Kamis, 28 Juni 2018

KAROMAH WALI


Berbicara tentang wali dan karomah maka di Indonesia ada banyak cerita. Karena memang masyarakatnya dikenal mudah menyematkan gelar wali kepada seorang yang mempunyai sesuatu luar biasa. Sampai-sampai kepada mereka yang sangat jauh dari agama. Tidak shalat, tidak puasa, bahkan orang gila yang tidak pakai baju pun ada yang dianggap wali.

Jika Anda mampu berjalan di atas bara api yang menyala, terbang di udara, menyeberangi sungai dengan berjalan di atasnya, maka Anda punya kesempatan masuk jajaran "wali Indonesia", karena Anda punya ilmu yang luar biasa, "karomah" kata mereka.  Akan tetapi, jika kita berbicara dalam prespektif Islam yang sesungguhnya, tentu urusannya jadi berbeda.

Mempercayai karomah wali-wali Allah adalah salah satu diantara pokok keyakinan ahlussunnah wal jamaah. Yang dimaksud dengan karomah, sebagaimana yang didefinisikan oleh para ulama, di antaranya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, beliau mengatakan:

وَالكَرَامَةُ هِيَ أَمْرٌ خَارِقٌ لِلْعَادَةِ ، يُجْرِيْهِ اللَّهُ تَعَالَى عَلَى يَدِ وَلِيٍّ ؛ تَأْيِيْدًا لَهُ، أَوْ إِعَانَةً، أَوْ تَثْبِيْتًا، أَوْ نَصْرًا لِلدِّيْنِ 

"Karomah adalah suatu yang menyalahi adat kebiasaan, yang diberikan oleh Allah kepada seorang wali, untuk menguatkan, membantu dan memberikan keteguhan kepadanya atau pertolongan bagi agama." (Majmu Fatawa wa Rasail Syaikh Ibnu Utsaimin: 8/626)

Itulah karomah yaitu sesuatu yang diluar kebiasaan. Akan tetapi yang perlu diingat, bahwa tidak semua sesuatu diluar kebiasaan lantas disebut karomah. Karomah hanya diberikan kepada wali Allah. Siapa wali Allah? Mereka adalah yang disebutkan oleh Allah mempunyai dua sifat. Allah berfirman:

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ، الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ

Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah tidak ada ketakutan atas mereka dan mereka juga tidak bersedih hati. Mereka adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa. (QS. Yunus: 62-63)

Maka jika ada seorang yang jauh dari agama, meninggalkan ajaran-ajaran agama, lalu mampu melakukan sesuatu diluar kebiasaan maka itu bukan karomah. Itu adalah tipuan setan, mereka bukan wali Allah tetapi walinya setan, meski mereka berjubah dan bersorban.

Jangan gampang tertipu dan mudah terpedaya dengan sesuatu yang terlihat luar biasa. Ingat pesan Imam Syafi'i rahimahullah:

إِِذَا رَأَيْتُمْ الرَّجُلَ يَمْشِي عَلَى المَاءِ وَيَطِيْرُ فِي الهَوَاء؛ فَلَا تَغْتَرُّوْا بِهِ حَتَّى تَعْرِضُوْا أَمْرَهُ عَلَى الكِتَابِ وَالسُنَّةِ.

"Apabila kalian melihat ada seorang yang dapat berjalan di atas air atau terbang di udara maka jangan terpedaya dengannya  sampai kalian timbang ahwalnya dengan kitab al-Qur'an dan Sunnah." (Tafsir Ibnu Katsir: 1/233, tafsir surat al-Baqarah ayat 34)

Oleh sebab itu, kesesuaian amalan dengan al-Qur'an dan Sunnah merupakan salah satu timbangan penentunya. Ingat, karomah hanya milik wali Allah yaitu orang yang beriman dan bertakwa saja.

