مَا مِنْهُمْ آخِذٌ غَيْرِيْ

“Aku dan Ibrahim bin Adham keluar dari kota Khurasan, kami berjumlah 60 orang pemuda untuk menuntut ilmu. Tidak ada yang mendapatkan ilmu selain aku.” (Hilyah al-Auliya’ 7/369)

Dari ucapan beliau tersebut, dapat kita pahami bahwa tersingkirnya para penuntut ilmu dari jalannya tidak hanya terjadi di zaman kita saja, tetapi sudah ada dari zaman dahulu kala.

ANGGOTA KELAS

Di kelas kami ada tiga
Bukan kasta bukan apa-apa
Hanya letingan umur saja
Ada golongan tua
Ada golongan muda
Dan ada pula golongan di antara keduanya

Golongan tua adalah udamasbangkak kita
Orang-orang yang sudah berkepala tiga
Atau yang mendekatinya
Kalau mereka berjumpa
Dan saling beradu kata-kata
Sudah bisa ditebak tema apa
Apa lagi kalau bukan urusan qobiltu nikahaha
Karena memang sudah waktunya
Atau mungkin hampir kadarluarsa
Betul sudah ada pula di antara mereka
Yang telah menjalaninya
Bahkan ada yang sudah beranak dua
Tapi itu bukan penghalang nyata
Untuk ikut angkat bicara
Sebab, dalam agama kita
Sampai empat pun boleh juga

Kakak pertama kita
Bang Zubair Supratman namanya
Dari wajah dan gaya bicara
Pada awalnya saya kira ia orang Jawa
Namun jelas salahnya
Karena ternyata ia orang Bima
Jangan salah, beliau ini juga anggota KPK
Bukan Komisi Pemberantasan Korupsi
Tapi Komunitas Peternak Kambing

Kakak kedua Abu Ismail
Itulah yang biasa kami panggil
Sebenarnya Syafrizal nama aslinya
Orang awak jua
Tapi besar dan tinggal di Pekanbaru
Negerinya orang-orang Melayu

Yang ketiga Abu Abdillah
Lahir dan besar di Jakarta
Di Bangka pun pernah, tapi kerja
Dan akhirnya hidup bersama kita
Nama aslinya Nofri Endri
Darahnya darah Minang
Di Solok sana rumah gadangnya

Setelah uda kita tadi
Mas Ratam namanya
Ada pepatah dalam hal ini:
“Tidak ada rotan kayu pun jadi
Tidak ada Ratam, Abu Ayyub pun jadi”
Bayumas kampung halamannya
Masih bagian dari pulau Jawa

Mas Syam kami memanggilnya
Tapi baunya wangi tidak masam
Abu Yasir Muh Syamsuddin tepatnya
Duduk di depan sering bertanya
Dengar-dengar orang sunda
Tapi tidak ada tanda-tanda
Katanya dari Indramayu
Tapi Indramayu itu masuk mana?
Sunda apa Jawa?
Jika anda pernah mendengar cerita
Tentang manusia-manusia kompor dunia
Dialah salah satunya.
Awas, nanti bisa terbakar…..

Selanjutnya Tengku Azmi namanya
Kabarnya berdarah biru keturunan raja
Dari daerah Selat Panjang sana
Selat Panjang itu di Sumatera

Itulah kakak-kakak kita
Semuanya masih pejaka
Kecuali dua orang saja
Kakak pertama dan kedua

Kemudian golongan pertengahan
Mereka yang kelahiran antara sembilan puluhan
Sampai sembilan puluh tiga-an

Dari Madiun ia berhembus
Kami panggil ia pak Agus
Bergabung bersama kami dahulu
Saat kami di Ali satu

Selanjutnya Abu Fauzan
Dari Jember, tapi pernah di Kalimantan
Kalau mau beli pulsa
Sama abu Fauzan saja
Anda tidak akan kecewa
Karena murah dan boleh hutang juga

Yang ini teman istimewa kita
Penulis dan pecinta sastra
Namanya Luki tapi biasa
Abu Tholhah kami memanggilnya
Ia datang dari Sambas sana
Perbatasan dengan Malaysa

Selanjutnya urutan saya
Tapi sepertinya tak ada lebihnya
Selain satu saja yaitu sekampung dengan Buya HAMKA

Dari lereng gunung Sumbing
Teman kita yang satu ini terlanting
Panggil saja Cak Rul
Abu Ammar boleh juga

Memasuki golongan muda
Dengan semangat jejaka
Dunia akan lambat tanpa mereka
Mereka kuat
Mereka giat

Muh Jundi al-Faruqi
Pendekar sakti dari Kediri
Setelah itu Mukhlis Ali
Spesialis bagian konsumsi
Bahana Syair Adil
Darah muda dari Bekasi
Imam kita Imam Solihin
Dari Ponorogo datangnya

Jika imam kita imam solihin
Turun Rahmat setelahnya
Rahmat Supriadi ini dari Riau
Terakhir tinggal satu nama
Ashim Abdurrahman, dari Medan lah Bang….

Banyak manusia yang ingin namanya dikenal banyak orang. Oleh sebab itu tak heran mereka tanpa sungkan menuliskan namanya di batu-batu besar tempat wisata, tembok-tembok taman kota, jok bis kota atau di dinding kamar mandi kereta.

Mereka lupa, bahwa tulisan di tempat-tempat tersebut akan cepat sirna, akan terhapus oleh hujan, panas dan perjalanan masa. Padahal ada satu tempat yang lebih layak dan lebih tahan lama yaitu di dalam hati-hati manusia.


Maka ukirlah nama Anda di hati manusia dengan berbuat baik kepada mereka.

MASJID

Jami’ Sulthan adz-Dzakari,
itulah nama masjid kami.
Tempat sujud kami sehari-hari,
beribadah dan mendekatkan diri.
Di sana tempat belajar kami,
di situ pula kami mengaji.
Duduk mendengar petuah ilahi,
agar kami dapat selamat di hari nanti.

Banyak waktu kami habiskan di sana.
Mulai saat kami baru saja
membuka mata dan cakrawala,
sampai di akhir dan penghujungnya;
saat lelah mulai terasa,
ketika kantuk telah melanda,
manusia telah lelap dalam tidurnya.

Masjid ini,
saksi bisu semangat santri
bersama kami yang masih sempat mendapati,
mengecap-merasai dan mencicipi,
waktu-masa serta hari-hari,
semarak semangat belajar yang tinggi.

Di saat malam hari tiba,
masjid dengan senang menerima,
kedatangan ratusan pasang mata
dengan buku dalam pangkuannya.
Halaqah belajar di mana-mana,
di setiap sudut dan bagiannya;
di teras atau ruang utama,
lantai dasar atau lantai dua.

Berbagai ilmu di bahas,
berjilid masalah dikupas.
Tanpa peduli jarum jam,
tanpa hiraukan jalannya malam.
Tak sadar dan tak terasa,
ternyata sudah pukul dua belas saja.

Kala itu,
masih banyak santri baru,
dengan kemauan dan semangat menggebu.
Berpadu,
dengan banyaknya kakak kelas,
yang siap membimbing dengan ikhlas.
Tak kenal waktu dan lelah,
melebur dalam suasana yang indah,
walaupun mereka tiadalah,
memiliki hubungan nasab dan darah.

Saat bait ini ditulis,
dua hal yang takkan terkikis.
Senantiasa ada dalam ingatan,
satu sedih yang lain senyuman.

Hal pertama di sinilah adanya,
kumpulan suara luar biasa
Bergemuruh hebat tiada dua,
bagaikan lebah bersama dengungannya.
Suara itu lantunan al-Qur’an,
bersumber dari ratusan lisan.
Lima waktu kita dengarkan,
antara adzan sampai shalat didirikan.

Benar…inilah salah satunya,
kebiasaan baik yang masih ada,
dan moga-moga berlanjut untuk seterusnya.
Namun ketika,
teringat waktu kami sudah tak lama,
datanglah sedih dan duka cita.
Karena kami akan kehilangannya,
dan belum tentu ada gantinya.

Hal kedua membuat kami heran,
jengkel sekaligus menggelikan.
Sepertinya hanya ada di masjid al-Furqan,
pada setiap shalat jama’ah yang dilaksanakan.

Shaf yang rapat dan lurus
bisa saja tiba-tiba putus.
Menyisakan celah yang bisa ditembus
oleh musuh yang punya sejuta jurus.

Haruslah kita berjalan,
ke depan ke kiri atau ke kanan,
untuk menambal kebocoran,
serta mempertahankan kekhusyukan.

Tapi, celah itu banyak dan sering sekali,
sehingga shalat jama’ah pun menjadi
seperti gerak jalan pada HUT RI.

Rakaat pertama di shaf kelima,
selesai salam sudah ternyata,
di shaf terdepan yang pertama.
Inilah yang membuat kita,
tersenyum sambil menggelengkan kepala.

Kelak akan terbayang di mata.
Barisan rapi al-Qur’an di raknya,
mimbar kecil yang sederhana,
coklat tua dengan dua tangga,
lantai marmer dan pengeras suara,
kipas angin serta lampunya,
dinding-jam dan tiang penyangga,
mihrab-meja pintu dan jendela.
Semua…
akan tinggal kenangan saja,
terkubur bersama kisah lainnya.
Dan suatu hari nanti,
akan menjadi sebab kesedihan hati.
Karena terkadang,
“Bukan kenangan buruk yang membuat kita bersedih, tapi kenangan indah yang kita tahu hal itu tak akan terulang kembali….”

Duhai masjid kami,
ke manakah akan kami cari?
Akankah semua ada ganti?
Engkau dengan kesederhanaanmu,
keterbatasan dan kekuranganmu,
adalah kenangan terindah,
padamu tersimpan berjuta kisah,
beribu riwayat dan sejarah.
Yang akan tetap ada,
pada ingatan kami semua.
Akan terus mengalir deras,
dalam darah-nadi dan nafas.

Namun memang seringnya,
tatkala kita masih bersama,
tiada keelokanmu terasa.
Semua yang ada hanya,
keluh kesah dan pengaduan saja.
Tidak pernah ada habisnya.
Kelebihanmu seakan sirna,
mata seolah buta,
panca indra sudah tak peka,
yang tampak hanya cacat-kurang dan cela.

Lantaimu yang berlubang,
lampumu yang kurang terang,
suara spekermu yang sering hilang,
kipas anginmu yang membuat risih,
jam-jam dindingmu yang sering berselisih
atau hawa sejukmu yang tak pernah berlebih.

Namun harus kami sadari,
dari lubuk terdalam sanubari.
Itu semua hanyalah ucapan mulut kami
Yang tak tahu diri ini
Karena jauh dari relung hati
Engkau adalah masjid tercinta yang kami miliki
Tempat terindah yang pernah kami singgahi

Banyak di antara kita yang telah menjadikan masjid bagian dari hidupnya. Ketika hendak beristirahat dalam perjalanan, yang pertama kita cari bukan hotel berbintang, tapi hotel bulan bintang (masjid). bahkan kita kerap kali kecewa, sebab masjid-masjid di zaman ini di banyak daerah di negara kita seringnya dikunci. Hanya dibuka ketika waktu-waktu shalat saja. Padahal kita merasa sangat nyaman jika berada di dalamnya.

Tapi tak mengapa, tak usah bersedih hati mudah-mudahan kita bisa masuk dalam sabda Nabi:

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ …… وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ……

“Tujuh golongan yang akan dinaungi Allah pada hari tidak ada naungan selain naungan-Nya: (di antaranya)… seorang yang hatinya terpaut dengan masjid…” (HR. Bukhari: 660)

Katakan: Aamiiin….!!!

SELAMAT TINGGAL

Perputaran waktu- pergantian hari
entah kenapa serasa cepat sekali
Seakan baru kemarin lusa terjadi
kedatangan kami di pondok ini
Sekarang dipenghujung cerita
kesempatan kami sudah tak lama
Hanya menungu waktunya tiba
saat kami tinggalkan semua
Tahukah engkau apa yang kami rasa?
Gelegak kuat dalam dada
Sedih, kalut dan bahagia
Melebur menjadi satu warna
Kami pun tak tahu namanya apa
Kata yang tepat tidak ada
Tapi yang jelas itu semua
Beban berat yang kami bawa
Suara tak bisa lantang
Mulut bagai terkekang
Hanya bisa isyarat mata
Dengan linangan air dipelupuknya
Masih ingat terkenang
Masih jelas terbayang
Dahulu pernah kita
Satu sampan bersama
Badai kita lalui
Gelombang kita lampaui
Sampai pelabuhan yang terakhir
Kita pun tidak terlalu khawatir
Karena atap masih satu
Gerak langkah masih padu
Namun kita tak mampu tepiskan
ketetapan takdir yang berjalan
Akhirnya biduk tertumbuk
Dayung pun telah tertumpuk
Kita kan berpisah
kami kan melangkah
Ingat-ingatlah kami
yang pernah hidup di tempat ini
Kenang-kenanglah kami
yang pernah ada di kisah ini…

Saya pribadi, merasa payah ketika harus menuliskan bagian yang ini. Memang perpisahan adalah suatu yang membuat kita bersedih, tapi ia juga kelaziman. Oleh sebab itu, sambil menahan kesedihan kedua saya tambahkan haturan permohonan maaf kepada Anda yang mengenal saya dan siapa saja yang pernah saya sakiti. Kita tak ingin melangkah dengan dendam yang masih terukir di dalam hati. Maafkanlah…….

JANGAN LUPAKAN

Kita takkan pernah tahu… 
Akan berjumpa dengan siapa dalam hidup ini
Orang-orang datang silih berganti 
Sebagian kecil mereka 
ada yang punya tempat di hati kita 
Dan sisanya akan segera terlupakan begitu saja
Di antara mereka yang punya tempat itu 
adalah handai tolan; sahabat karib sekatiduran
Saya adalah orang yang berbahagia 
Dapat berkenalan dengan mereka. 
Sakit senang kami lalui 
berbagai cobaan kami lampaui
Memang tak banyak yang dapat bertahan hingga akhir perjalanan…. 
Karena sebab yang bermacam-macam 
Meski hanya tersisa tujuh belas orang, tapi itu bukan penghalang buat melanjutkan perjuangan.
Kawan…..
Saya tak tahu kelak engkau kan jadi apa 
Tapi saya hanya punya harapan 
Engkau akan senantiasa 
Menjadi pembuka kebaikan dan penutup keburukan. 
Jika suatu hari nanti engkau jadi orang besar, jangan lupakan saya. 
Dan jika engkau menengadahkan tangan untuk berdo’a meminta surga, sertakan juga saya di dalamnya. 
Semoga kita dapat berjumpa kembali di sana. Amin.    

Kawan, andaikata kita memang harus terpisah oleh ruang dan waktu, saya harap kita tetap satu dalam tujuan. Dimanapun kita berada mudah-mudahan kita bisa menjadi pembuka kebaikan dan penutup keburukan. Sebab Nabi kita pernah bersabda:

 فَطُوبَى لِعَبْدٍ جَعَلَهُ اللَّهُ مِفْتَاحًا لِلْخَيْرِ مِغْلَاقًا لِلشَّرِّ

“Beruntung seorang hamba yang dijadikan Allah pembuka kebaikan dan penutup keburukan.” (HR. Ibnu Majah)

Semoga saja, kita termasuk ke dalamnya….Aamiiin.

SEPATAH DUA KATA UNTUK ENGKAU YANG KAMI CINTA (Naskah Perpisahan)


 الله الرحمن الرحيم الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، أما بعد.

Segala puji hanya untuk Allah subhanahu wa ta’ala, Rabb yang telah menciptakan alam semesta dengan hikmah yang luar biasa. Yang telah menciptakan segala sesuatunya berpasang-pasangan.

Dia-lah Allah yang menciptakan siang dan malam mentari dan rembulan, tua-muda laki-laki dan perempuan. Allah-lah yang telah menakdirkan segalanya. Ada yang miskin ada yang kaya, ada yang hidup juga ada yang meninggal dunia. Dan Ia pula yang telah menetapkan perjumpaan serta perpisahan.

Shalawat dan salam kita haturkan kepada penghulu anak cucu Adam; Nabi kita Muhammad shalallahu alaihi wa sallam. Kepada keluarga dan sahabat-sahabat beliau, serta orang-orang yang menempuh jejak langkah mereka hingga hari yang ditentukan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Yang kami hormati, yang kami cintai serta kami sayangi, guru-guru sekaligus orang tua kami; para asatidzah yang tidak kami sebutkan satu per satu.