JAUHKAN ANAKMU DARI MENIRU ORANG KAFIR


Oleh: Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron. Lc

Orang kafir (non-muslim) tidak beriman kepada Allah dan hari pembalasan. Hidup mereka dikendalikan oleh hawa nafsu. Mereka tidak mengenal halal dan haram, yang penting mereka senang dan puas, tidak berpikir mafsadat dan maslahat. Apalagi berpikir tentang pahala atau siksa. (QS. Muhammad: 12)

Mereka itu musuh Allah, Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam dan orang yang beriman. Mereka ingin mengajak orang Islam agar mengikuti jejak mereka dengan memakai segala macam cara.

Meniru Orang Kafir

Meniru orang kafir yang menjadi kekhususan mereka hukumnya adalah haram, berdasarkan dalil dari al-Qur’an, sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bahkan ijma’ ulama. Allah subhanahu wata'ala berfirman:

وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ

Sebagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. (QS. al-Baqarah: 109)

Mengapa kita dilarang meniru orang kafir secara lahiriah? Ibnu Taimiyyah berkata, “Keserupaan dalam perkara lahiriah bisa berpengaruh pada keserupaan dalam akhlak dan amalan. Oleh karena itu, kita dilarang tasyabbuh (menyerupai) dengan orang kafir.” (Majmu’ al-Fatawa 22/ 154)

Beliau juga berkata, “Jika dalam perkara adat (kebiasaan) saja kita dilarang tasyabbuh dengan mereka, bagaimana lagi dalam perkara yang lebih dari itu?!” (Majmu’ al-Fatawa 25/332)

Keterangan beliau ini, walaupun kita dan anak kita tidak bermaksud meniru mereka, namun jika gaya bicara dan amal kita meniru kekhususan mereka, tentu mereka bangga dan senang. Oleh karena itu hukumnya haram.

Berdasarkan dalil di atas, walau anak kita belum baligh, kita harus larang meniru mereka. Sebab anak yang masih muda umumya suka meniru apa yang mereka lihat dan yang mereka dengar karena keterbatasan akal dan kemampuannya, belum bisa membedakan yang halal dan haram, yang maslahat dan yang membahayakan.

Anak Mudah Meniru Apalagi Belum Berilmu

Rasulullah mengingatkan anak dan cucu kita ketika lahir yang belum melihat dan mendengar sesuatu, mereka dalam keadaan bersih dari noda, tetapi sesudah itu mereka umumnya berubah bicara dan tingkah lakunya karena susuatu yang mereka dengar dan yang mereka lihat. Sudahkah orang tua dan para pendidik menjaga fitrah mereka agar tetap bersih dan bertambah baik ibadah dan akhlaknya? Ataukah sebaliknya? Na’udzubillahi min dzalik. Kita kelak akan dimintai pertanggungan jawab ketika berjumpa dengan Allah. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَثَلِ الْبَهِيمَةِ تُنْتَجُ الْبَهِيمَةَ هَلْ تَرَى فِيهَا جَدْعَاءَ.

“Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi seorang Yahudi, Nasrani maupun Majusi. Sebagaimana seekor binatang yang melahirkan seekor anak tanpa cacat, apakah kamu merasakan terdapat yang terpotong hidungnya?” (HR. Muslim: 4803)

Berkata Imam Badruddin al-‘Aini, “Dua orang tualah yang mengajari dia beragama Yahudi atau Nasrani dan yang memalingkan fitrahnya, sehingga dia mengikuti agama orang tuanya.” (‘Umdatul Qari’ Syarh Shahih al-Bukhari 13/39)

Pola Pakaian Anak Orang Kafir

Pakaian berfungsi menutup aurat manusia agar tidak seperti hewan. Tentu aib bila terlihat auratnya. Namun perhatikan gaya pakaian anak-anak mereka; berpakaian tipis, tebal tapi press body, membuka aurat, bergambar makhluk hidup, anak wanita berpakaian di atas paha. Gaya pakaian mereka terkadang sama antara anak laki-laki dan perempuan; pria berambut panjang, putrinya dipangkas, prianya pakai anting, kalung dan yang serupa. Intinya, membuka aurat dan tidak jelas bedanya antara pria dan wanita. Ini semua haram ditiru oleh anak kita berdasarkan dalil, di antaranya:

1. Hadits Ibnu Abbas radliyallaahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaknat para laki-laki yang menyerupai wanita dan para wanita yang menyerupai laki-laki, sabdanya shallallahu 'alaihi wasallam:

أَخْرِجُوهُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ

“Keluarkanlah mereka dari rumah kalian!” Ibnu Abbas melanjutkan, “Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah mengeluarkan si fulan, begitu juga Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu.” (HR. al-Bukhari: 5436)

2. Hadits Aisyah radhiyallahu anha, dia berkata, “Asma’ binti Abu Bakar radhiyallahu anhuma menghadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dengan memakai pakaian yang tipis, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berpaling darinya dan berkata,

يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتْ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا

"Wahai Asma', Jika wanita telah mengalami haid (baligh) maka dia tidak boleh memperlihatkan auratnya kecuali ini dan ini —beliau memberi isyarat pada wajah dan kedua telapak tangan-.” (HR. Abu Dawud: 4104, Shahih, al-Hijab hal. 24)

3. Ibnu Abbas radliyallaahu anhu berkata:

لَعَنَ رَسُولُ اللهِ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ ، وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ

“Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaknat kaum pria yang menyerupai wanita, dan kaum wanita yang menyerupai pria.” (Disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam al-Fath 10/272-274, melalui Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah hal. 149)

Berdasarkan dalil di atas, anak umat Islam hendaknya tidak meniru cara berpakaian dan kekhususan orang kafir. Anak kita cukup meniru pakaian anak orang muslim yang mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.

Pola Makan Dan Minum Anak Orang Kafir

Kita saksikan orang kafir makan dan minum tidak mengenal halal dan haram, makan dan minum bersandar, mencela makanan, banyak yang makan dengan tangan kiri (bahkan terkadang dengan sepuluh jari), tidak baca basmalah, berlebih-lebihan (bahkan membuang makanan sesukanya), tidak menjilati jarinya setelah makan, makanan jatuh pun tidak diambil. Anak kita tidak boleh meniru mereka, karena semua yang disebut hukumnya terlarang.

Dalil yang melarang hal di atas di antaranya;
1. Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah mencela sama sekali pada suatu makanan. Jika beliau ingin makanan itu, beliau pun memakannya. Jika tidak menyukainya, maka beliau tinggalkan -tanpa mencelanya-.” (HR. al-Bukhari: 5409)

2. Salamah bin al-Akwa’ radhiyallahu anhu mengisahkan, bahwa ada seorang lelaki makan di sisi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dengan tangan kirinya, lalu Nabi bersabda, "Makanlah dengan tangan kananmu." Orang itu menjawab, "Saya tidak dapat -makan dengan tangan kanan-." Beliau lalu bersabda, "Engkau tidak bisa? Tidak ada yang menyebabkan ia berbuat sedemikian itu kecuali karena kesombongan.” Maka orang itu tidak dapat mengangkatkan tangan kanannya ke mulut -untuk selama-lamanya sejak saat itu-. (HR. Muslim: 107)

3. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Jikalau seseorang dari engkau semua makan sesuatu makanan, maka janganlah mengusap jari-jarinya sebelum menjilatnya -untuk mendapatkan keberkahan- atau menjilatkannya -kepada orang lain seperti kepada anaknya, muridnya dan lain-lain.” (HR. al-Bukhari: 5140)

Masih banyak lagi dalil yang menjelaskan larangan cara makan dan minum seperti mereka, hal ini bisa dilihat dalam kitab adab dan lainnya.

Pola Bicara Anak Orang Kafir

Anak orang kafir seperti orang tuanya, berbicara tanpa dipikir terlebih dahulu. Mereka pun berbohong, bercerita dusta, berteriak-teriak, bertepuk tangan, menyanyi, menari, membunyikan terompet, meniup seruling, mencela, mengolok-olok dan perkataan keji lainnya. Maka anak kita jangan sampai terpengaruh oleh akhlak seperti ini, baik dari teman atau dari tayangan TV.