Yang kami muliakan kakak, adik serta teman-teman kami yang seiman, senasib, dan seperjuangan.

Izinkanlah kami mewakili teman-teman kami di kelas ALI 3, menyampaikan sepatah dua kata di kesempatan yang berbahagia ini, dihari nan cerah ini, saat banyak hati sudah tak sabar lagi melangkahkan kaki. Menuju ayah-bunda, sanak-saudara, disana dirumah kampung halaman yang tercinta setelah berpisah sekian lama.

Takdirlah yang telah mengantarkan kami ke tempat ini. Menapaki kaki di tanah yang dikenal dengan kota santri negrinya para wali.

Sebelumnya, tidak pernah terbesit, tidak pernah terlintas di hati dan pikiran kami bahwa ma’had ini  akan mengambil bagian dalam kisah perjalanan hidup kami.

Kami yang datang dari berbagai pelosok negeri. Keluaran dari berbagai latar belakang dan profesi. Diberikan hidayah oleh Allah, dikumpulkan di ma’had yang penuh berkah. Yang penuh dengan hal yang luar biasa dan menakjubkan, penuh dengan pelajaran dan teladan.

Di sini kami belajar…
Di sini pula kami ditempa,
Tentang pentingnya waktu dan sifat sabar
Bagi kami para pemuda.

Tempat ini adalah ladang penyemaian,
Gudang pembekalan, 
Tempat pelatihan dan persiapan
Untuk kami dimasa depan.

Tumbuh subur tanamannya,
Beragam bentuk serta warnanya.
Sakit sedih dan derita,
Canda tawa dan bahagia.

Di sinilah kami menyadari siapa diri ini. Siapa penciptanya dan apa kewajiban yang harus ditunaikan kepada penciptanya itu. Di sinilah kami mengenal hakikat kehidupan, di sini pula kami mengetahui tujuan akhir perjalanan. Mata yang dahulu buta sekarang mulai terbuka. Kami yang dahulu tertidur akhirnya pun mulai terjaga.

Oleh karena itulah, semua takdir ini adalah satu hal yang wajib senantiasa kami syukuri, ini adalah nikmat besar yang tidak dirasakan oleh setiap orang. Kepada Allah kami bersyukur, karena Allah masih menginginkan kebaikan pada diri kami.

مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ

Barang siapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, Allah pahamkan ia dengan agama-Nya (HR. Bukhari: 71 Muslim: 1037)

Sebagai bentuk pengamalan dari sabda Nabi:

لاَ يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ

“Tidak dikatakan bersyukur kepada Allah, seorang yang tidak beryukur dan berterima kasih kepada manusia.”

Maka, izinkanlah kami untuk mengatakan :

Kepada engkau, wahai guru-guru kami……
Engkau adalah pahlawan di medan juang…
Engkau adalah pelita dalam kegelapan…
Engkau bintang gemintang saat perjalanan…
Engkaulah sosok mulia dalam cerita kehidupan…

Dahulu kami adalah ulat. Yang merusak dedaunan, membusukkan buah-buahan, membuat gatal setiap tangan yang menyentuhnya, membuat jijik mata yang memandangnya. Kedatangan kami membuat banyak orang berduka cita, kepergian kami adalah suka ria yang harus disambut bahagia. 
Namun, setelah hidayah dan pertolongan Allah, engkau tunjuki dan engkau bimbing kami, hingga kami pun berubah menjadi kupu-kupu nan indah. Setiap bunga akan menanti kedatangan kami, berjuta mata akan berbahagia menyambut kehadiran kami.

Dahulu kami adalah air di atas dedaunan. Terombang-ambing oleh angin serta hembusan. Kami tidak punya pendirian, kami tidak punya pegangan. Lantas engkau pidahkan kami ke dalam gelas, engkau ajari kami hakikat kehidupan.

Dahulu kami adalah sobekan kertas. Sampah yang tak bernilai, terlantar dan terbuang, berserakan di jalanan, ditelan habis oleh pergaulan, tersisihkan dari lingkungan. Tapi kemudian engkau pungut kami, engkau daur ulang kembali, hingga kami pun punya nilai hari ini.

Apa yang akan kami berikan kepada engkau wahai guru-guru kami…?? 
Dunia dan seisinya tak sebanding dengan jasa engkau pada kami. 
Segunung emas tak sepadan dengan hakikat tauhid yang telah engkau ajarkan kepada kami. 
Selembah mutiara tak cukup mengganti jerih payahmu, tidak akan mampu membeli kesabaran, kesederhanaan serta ketulusanmu…

Engkaulah pahlawan tanpa tanda jasa. 
Engkau tidak mengharapkan balasan dan ucapan terima kasih manusia.. 
Karena engkau telah korbankan jiwa dan ragamu untuk Allah dan agama-Nya.
Lantas apa yang dapat kami lakukan?
Apa yang bisa kami berikan? 
Sedangkan kami lemah tak berdaya… 
Kami pun papa dan tak punya apa-apa...

Maka, tidak ada yang dapat kami lakukan selain mengucapkan terima kasih dari lubuk hati yang terdalam. Tidak ada yang bisa kami berikan selain do’a keikhlasan, semoga Allah ta’ala membalas jasa-jasa engkau dengan surga-Nya, mengampuni dosa dan kesalahan engkau, memberkahi setiap urusan engkau serta mengumpulkan engkau bersama orang-orang yang dicintai-Nya; hamba-hamba pilihan-Nya yang telah Ia beri nikmat dari para nabi, para shiddiqin, para syuhada’ dan orang-orang shaleh.

Harus kami akui, jujur kami sadari…
Betapa banyak kesalahan kami padamu, wahai guru-guru kami…
Tingkah laku dan perbuatan kami, seringnya membuat engkau mengelus dada…
Atau bahkan meneteskan air mata…
Setiap hari kami tambahkan beban pikiranmu…
Setiap hari kami rampas waktu dan kesempatanmu…
Padahal engkau memiliki kehidupan pula…
Engkau memiliki anak, istri dan keluarga…
Engkau mempunyai tanggung jawab yang lainnya…
Maka maafkanlah kami, wahai guru-guru kami…
Siramilah kami dengan samudra kemaafanmu…
Jangan jadikan ini penyebab datangnya murka Allah pada kami…
Hingga kami pun hancur berkeping-keping tak menentu…
Semua itu.. 
karena kebodohan kami.
Semua itu… 
karena kelalaian serta ketidakdewasaan kami.
Oleh karena itu..
Maafkanlah kami, wahai guru-guru kami…

 اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِجَمِيْع أَسَاتِذَتِنَا، وثَبِّت أَقْدَامَهُمْ، وَاشْرَحْ صُدُوْرَهُمْ، وَبَارِكْ لهم في دِيْنِهِمْ وَ دُنْيَاهُمْ، اللهُمَّ ثَقِّلْ مَوَازِنَهُمْ، وَ اجْمعُهُمْ مَعَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّين وَ الصِّدِّيْقِين وَ الشُّهَدَاء وَالصَّالِحين.....

Kemudian selanjutnya kepada kakak-kakak, adik-adik, teman-teman, serta siapa saja yang kami kenal yang tidak kami sebutkan satu per satu.

Layak pula kami ucapkan terima kasih banyak kepada antum sekalian. Antum adalah saudara sekaligus sahabat kami. Maka untukmu wahai saudara-saudara kami, dengarkanlah bisikan sanubari kami ini :

Sahabat….
Engkau punya tempat di hati kami…
Engkau adalah penghibur lara ini 
Penguat langkah kaki kami…
Engkau raih tangan kami tatkala kami hampir jatuh ke jurang keputusasaan…
Engkau nyalakan kembali semangat kami yang mulai padam…
Engkau hibur hati kami saat gundah gulana datang menghantam…
Engkau temani kami ketika kami kesepian…
Engkau kuatkan kami saat kami lemah…
Engkau teguhkan kami saat kaki kami mulai goyah…
Engkaulah yang menyuapkan nasi, menuangkan air ke mulut ini, saat kami ditimpa sakit…
Engkau pulalah yang meminjamkan uang kepada kami, saat kami kehabisan bekal…
Walaupun terkadang engkau pun juga membutuhkan…

Lalu dengan apa hendak kami balas semua itu…??
Kami berhutang budi padamu… 
Hanya do’a yang dapat kami hadiahkan untukmu…
Karena hanya Allah yang mampu membalas banyaknya kebaikanmu…
Maafkanlah kesalahan kami……
Mulut kami yang sering menggores hati…
Sikap kami yang acap kali menyakiti…
Tangan kami yang ringan atau sekadar bermuka masam…
Maafkanlah kami, wahai saudara-saudara kami sekalian….

Sekarang…
Tak terasa lima tahun sudah kami di sini. 
Dengan susah payah kami lalui onak dan duri.. 
Hingga kami pun mampu mengukir sejarah hidup kami…

Perputaran waktu-pergantian hari
Entah kenapa serasa cepat sekali
Seakan baru kemarin lusa terjadi
Kedatangan kami di pondok ini

Sekarang di penghujung cerita
Kesempatan kami sudah tak lama
Hanya menungu waktunya tiba
saat kami tinggalkan semua

Tahukah engkau apa yang kami rasa?
Gelegak kuat dalam dada
Sedih, kalut dan bahagia
Melebur menjadi satu warna
Kami pun tak tahu namanya apa
Kata yang tepat tidak ada
Tapi yang jelas itu semua
Beban berat yang kami bawa

Suara tak bisa lantang
Mulut bagai terkekang

Hanya bisa isyarat mata
Dengan linangan air di pelupuknya

Masih ingat terkenang
Masih jelas terbayang

Dahulu pernah kita
Satu sampan bersama

Badai kita lalui
Gelombang kita lampaui

Sampai pelabuhan yang terakhir
Kita pun tidak terlalu khawatir

Karena atap masih satu
gerak langkah masih padu

Namun kita tak mampu tepiskan
Ketetapan takdir yang berjalan

Akhirnya biduk tertumbuk
Dayung pun telah tertumpuk

Kita kan berpisah
Kami kan melangkah

Ingat-ingatlah kami
Yang pernah hidup di tempat ini

Kenang-kenanglah kami
Yang pernah ada di kisah ini…

Memang, terlalu cepat kami mengucapkan kata perpisahan sedangkan kami masih punya waktu satu tahun ke depan. Namun satu tahun itu bukanlah waktu yang lama, ia akan belalu tanpa terasa.

Hari ini, kami laksana penyu-penyu kecil yang baru saja menetas. Di hadapan kami terhampar luas samudera lepas, gelombang ganas dan pemangsa-pemangsa buas yang siap menerkam, menggulung habis kami sekalian.

Di luar sana, fitnah dunia bagai potongan malam gelap gulita. Yang akan menyesatkan setiap orang yang berjalan tanpa cahaya. Ada banyak ujian yang mungkin saja tidak ada di zaman guru-guru kami dahulu, namun sekarang tumbuh subur bagai jamur di musim penghujan.

Tawaran fasilitas adalah musibah tersendiri bagi kami..
Menggetarkan lutut dan jari-jemari…
Kami khawatir kami tak berdaya …
Kami takut seandainya itu menimpa…
Hingga kami lupa…
Dan kami pun tersungkur dalam petaka… 
Hati yang lemah ini dihadapkan pada berbagai macam godaan..
Kemudahan dan kemegahan dunia ada di ujung lisan ..
Tinggal mengatakan: ”Ya, saya terima…” akan sulit mempertahankan
Kesederhanaan yang selama ini kami perjuangkan.

Belum lagi fitnah perpecahan dalam barisan penyeru kebenaran. Yang bermula dari hawa nafsu keduniaan. Membutakan banyak da’i, menghilangkan banyak hati nurani. Sampai seorang murid tega mendiamkan gurunya, seorang anak lancang mencela orang tua yang telah mendidik dan membesarkannya.

Fitnah-fitnah itu tentunya akan kami selami, ujian-ujian itu cepat atau lambat akan kami jumpai. Oleh karena itu,

Do’akanlah kami, agar kami tetap teguh dalam agama ini…
Do’akanlah kami, agar langkah kaki kami tak keluar dari jalan ini…
Do’akanlah kami, agar hidayah Allah tetap di hati kami…

يا مقلب القلوب ثبت قلوبنا على دينك، يا مصرف القلوب صرف قلوبنا على طاعتك، ربنا أفرغ علينا صبرا وثبت أقدامنا وانصرنا على القوم الكافرين،اللهم لا تجعل مصيبتنا في ديننا ولا تجعل الدنيا أكبر همنا ولا مبلغ علمنا،اللهم باركنا في علمنا و وقتنا و جميع أمورنا، واجعلنا مباركا أينما كنا، واجعلنا مفتاحا للخير و مغلاقا للشر،ربنا آتنا في الدنيا حسنة و في الأخرة حسنة و قنا عذاب النار.
وصلى الله على نبينا محمد و على آله و صحبه و سلم.السلام عليكم و رحمة الله و بركاته.

Ditulis oleh:
Zahirman Edri Abu Zaid al-Minangkabawi
Srowo, 18 Ramadhan 1437 H

Tulisan ini adalah naskah perpisahan yang disampaikan oleh penulis sendiri pada acara perpisahan akhir tahun dan penerimaan raport di hadapan seluruh pengajar dan santri ma’had al-Furqon dari berbagai marhalah di masjid Jami’ Sulthan adz-Dzakari pada tanggal 20 Ramadhan 1437 H. 

MELANGKAH MAJU MENATAP MASA DEPAN (Topik Utama Majalah Alwaan Edisi Perdana)


Semua dari yang kecil

Jika dicermati, gunung yang menjulang tinggi, perjalanan yang jauh, kobaran api, dan semisalnya, berawal dari sesuatu yang sederhana.

Gunung yang tinggi berasal dari tumpukan kerikil kecil, perjalanan yang jauh berawal dari satu langkah maju, api yang besar bermula dari percikan-percikan ringan. Nyaris tidak ada hal besar kecuali berawal dari hal yang kecil. Oleh sebab itu, jangan pernah  meremehkan perkara kecil. Ibnu Mu’taz rahimahullah pernah mengatakan:

لَا تَحْقِرَنَّ صَغِيْرَةً        إِنَّ الْجِبَالَ مِنَ الْحَصَى

“Jangan kau remehkan sesuatu yang kecil, sesungguhnya gunung berasal dari tumpukan kerikil” (Tafsir ibn Katsir: 1/164)

Begitu juga dalam kebaikan, banyak hal kecil pada kenyataannya menjadi sebab lahirnya sesuatu yang besar dan luar biasa.

Inilah Al-Imam Dzahabi rahimahullah, samudra ilmu, gunung yang menjulang, sejarah telah mencacat beliau dalam jajaran imam-imam besar kaum muslimin. Tahukah kita apa yang mendorong beliau hingga akhirnya mencapai kedudukan yang mulia itu? Ternyata sebabnya hanyalah satu kalimat singkat.

Disebutkan bahwasanya Imam al-Barzali ketika melihat tulisannya (Imam Dzahabi) mengatakan: ”Sungguh tulisan ini sangat mirip dengan tulisan para ahli hadits.” 

Meski hanya kalimat singkat dan seolah kecil, tapi kalimat itu sangat membekas dalam hati Iman Dzahabi. Lihatlah komentar beliau setelah mendengar kalimat tersebut: “Maka Allah menjadikanku cinta terhadap ilmu hadits.” (Ma'alim fi Thariqil Ishlah: 38)

Jangan remehkan kebaikan

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا

“Janganlah kamu meremehkan kebaikan sedikit pun.” (HR. Muslim: 6857)

Kebaikan tetaplah kebaikan meski terlihat kecil. Dan sebagaimana lazimnya sebuah kebaikan, besar atau kecil balasannya hanya Allah yang mengetahuinya. Bisa jadi sebuah amalan besar, tapi kecil dan tak bernilai di sisi Allah. Sebaliknya, sebuah amalan yang seolah terlihat kecil, tapi di sisi Allah menjadi menjadi besar.

Sekarang di pundak kita

Setelah berlalu sekian abad dari zaman keemasan, harus kita sadari kelemahan agama Islam saat ini. Bukan karena ketidakbenarannya, namun karena lemah dan kurangnya kesadaran pemeluknya.