Adapun dalil keharaman perbuatan tersebut, di antaranya;

1. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

فِى هَذِهِ الأُمَّةِ خَسْفٌ وَمَسْخٌ وَقَذْفٌ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَتَى ذَاكَ قَالَ « إِذَا ظَهَرَتِ الْقَيْنَاتُ وَالْمَعَازِفُ وَشُرِبَتِ الْخُمُورُ 

“Pada umat ini akan terjadi penenggelaman ke dalam bumi, perubahan rupa, dan pelemparan batu.” Seseorang dari kaum muslimin bertanya, "Wahai Rasulullah, kapan hal itu akan terjadi?” Beliau menjawab, "Jika para penyanyi wanita dan para pemain musik (tampil) muncul terang-terangan, dan khamer diminum.” (HR. at-Tirmidzi: 2212, Hasan sebagaimana dalam ash-Shahihah no. 1604)

2. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا لَا تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ وَلَا بِالنَّصَارَى فَإِنَّ تَسْلِيمَ الْيَهُودِ الْإِشَارَةُ بِالْأَصَابِعِ وَتَسْلِيمَ النَّصَارَى الْإِشَارَةُ بِالْأَكُفِّ

“Bukan termasuk golongan kami siapa yang menyerupai kaum selain kami. Janganlah kalian menyerupai Yahudi, juga Nasrani, karena Yahudi memberi salam dengan isyarat jari, dan kaum Nasrani memberi salam dengan isyarat telapak tangannya.” (HR. at-Tirmidzi: 2911 dihasnkan oleh al-Albani)

3. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengingatkan agar anak kita tidak berbicara melainkan yang diridhoi oleh Allah, karena bahaya lisan sangat besar. Beliau bersabda: “Barangsiapa bisa menjamin kepadaku (untuk menjaga) apa yang ada di antara dua janggutnya dan dua kakinya, maka kuberikan kepadanya jaminan masuk surga.” (HR. al-Bukhari: 6474)

Imam Abu Hatim Ibnu Hibban al-Busti berkata “Orang yang berakal selayaknya lebih banyak diam daripada bicara. Hal itu karena betapa banyak orang yang menyesal karena bicara, dan sedikit yang menyesal karena diam. Orang yang paling celaka dan paling besar mendapat bagian musibah adalah orang yang lisannya senantiasa berbicara, sedangkan pikirannya tidak mau jalan.” (Raudhah al-‘Uqala’ wa Nuzhah al-Fudhala’ hal. 45)

Pola Pergaulan Anak Orang Kafir

Pergaulan anak kafir bebas bercampur lelaki dan perempuan, bercanda, berboncengan dengan lain jenis yang bukan mahram, berjabat tangan dengan lawan jenis tanpa tahu siapa mahramnya. Karena itu kita sering jumpai mereka jatuh kepada perbuatan mesum karena mereka tidak mengenal adab bergaul yang baik.

Adapun dalil keharaman perbuatan tersebut, di antaranya;

1. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

 إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ: يَا رَسُولَ اللهِ , أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ 

“Jauhkan dirimu masuk di rumah wanita!” Lalu ada seorang Anshar bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu menemui ipar?” Beliau menjawab, “Dia dapat membawa kematian.” (HR. al-Bukhari: 5232)

2. Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu berkata:

وَإِيَّاكُمْ وَالتَّنَعُّمَ وَزِىَّ أَهْلِ الشِّرْكِ 

“Dan jauhkan dirimu dari berfoya-foya serta model orang musyrik.” (Muslim no. 5532)

3. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

“Janganlah laki-laki berduaan dengan perempuan (lain) kecuali perempuan itu didampingi mahramnya. Dan janganlah seorang perempuan melakukan perjalanan (safar) kecuali didampingi mahramnya.” (HR. Muslim: 2844)

Begitu belas kasih Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengingatkan umatnya agar berhati-hati bergaul dengan yang bukan mahram, padahal tidak sedikit pendidikan sekarang kurang memperhatikan perkara ini. Semoga kita dan anak-anak kita dilindungi oleh Allah dari murka-Nya. Amin


Senin, 25 Juni 2018

GAMBAR DAN MOTIF SAJADAH



Sajadah, adalah hal yang tidak asing lagi bagi kita umat Islam. Lebih-lebih di negara kita, tersebar luas baik di rumah maupun di masjid-masjid. Sangat beragam dengan berbagai motif dan warna. Ada gambar masjid, ka'bah, ukiran, mozaik, lampu, dan seterusnya.