Dahulu, mereka (para sahabat) rela mengorbankan segalanya untuk meninggikan agama ini. Harta, keluarga, kampung halaman, bahkan nyawa, tidak punya arti di sisi mereka. Mereka rela mengorbankan semua itu, asal agama ini mulia.

Namun, sekarang mereka telah tiada. Sadar atau tidak, kewajiban itu telah berpindah ke pundak kita. Masing-masing kita berkewajiban menjaga serta memuliakan agama ini. Oleh sebab itu, bantulah Islam! berjuanglah untuk Islam walau hanya dengan hal kecil yang kita mampu. Syaikh Abdurrahman As-Sa’di  rahimahullah pernah mengatakan:

رَحِمَ الله مَن أَعَانَ عَلَى الإِسْلاَم وَلَوْ بِشَطْرِ الكَلِمَة

“Semoga Allah merahmati seorang yang menolong agama Islam, meski hanya dengan sepatah kata.” (Ma'alim fi Thariqil Ishlah: 37)

Mari melangkah

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِز

“Bersemangatlah terhadap apa yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah dan jangan kamu lemah.” (HR. Muslim: 6945

Jangan  pernah beralasan dengan kekurangan. Karena memang, kekurangan itu sifat manusia dan ciri kehidupan dunia. Jika sudah jelas sesuatu itu bermanfaat, maka bersegeralah untuk memulai, tanpa memandang besar kecilnya.

Kita tidak perlu mengukur seberapa jauh jarak yang akan kita tempuh, namun cukup dengan memulai langkah pertama. Dengan begitu, cepat atau lambat kita akan sampai ke tujuan. Mari melangkah, berjuang untuk masa depan Islam! Wallahul Muaffiq.


TIDAK HARUS KULIAH (Art.Refleksi Hikmah)

Setiap manusia pasti memiliki cita-cita hidup. Hal ini tentu bukan suatu celaan, bahkan bisa menjadi suatu keharusan apabila diletakkan pada tempatnya. Seseorang harus menentukan cita-citanya. Karena cita-cita itulah yang akan menentukan haluan hidupnya, kemana ia akan melangkah, dan apa yang akan dilakukan dalam menggapai cita-citanya tersebut.

Ibarat sebuah kapal. Sebelum mengangkat jangkar dan berlayar tentu sang nahkoda sudah menentukan tujuan dan arah kapal terlebih dahulu. Ini adalah kewajiban bagi setiap nahkoda, sampaipun para bajak laut.

Tidak ada kapal yang berlayar tanpa tujuan. Ini sama saja dengan bunuh diri, karena tanpa tujuan dan arah yang jelas kapal akan diombang-ambing gelombang lautan. Begitu pula dengan orang yang tidak punya cita-cita, ia akan diombang-ambing oleh gelombang kehidupan.

Sebagaimana manusia pada umumnya begitu pula dengan para santri. Mereka tentu memiliki impian dan cita-cita hidup. Dengan cita-cita inilah mereka melangkah, cita-cita ini pula yang menjadi salah satu pendorong mereka supaya giat dan sungguh-sungguh dalam belajar.

Di antara sekian banyak cita-cita tersebut yang paling mencolok adalah cita-cita bisa melanjutkan serta merasakan belajar di bangku perkuliahan. Belajar di universitas-universitas kenamaan, terlebih lagi universitas-universitas yang berada di Timur Tengah secara umum, dan di Haromain (Mekkah dan Madinah) secara khusus. Sebut saja Universitas Ummul Quro di Mekkah, Universitas Islam Madinah, Universitas Muhammad bin Su’ud di Riyadh dan seluruh universitas di Arab Saudi.

Kemudian universitas-universitas di negara Timur Tengah yang lain seperti Universitas Al-Azhar di Kairo Mesir, Universitas Kuwait, Universitas Yordan dan sebagainya.
Keinginan untuk dapat belajar di universitas-universitas tersebut adalah satu hal yang wajar.

Di samping bisa mengambil ilmu langsung dari ulama dan bisa menetap sekaligus mengunjungi tempat-tempat suci Umat Islam serta berkesempatan pula untuk menunaikan ibadah yang dirindukan oleh ratusan juta umat Islam dunia, fasilitas-fasilitas yang akan didapat saat kuliah disanapun sangat menggiurkan.

Berangkat dari sanalah kemudian para pemuda termasuk para santri bersungguh-sungguh memperjuangkan cita-cita yang satu ini.

Berbagai upaya di kerahkan. Semua dokumen yang menjadi syarat pendaftaran dilengkapi tempat-tempat tes penerimaan didatangi walaupun harus dengan tertatih-tatih, berhutang kesana kemari karena jelas itu semua membutuhkan biaya. Sebut saja diantaranya biaya pembuatan paspor, biaya penerjemahan berkas ke dalam bahasa arab, serta biaya transportasi ke tempat tes penerimaan dan sebagainya. Pengorbanan yang sedemikian besar demi mewujudkan cita-cita.

Namun, ibarat kata pepatah lama: terkadang angin berhembus ke arah yang tidak diinginkan nelayan, seberapa besarpun harapan dan usaha yang telah dicurahkan jika Allah tidak menakdirkan tentu tidak akan terwujud.

Cita-cita yang selama ini diusahakan ternyata belum juga dapat dirasakan. Dari situlah kemudian muncul rasa letih dan keputusasaan. Datang berbagai bisikan setan untuk menambah keterpurukan seorang yang sedang putus asa ini ke dalam jurang kebinasaan yaitu berburuk sangka kepada Allah serta tidak rela menerima takdir-Nya.

Pertanyaan kenapa Allah tidak mengabulkan do’a ku? Padahal semuanya telah aku lakukan. Kenapa sifulan lulus? padahal dia bukanlah orang yang baik. Kenapa? Kenapa? Kenapa?.... selalu hilir mudik dipikiran. Kian hari kian bertambah. Akhirnya ia menjadi seorang yang celaka. Mengira  bahwa Allah telah mendzolimi makhluknya.

Semua ini berangkat dari pola pikir yang keliru. Memandang permasalahan dengan cara yang salah. Melihat sesuatu hanya dari satu pintu saja dan luput dari pintu-pintu yang lain. Sehingga ketika satu pintu itu tertutup ia seolah tertimpa dunia dan segala isinya, putus asa dari semua.

Oleh sebab itu maka perlu rasanya untuk merenungkan kembali. Memperbaiki cara berpikir yang selama ini mungkin keliru. Sehingga dengan begitu bisa terhindar dari jerat kebinasaan berupa berburuk sangka kepada Allah.

Ada beberapa hal yang perlu untuk dipahami supaya bisa memandang permasalahan ini dengan sudut pandang yang benar :

Pertama, harus diyakini bahwa Allah tidak pernah sedikitpun mendzolimi makhluknya. Mustahil Allah berbuat dzolim karena Allah sendiri yang mengatakannya. Allah telah mengharamkan segala bentuk kedzoliman bagi dirinya dan juga bagi para hamba-Nya. Tidak mungkin Allah menyelisihi perkataannya. Bagaimana mungkin Allah akan menyelisihi perkataannya sedang tidak ada yang paling benar perkataannya melainkan Dia.

Kedua, yakin dan percayalah bahwa apapun hasilnya maka itulah yang terbaik. Allah adalah dzat yang maha penyayang. Allah mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya. Banyak hal-hal yang dibenci manusia tapi justru disanalah terdapat kebaikan yang berlimpah dan begitu pula sebaliknya banyak hal yang dicintai oleh manusia akan tetapi hakikat yang sebenarnya adalah keburukan bagi mereka. Ilmu manusia terbatas, untuk mengetahui hakikat dirinya saja terkadang ia tidak mampu, lantas bagaimana dengan hikmah dari takdir Allah yang itu hanya Allah yang mengetahuinya.

Ketiga, ketahuilah bahwa kehendak manusia berada di bawah kehendak Allah. Betapapun manusia menghendaki sesuatu, apabila Allah tidak menghendakinya maka tidak akan terjadi. Sedangkan apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi walaupun manusia tidak menghendakinya.

Dari ketiga hal diatas dapat dipahami bahwa tidak diterimanya seseorang di universitas yang ia dambakan setelah mencurahkan segenap upaya bukanlah sebuah musibah. Bukan pula tanda tidak sayangnya Allah kepada dirinya.

Bahkan bisa jadi itulah salah satu kasih sayang Allah kepadanya karena Allah Maha Mengetahui, mungkin saja apabila ia diberi kesempatan mengenyam pendidikan di salah satu universitas Timur Tengah justru akan berdampak buruk bagi dirinya. Bisa jadi ia akan terserang penyakit sombong kemudian tidak mampu mengobatinya. Lalu Allah ingin menyelamatkannya dari penyakit berbahaya tersebut sehingga ia tidak tersungkur kedalam jurang kebinasaan dengan menghalanginya untuk kuliah di universitas tersebut.

Keempat, hal yang tidak kalah pentingnya untuk direnungkan. Untuk apakah gerangan seorang kuliah dan belajar ke Timur Tengah? Bukankah semua itu adalah wasilah, perantara yang akan mengantarkan seseorang mencapai maksud, sedangkan tujuannya adalah memperoleh ilmu sehingga menjadi manusia yang bisa memberi manfaat kepada orang lain. Sekarang mari sadari bahwa untuk menjadi orang baik atau menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain tidak harus bersekolah tinggi, tidak mesti kuliah, dan tidak melazimkan harus memiliki gelar-gelar ilmiah. Siapapun bisa menjadi orang baik tanpa harus kuliah di Timur Tengah, siapapun juga bisa memberi manfaat kepada orang lain tanpa harus sekolah.

Lihat dan ambillah pelajaran dari perjalanan hidup orang-orang besar. Tidak perlu jauh-jauh. Cukuplah dengan orang-orang besar negeri ini. Sebagai contoh perhatikanlah perjalanan hidup dua tokoh Nasional yang telah memberi manfaat besar kapada umat Islam negeri ini, Muhammad Natsir dan Buya HAMKA.

Lihatlah Muhammad Natsir, tokoh yang dikenal dan disegani oleh para ulama dan cendikiawan dimasanya. Beliau dengan Dewan Dakwahnya telah menghasilkan ratusan da’i yang kuat dan bermental baja. Menyebar diseluruh pelososk Nusantara.

Kemasyhuran beliau di Arab Saudi memudahkan banyak da’i untuk melanjutkan pendidikan di universitas-universitas negara tersebut. Padahal beliau sendiri tidak pernah kuliah di negara tersebut ataupun negara-negara Timur Tengah lainnya.

Lihat pula Buya HAMKA ulama Indonesia. Beliau tidak pernah menamatkan sekolah satupun apalagi kuliah disalah satu universitas di Timur Tengah. Tapi meskipun begitu banyak Universitas yang menghormatinya, sampai-sampai Universitas Al-Azhar Mesir, universitas tertua yang terkenal itu tidak segan memberi gelar kehormatan Doktor Causa kepada Buya HAMKA sebagai bentuk penghargaan atas jasa dan manfaat beliau kapada umat Islam Indonesia.

Itu hanya segelintir cerita perjalanan hidup orang-orang besar yang mampu memberi manfaat kepada orang lain meskipun mereka tidak pernah mengecap bangku kuliah di Timur Tengah. Tapi setidaknya bisa memberikan sedikit gambaran bahwa kuliah di Timur Tengah bukanlah satu-satunya jalan untuk bisa menjadi orang yang berguna.

Bahkan fakta yang ada menunjukan bahwa ternyata tidak sedikit pula lulusan Timur Tengah yang justru menjadi perusak umat. Pulang dengan membawa pemikiran sesat lagi menyesatkan sehingga jangankan memberi manfaat kepada orang lain, dirinya saja tidak memperoleh manfaat dari belajarnya di Timur Tengah.

Tidak bisa dipungkiri bahwa belajar atau kuliah di Timur Tengah lebih utama. Karena akan terbuka kesempatan untuk mengambil ilmu langsung dari ahlinya. Di negeri-negeri di kawasan Timur Tengah sampai hari ini masih mudah menemukan para ulama apalagi di kota-kota yang memang terkenal sebagai markasnya para ulama seperti Makkah dan Madinah.

Dapat menimba ilmu kasana tentu adalah sebuah kegembiraan yang luar biasa. Semua santri tentu menginginkannya. Tapi keinginan itu perlu diperhatikan, jangan sampai memaksa takdir. Jika memang belum ditakdirkan kesana apa boleh buat, bukan berarti kemudian putus asa lantas tidak semangat belajar lagi atau tidak mau belajar sama sekali. Teruslah melangkah dan ingat bahwa menjadi seorang da’i tidak harus kuliah.

Abu Zaid al-Minangkabawi

Jumat, 29 September 2017

LAPANGKANLAH YANG SEMPIT (Art.Salayok46)


Jika Anda berkelapangan, Anda berkesempatan mendapatkan pahala dari piutang yang Anda tangguhkan. Memberi tempo buat saudara kita yang belum mampu membayar hutangnya adalah akhlak yang mulia, ganjarannya luar biasa.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا كَانَ لَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ صَدَقَةٌ وَمَنْ أَنْظَرَهُ بَعْدَ حِلِّهِ كَانَ لَهُ مِثْلُهُ فِي كُلِّ يَوْمٍ صَدَقَةٌ

“Barang siapa yang memberi tangguh kepada mereka yang dalam kesulitan maka baginya pahala bersedekah setiap harinya. Dan barang siapa yang memberi tangguh setelah jatuh temponya maka baginya seperti pahala sedekah (sejumlah piutangnya) setiap harinya.” (HR. Ibnu Majah: 2418, ash-Shahihah: 86)

Berilah kelapangan kepada mereka yang kesulitan, moga-moga Allah berkenan memberi kelapangan pula pada Anda nanti di hari kiamat.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَة

“Barang siapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang mukmin, maka Allah akan melapangkan darinya satu kesusahan di hari kiamat. Barang siapa yang memudahkan urusan orang yang kesulitan (dalam masalah hutang), maka Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim: 2699)

Semoga bermanfaat.
Zahir al-Minangkabawi

Kamis, 28 September 2017

BISA JADI (Art.Salayok45)

Kita tidak tahu dengan amalan apa kita diberi rahmat untuk masuk surga oleh Allah. Bisa jadi dengan amalan yang kelihatan remeh.

Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mengisahkan:

لَقَدْ رَأَيْتُ رَجُلاً يَتَقَلَّبُ فِى الْجَنَّةِ فِى شَجَرَةٍ قَطَعَهَا مِنْ ظَهْرِ الطَّرِيقِ كَانَتْ تُؤْذِى النَّاسَ

“Sungguh aku melihat seorang laki-laki bersenang-senang di dalam surga lantaran kayu yang ia singkirkan dari jalan yang menganggu orang-orang.” (HR. Muslim: 1914)

Oleh sebab itu, jika Anda melihat ada sesuatu yang mengganngu jalan kaum muslimin, yang membahayakan. Entah itu duri, pecahan kaca, sampah, bangkai, dst, maka singkirkanlah serta harapkan ganjaran disisi Allah. Kita tidak tahu, bisa jadi karena itu kita dapat menginjakkan kaki di surga-Nya.

Semoga bermanfaat.
Zahir al-Minangkabawi

Rabu, 27 September 2017

UBAN (Art.Salayok44)

Terkadang perjalanan waktu telah mengantarkan kita pada satu keadaan yang tak kita sangka, begitu cepat. Tanpa terasa, ternyata uban sudah tumbuh di kepala. Apa yang harus kita perbuat?!