Sebagai seorang muslim boleh-boleh saja kita shalat dengan mengunakan sajadah sebagai alas. Hanya saja, mengingat bahwasanya sajadah yang ada sekarang banyak sekali pilihannya maka satu hal yang harus diperhatikan adalah pemilihan motif dan hiasannya. Jangan sampai gambar atau motif sajadah justru menghilangkan ruh dari shalat itu sendiri yaitu kekhusyukan.

Dari Aisyah radhiyallahu anha, bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah shalat mengenakan baju yang ada motif garisnya. Beliau pun melihat selintas ke arah motifnya itu. Maka ketika beliau selesai shalat, beliau bersabda:

اذْهَبُوا بِخَمِيصَتِي هَذِهِ إِلَى أَبِي جَهْمٍ وَأْتُونِي بِأَنْبِجَانِيَّةِ أَبِي جَهْمٍ فَإِنَّهَا أَلْهَتْنِي آنِفًا عَنْ صَلَاتِي

“Pergilah dengan kain ini ke Abu Jahm dan datangkan kain kasar Abu Jahm. Karena kain ini barusan melenakanku dalam shalat."

Dalam redaksi yang lain beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda:

كُنْتُ أَنْظُرُ إِلَى عَلَمِهَا وَأَنَا فِي الصَّلَاةِ فَأَخَافُ أَنْ تَفْتِنَنِي

“Aku barusan melihat gambarnya sementara aku dalam shalat, aku khawatir kain ini menggangguku.” (HR. Bukhari: 373, Muslim: 556)

Itulah yang  dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Kekhusyukan  adalah inti dari shalat sehingga beliau menghindarkan segala sesuatu yang dapat merusaknya.

Dari hadits diatas dapat kita ambil pelajaran, bahwa dalam masalah ini hendaknya kita memilih sajadah yang tidak menggangu kekhusyukan shalat. Sajadah dengan motif yang dapat mengganggu kekhusyukan harus dihindari. Terlebih sajadah yang ada di masjid, hendaknya bebas dari motif-motif yang mengganggu. Para ulama melalui Lajnah Daimah telah menjelaskan:

وَالرُّسُوْمُ وَالزَخَارِفُ فِي فِرَشِ المَسَاجِدِ وَجِدْرَانِهَا مِمَّا يُشْغِلُ القَلْبَ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَيُذْهِبُ بِكَثِيْرٍ مِنْ خُشُوْعِ المُصَلِّيْنَ، وَلِذَا كَرِهَهُ كَثِيْرٌ مِنَ السَّلَفِ. فَيَنْبَغِيْ لِلْمُسْلِمِيْنَ أَنْ يُجَنِّبُوْا ذَلِكَ مَسَاجِدَهُمْ، مُحَافَظَةً عَلَى كَمَالِ عِبَادَتِهِمْ

"Gambar dan hiasan di karpet masjid dan dindingnya termasuk yang melalaikan hati dari zikir kepada Allah dan menghilangkan kekhusyukan jamaah shalat. Oleh karena itu banyak ulama salaf memakruhkannya. Selayaknya umat Islam menjauhkan hal itu dari masjid-masjid untuk menjaga kesempurnaan ibadah mereka." (Fatawa Lajnah Daimah: 6/181) 

Termasuk juga, sajadah yang bergambar masjid. Baik gambar masjidil haram, Nabawi, Aqsha, maupun masjid yang lainnya. Lebih baik dihindari. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, dengan berdalil dengan hadits di atas menjelaskan:

الَّذِي نَرَى أَنَّهُ لَا يَنْبَغِي أَنْ يُوْضَعَ لِلْإِمَامِ سَجادٌ فِيْهِ تَصَاوِيرُ مَسَاجِد ، لِأَنَّهُ رُبَّمَا يُشَوَّش عَلَيْهِ وَيُلْفِتُ نَظْرَهُ وَهَذَا يَخلُّ بِالصَّلَاةِ