Jangan dicabut! Karena Rasulullah shalallahu alaihi wasallam pernah bersabda:

لَا تَنْتِفُوْا الشَّيْبَ فَإِنَّهُ نُوْرٌ يَوْمَ القِيَامَةِ وَمَنْ شَابَ شَيْبَةً فِي الِإسْلَامِ كُتِبَ لَهُ بِهَا حَسَنَةٌ وحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيْئَةٌ وَرُفِعَ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ

“Jangan mencabut uban, karena uban itu adalah cahaya di hari kiamat nanti. Barang siapa beruban satu uban dalam Islam, maka Allah akan mencacat baginya satu kebaikan, menghapus dengannya satu kesalahan dan mengangkat satu derajat karena ubannya itu.” (HR. Ibnu Hibban: 2985, Abu Dawud: 4202, dishahihkan oleh Syaikh al-AlBani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 2096)

Dan jika Anda mau, maka warnailah uban itu dengan inai dan daun pacar. Tapi, hindari warna hitam. Karena Rasulullah shalallahu alaihi wasallam pernah bersabda:

غَيِّرُوا هَذَا بِشَىْءٍ وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ

“Ubahlah warna uban ini dengan sesuatu. Tapi jauhi warna hitam.” (HR. Muslim: 2102)

Pada kesempatan lain beliau shalallahu alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ أَحْسَنَ مَا غُيِّرَ بِهِ هَذَا الشَّيْبُ الْحِنَّاءُ وَالْكَتَمُ

“Sebaik-baik sesuatu untuk menyemir uban adalah inai dan pacar.” (HR. Abu Dawud: 4207, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah: 1509)

Uban adalah cahaya, ia datang untuk mengingatkan kita akan dekatnya hari itu (kematian). Ambillah pelajaran dari uban yang sudah mulai tumbuh di kepala, agar kita selalu ingat akan perjuampaan dengan-Nya.

Semoga bermanfaat.
Zahir al-Minangkabawi



ANTARA SORBAN DAN BLANGKON (Art.Refleksi Hikmah)


Katanya, di antara perbedaan antara bangsa Arab dan bangsa Indonesia adalah dalam hal falsafah hidup. Falsafah hidup bangsa Arab itu seperti sorban sedangkan bangsa Indonesia seperti blangkon. 

Meski sama-sama penutup kepala namun keduanya punya perbedaan. Sorban sama bentuk luar, dalam, depan dan belakangnya, sedangkan blangkon depannya biasa tapi belakang ada bendolannya.

Tak jauh-jauh dari itu, begitulah watak masing-masing bangsa tersebut. Bangsa Arab itu ibarat sorban antara yang tampak dengan yang ada di hatinya sama. 

Jika mereka senang mereka akan mengatakan senang dan jika mereka tidak suka mereka akan mengatakan tidak suka. Apabila terjadi perselisihan, mereka dengan mudah akan melupakan. Makanya tidak heran jika paginya mereka sikut-sikutan, di petang harinya sudah kembali rangkulan tangan.

Lantas bagaimana dengan blangkon? Ya seperti bentuknya, antara depan dengan belakangnya ada perbedaan yang mencolok. Di luar mengatakan senang namun dalam hati bersemayam kejengkelan dan dendam yang luar biasa. 

Dan yang lebih parah, jika terjadi perselisihan maka sakit hatinya bisa dibawa mati atau mungkin juga diwariskan. 

Di kampung saya ada sepasang kakak beradik. Yang namanya hidup tentu tak selamanya landai. Karena satu dan lain hal, terjadi cekcok antar keduanya. Yang tua tak mau mengalah yang kecil juga tak mau kalah, akhirnya mereka tetap berselisih sampai hari ini. Padahal seingat saya percekcokan itu terjadi pada sepuluh tahun yang lalu. 

Memang ketika mereka bertemu seolah mereka telah melupakan semuanya, namun dari sinar mata mereka masih terpancar kebencian yang tak kunjung padam.

MENYIKSA DIRI

Jika kita mau merenungkan, kita akan tahu bahwa seorang pendendam itu adalah dia yang sedang menikmati penyiksaan terhadap dirinya sendiri. 

Kenapa tidak? Seharusnya ia punya ruang kosong dalam hatinya. Ia bisa saja mengisi ruang itu dengan kebahagian atau membiarkannya kosong menunggu kebahagian baru datang. Namun ia lebih memilih mengisinya dengan kebencian, mempersilakannya masuk dan kemudian memberikan izin tinggal. 

Dia sendiri yang akhirnya membebani diri. Ketenangan hati hilang lantaran adanya kebencian. Padahal Allah berfirman:

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ 

“Dan janganlah kamu jatuhkan (dirimu) kedalam kebinasaan dengan tanganmu sendiri.” (QS. al-Baqarah: 195) 

Oleh sebab itu, jangan pernah merusak diri sendiri. Kita boleh jadi benci dalam kehidupan ini. Benci kepada seseorang, kecewa, marah. Tapi ingat nasehat lama; tidak pernah ada pelaut yang merusak kapalnya sendiri.

JADILAH PEMAAF

Pahamilah, bahwa sebenarnya saat kita memutuskan memaafkan seseorang, itu bukan persoalan apakah orang itu salah dan kita benar. Apakah orang itu jahat atau aniaya. Akan tetapi, kita memutuskan memaafkan seseorang karena kita berhak atas kedamaian di dalam hati. Dengan kedamaian hati itulah kita hidup bahagia, sesuatu yang selama ini kita cari. 

Maafkanlah sebab hanya dengan itu kita bisa merengkuh kedamaian. Balaslah keburukan dengan kebaikan dan ingat bahwa mudah memaafkan adalah salah satu ciri penghuni surga. 

Allah berfirman:

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (133) الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ 

“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang di sediakan  bagi orang orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Ali Imran: 133-134)

Mari kita lihat sejarah hidup panutan kita; Nabi Muhammad. Ketika terjadi fathu Makkah di tahun 8 H, setelah beliau dengan karunia Allah dapat menaklukannya dan masuk ke Masijidil Haram, beliau berdiri di pintu Ka'bah memandangi massa yang hadir, mengamati wajah-wajah orang-orang kafir. Kemudian bersabda:

“Wahai sekalian orang-orang Quraisy, menurut kalian apa yang akan aku perbuat terhadap kalian?”

Mereka menjawab: “Engkau akan berbuat baik pada kami, engkau adalah saudara yang baik hati putra saudara kami yang baik hati.”

Dengan entengnya mereka mengatakan hal itu. Padahal, semuanya terlintas kala itu; kenangan-kenangan yang menyakitkan. Apa yang mereka lakukan terhadap Nabi dan umat Islam sebelumnya. Pengusiran, penyiksaan, hinaan serta caci maki mereka. 

Ini Bilal ada di sini, sementara bekas-bekas penyiksaan masih ada di punggungnya. 

Ini Ammar juga berdiri di sini, sementara peristiwa itu masih segar di pelupuk matanya, bagaimana mereka tanpa belas kasih membunuh ayah dan ibunya. 

Masih tergiyang tangisan bayi, rintihan orang tua, serta orang-orang papa saat mereka memboikot Nabi berserta orang-orang Islam yang lemah selama tiga tahun di lembah Bani Amir, penderitaan demi penderitan sampai-sampai mereka harus memakan dedaunan karena kelaparan. 

Sebenarnya beliau mampu menjatuhkan hukuman yang seberat-beratnya kepada mereka, karena beliau sedang berada di puncak, sementara mereka (orang-orang kafir Quraisy) tidak lagi memiliki kekuatan, mereka tak ubahnya seorang pencundang yang tengah menunggu putusan.

Namun beliau tidak melakukannya. Beliau lebih memilih menjadi pemaaf ketimbang membalas dendam dan meluapkan kebencian.
Beliau bersabda: “Pergilah kalian! Kalian bebas!”

BUKA LEMBARAN BARU

Kesalahan itu ibarat halaman kosong yang tiba-tiba ada yang mencoretnya dengan keliru. Kita bisa memaafkannya dengan menghapus tulisan tersebut, baik dengan penghapus biasa, penghapus canggih, atau dengan apa pun. Akan tetapi, tetap akan tersisa bekasnya dan tidak akan hilang. 

Agar semua benar-benar bersih, hanya ada satu jalan keluarnya; “Bukalah lembaran kertas baru yang benar-benar kosong.”

Buka lembaran baru, tutup lembaran yang pernah tercoret. Jangan diungkit-ungkit lagi. Jangan ada lagi kata tapi, tapi dan tapi. Tutup lembaran yang tidak menyenangkan itu.

Memang tidak mudah melakukannya, butuh waktu dan kesungguhan. Tapi kalau tidak sekarang kita mulai, kapan lagi? Bertahun-tahun kita berkutat membolak-balik halaman yang tercoret itu hingga tidak pernah maju. 

Mulailah hari ini untuk melupakan semuanya. Biarkan kenangan itu pergi, tengelam bersama mentari. Curahkanlah segenap kesungguhan. Yakin dan percaya bahwa Allah akan memberikan jalan.