"Pendapat kami, bahwasanya tidak layak menaruh untuk Imam sajadah yang ada gambar masjid. Karena terkadang mengganggu dan memalingkan pandangannya dan ini mengurangi kesempurnaan shalat." (Fatawa Syaikh Ibnu al-Utsaimin: 12/362)

Oleh sebab itu, hal inilah yang harus kita perhatikan bersama. Jangan sampai membeli sajadah dengan motif yang dapat mengganggu kekhusyukan. Terlebih bagi para pengurus masjid, hendaknya hati-hati dalam menentukan karpet sajadah masjid. Jangan sampai akhirnya membuat jama'ah kehilangan kekhusyukan karena sibuk memperhatikan dan memikirkan motif sajadah ketika shalat.

Minggu, 24 Juni 2018

NASEHATI DENGAN CARA YANG TEPAT


Nasehat adalah bagian penting dalam kehidupan. Ia merupakan tonggak dan tali kekang kemulian ummat. Sampai-sampai Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengatakan bahwa agama ini semuanya adalah nasehat. Tamim ad-Dari radhiyallahu anhu pernah menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda:

الدِّينُ النَّصِيحَةُ، قُلْنَا لِمَنْ؟، قال: لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ

“Agama adalah nasehat”, kami (para sahabat) berkata: “Bagi siapa ?” Beliau menjawab: “Bagi Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, dan untuk para pemimpin umat Islam dan kaum muslimin secara umum.” (HR. Muslim: 55)

Nasehat itu wajib, namun yang perlu diingat, bahwa nasehat itu adalah obat bagi luka. Selembut apapun, ia tetap memberikan sakit. Oleh sebab itu, perhatikan cara menyampaikan nasehat. Pahamilah, bahwa hukum asalnya, nasehat hendaknya dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Selama tidak ada mashlahat yang lebih besar untuk menampakkannya. Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah pernah mengatakan:

كَانَ السَّلَفُ إِذَا أَرَادُوْا نَصِيْحَةَ أَحَدٍ ، وَعَظُوْهُ سِرًّا ، حَتَّى قَالَ بَعْضُهُمْ: مَنْ وَعَظَ أَخَاهُ فِيْمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ فَهِيَ نَصِيْحَةٌ، وَمَنْ وَعَظَهُ عَلَى رُؤُوْسِ النَّاسِ فَإِنَّمَا وَبَّخَهَ 

“Dahulu generasi salaf jika mereka ingin menasehati seseorang, mereka menyampaikannya dengan sembunyi-sembunyi, sampai-sampai sebagian mereka berkata: 'Barangsiapa yang menasehati saudaranya antara dia dan saudaranya saja maka itulah nasehat, dan Barangsiapa yang menasehatinya di hadapan halayak, maka ia telah menjatuhkannya.'”

Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata:

المُؤْمِنُ يَسْتُرُ ويَنْصَحُ ، وَالفَاجِرُ يَهْتِكُ وَيُعَيِّرُ

“Seorang mukmin itu menutupi dan menasehati, sementara orang yang jahat adalah mencederai dan menghina”. (Jami Al-Ulum wal Hikam: 1/236)

Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah menjelaskan dengan gamblang perihal cara menasehati yang sesungguhnya ini. Beliau rahimahullah mengatakan:

إِِذَا نَصَحْتَ فَانْصَحْ سِرًّا لَا جَهْرًا، وَبِتَعْرِيْضٍ لَا تَصْرِيْحٍ، إِلَّا أَنْ لَا يَفْهَمَ المَنْصُوْحُ تَعْرِيْضَكَ، فَلَا بُدَّ مِنْ التَّصْرِيْحِ .... فَإِِنْ تَعَديْتَ هَذِهِ الْوُجُوْهَ فَأَنْتَ ظَالِمٌ لَا نَاصِحٌ

“Jika kamu ingin menasehati, maka nasehatilah dengan sembunyi-sembunyi tidak dengan terang-terangan, dengan bahasa kiasan tidak dengan bahasa lugas, kecuali jika yang dinasehati tidak memahami bahasa kiasan maka diperlukan bahasa yang lugas dan jelas. Jika kamu melampaui hal tersebut maka kamu adalah seorang yang zhalim, bukan sebagai pemberi nasehat”. (Al-Akhlak Was Siyar: 45)

Oleh sebab itu, sebelum menasehati orang lain. Perhatikanlah banyak hal, salah satunya yaitu cara kita menyampaikan nasehat itu. Nasehat itu penting, tapi lebih penting lagi cara menyampaikannya. Nasehat untuk memperbaiki bukan membuat orang semakin lari dan benci.