Allah berfirman:

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ 

“Dan orang-orang yang berjihad (bersungguh-sungguh) untuk mencari keridaan Kami maka akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-Ankabut: 69)

Semoga bermanfaat.
Zahir  al-Minangkabawi

SEPERTINYA KURANG GARAM (Art.Refleksi Hikmah)


Bila ada kesempatan, pergilah ke restoran-restoran besar atau tempat makan yang terkenal dengan masakannya yang lezat. Perhatikanlah apa yang dikatakan orang-orang saat memuji makanan tersebut. Pasti yang akan terdengar: “Luar biasa, nikmat sekali makanan ini. Dagingnya lembut, irisannya menarik, warnanya pun cantik,” “Lezat,” “Sempurna,” atau ucapan-ucapan semisal yang  tidak jauh-jauh dari itu. Nyaris tidak ada orang yang mengatakan: “Mantap sekali garam makanan ini,” atau “Garamnya pas,” atau kata-kata lain yang menunjukkan bahwa garam  punya andil besar menjadikan makanan itu menjadi nikmat.   

Itulah nasib garam. Tersingkirkan oleh daging, ikan, sayur dan bahan-bahan lain. Terlupakan saat suka, baru teringat saat tiada. Ketika garam lupa dimasukkan, atau takarannya kurang, makanan menjadi tidak enak, hambar, barulah ada yang menyebut-nyebut garam; “Makanan ini tak seperti biasanya. Ada yang kurang. Sepertinya kurang garam,” “Saya rasa kokinya lupa memasukkan garam,” “Coba jika seandainya garamnya ditambah sedikit lagi, pasti jadi lebih nikmat,” dan semisalnya.

Di sekolah saya, ada seorang petugas kebersihan. Tugasnya adalah memastikan semua sampah bersih, dibuang ke tempat pembuangan sampah umum yang berjarak 200 meter dari lingkungan sekolah. Sudah tua, mungkin usianya sudah lebih dari 50 tahun. Tapi beliau masih terlihat bersemangat. Jika ada pembicaraan dengan topik “orang penting di sekolah”, saya berani memastikan beliau tidak pernah disebutkan. Kalah pamor dengan ketua yayasan, mudir, lajnah ta’lim, kepala sekolah, kesantrian, dst.

Suatu ketika beliau sakit, terbaring di tempat tidur lusuhnya. Jangankan mengangkat sampah, mengangkat tubuh kurusnya saja sulit. Sakit telah menambah lemah tubuhnya yang sudah ringkih itu.

Hampir satu pekan beliau sakit. Sementara itu sampah bertumpuk-tumpuk dan berserakan. Keranjang sampah sudah tidak cukup lagi menampung. Sekolah kumuh, aroma busuk mulai keluar dan  tercium oleh siapa saja yang lewat dekat tong-tong sampah. Bahkan di sebagian tong sampah terlihat belatung-belatung. Bergerak-gerak menjijikkan.

Saat keadaan seperti itu, barulah orang-orang merasa kehilangan bapak tua tadi. Mulai ada yang bertanya; Bagaimana keadaannya? Apa yang menimpa? Sakit apa? Sudah berapa lama? Sekarang di mana? Padahal selama ini terlupakan begitu saja.

Di kehidupan ini banyak hal yang demikian. Garam dan pak tua itu hanyalah dua contoh dari sekian banyak hal yang sering terlupakan dan tersisihkan. Sesuatu yang tidak disadari keberadaannya, tidak dirasakan kehadirannya. Seolah tidak penting dan tak berjasa. Ketika ia sudah tiada baru banyak pihak yang merasa kehilangan.

Memang begitulah manusia. Yang terlihat oleh mereka sering kali hanya sesuatu yang kasat mata. Sesuatu yang muncul ke permukaan. Tembok yang kokoh, yang terlihat hanya cat dan teksturnya saja. Mereka puji dan banding-bandingkan.  Sedangkan besi yang ada di dalamnya terlupakan.

Tapi kita tak hendak membicarakan manusia biarlah mereka begitu. Yang ingin kita bicarakan adalah bagaimana jika seandainya takdir mengantarkan kita menjadi garam atau pak tua itu. Apa kira-kira yang akan kita lakukan? Berkecil hati, rendah diri, kemudian duduk termenung menyesali nasib dan mengupati takdir? Atau merasa biasa-biasa saja lantas bekerja dengan semangat yang biasa-biasa pula?

Jika kita memperhatikan ajaran Islam, mengkaji, dan merenungkan, pasti tak seorang pun di antara kita yang akan berputus asa, merasa rendah diri walau ia hanyalah garam atau seorang petugas kebersihan.

Saya bukanlah orang yang ahli dalam hal itu. Pengetahuan saya tentang ajaran Islam pun boleh dikatakan baru kulitnya saja. Namun ada beberapa hal yang saya dengar dari orang-orang tua dan bapak-bapak kiai berkaitan dengan hal ini.

Pertama, tidak selayaknya seorang merasa mulia dengan kedudukannya yang tinggi, posisi penting yang ia tempati, dan merasa hina dengan ketidaktenaran dirinya, pekerjaannya yang rendah dan biasa-biasa saja. Sebab, itu semua bukanlah tolak ukur kemuliaan di sisi Allah q.
Manusia yang paling mulia di sisi Allah q adalah yang paling bertakwa. Sedangkan takwa rumahnya di dalam hati.

Allah berfirman: 

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

“Sungguh, yang paling mulia di antara kamu ialah orang yang paling bertakwa.” (QS. al-Hujurat: 13)

Sekarang, siapa yang menjamin bahwa orang yang terkenal itu adalah orang yang takwa sedangkan “garam” tidak? Siapa pula yang mengatakan bahwa takwa itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang besar saja sedangkan petugas kebersihan tidak?

Semua manusia, siapa pun ia, berkesempatan menjadi manusia yang mulia di sisi Allah q asalkan ia mau mengusahakan ketakwaan dalam dirinya.

Kedua, sesungguhnya Allah tidak melihat posisi seseorang. Apakah dia seorang jenderal, panglima, manager perusahaan, ketua yayasan, kepala sekolah, atau prajurit biasa, karyawan rendahan, buruh kasar, cleaning service, tukang sampah, dll. Yang dilihat oleh Allah q adalah amalan masing-masing.

Allah berfirman:

وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ

“Dan katakanlah: ‘Bekerjalah kamu maka Allah akan melihat pekerjaanmu begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin.” (QS. at-Taubah: 105)

Dan perlu diingat, Allah Mahakuasa. Tidak menutup kemungkinan pekerjaan besar menjadi kecil di sisi-Nya, sedangkan pekerjaan kecil menjadi besar.

Oleh sebab itu, kita tidak boleh rendah diri ketika orang lain terlihat sukses, disanjung dan dipuja banyak orang, sedangkan kita tidak. Jangan! Tidak perlu silau dengan kesuksesan orang lain. Setiap orang punya jalan masing-masing.

‘Aisyah pernah mengatakan:

إِذَا أَعْجَبَكَ حُسْنُ عَمَلِ امْرِئٍ فَقُلْ {اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ} وَلَا يَسْتَخِفَّنَّكَ أَحَدٌ 

“Seandainya engkau takjub dengan eloknya pekerjaan seseorang maka katakanlah: ‘Bekerjalah kamu maka Allah akan melihat pekerjaanmu begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin,’ jangan pernah engkau merasa kecil.” (HR. al-Bukhari: 7529)

Ketiga, berangkat dari dua hal di atas, maka sekarang tinggal berupaya meningkatkan ketakwaan dan memperbaiki amalan. Bersemangat dalam melangkah, berjalan dengan kepala mendongak, tidak tertunduk. Apa peduli kita dengan pujian manusia. Biarlah kita tidak dianggap dan direndahkan. Dengan ketakwaan, mudah-mudahan kita punya nama di sisi Allah.

Inilah Uweis al-Qarni dan Julaibib. Meski tak seorang pun yang menganggap dirinya istimewa, tidak dikenal penduduk bumi, namun namanya harum di kalangan penduduk langit. Julaibib saat gugur di medan perang, tidak ada yang merasa kehilangannya selain satu orang saja. Namun satu orang itu sudah cukup. Karena yang kehilangan itu tidak lain adalah Rasulullah Wallahul muwaffiq.