Sabtu, 23 Juni 2018

AGAR TAK MENDATANGKAN PENYESALAN


Katanya, penyelasan itu selalu datang belakangan. Mengingat apa yang telah terjadi dan kesempatan yang terbuang percuma hingga akhirnya mendatangkan kesedihan yang mendalam.

Karenanya, salah satu nikmat bagi wali-wali Allah yaitu mereka yang beriman dan bertakwa kepada-Nya adalah mereka diselamatkan dari kesedihan hati terhadap apa yang telah berlalu dan diselamatkan dari rasa khawatir terhadap apa yang akan terjadi di masa depan. Allah berfirman:

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. (QS. Yunus: 62)

Mereka yang akan selamat dari sedihnya penyelasan adalah mereka yang mampu mengetahui hakikat dua kehidupan; kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Kemudian ia mampu menempatkan dirinya pada masing-masing kehidupan tersebut.

Inilah Imam Ahmad rahimahullah, yang telah memberikan nasehat berharga dan petuah emas untuk kita di hari ini. Beliau pernah mengatakan:

الدُنْيَا دَارُ عَمَلٍ، وَالآخِرَةُ دَارُ جَزَاءٍ، فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ هُنَا؛ نَدِمَ هُنَاكَ

"Dunia ini adalah negeri untuk beramal, sedangkan akhirat adalah negeri balasan, maka siapa yang tidak beramal di sini, dia pasti akan menyesal di sana." (Az-Zuhd, al-Baihaqi, no. 730)

Oleh sebab itu, pahamilah hakikat dua kehidupan itu, tempatkan diri kita pada tempatnya. Jika kita masih menghirup udara dunia, maka ingatlah bahwa dunia adalah negeri untuk beramal, menyiapkan bekal menuju negeri berikutnya. Jangan sampai kita lupa karena hiruk pikuknya dunia, akhirnya kita menyesal untuk selamanya.

ORANG BAIK UJIANNYA BERAT


Hidup tanpa musuh atau bebas dari orang-orang yang tidak suka adalah hal yang mustahil. Karena memang Allah telah menakdirkan keseimbangan. Ada kebaikan dan keburukan, kebenaran dan kesesatan, haq dan batil yang senantiasa ada dan berperang. Allah berfirman:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا مِّنَ الْمُجْرِمِينَ ۗ وَكَفَىٰ بِرَبِّكَ هَادِيًا وَنَصِيرًا

Dan seperti itulah, telah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi, musuh dari orang-orang yang berdosa. Dan cukuplah Tuhanmu menjadi Pemberi petunjuk dan Penolong. (QS. Al-Furqan: 31)

Dalam ayat yang lain, Allah menerangkan tentang musuh para nabi dan pengikutnya yaitu setan-setan, baik dari kalangan jin maupun manusia. Allah berfirman:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا ۚ 

"Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia)." (QS. Al-An'am: 112)

Makanya, jangan pernah mengira ketika kita telah menjadi orang baik dan berusaha meniti kebenaran lantas kemudian hidup tenang tanpa musuh dan gangguan. Bahkan, semakin kukuh kita di atas kebenaran semakin banyak dan besar ujiannya.

Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ditanya tentang manusia yang paling berat ujiannya, beliau bukan menjawab orang yang paling durjana akan tetapi mereka yang paling dekat kedudukannya dengan Allah, bagus agamanya. Dari Sa'ad bin Abi Waqqash radhiyallahu anhu, ia pernah menuturkan:

قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ , أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاءً ؟ قَالَ : الأَنْبِيَاءُ , ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ , فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ , فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاؤُهُ , وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ , فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ

"Aku pernah berkata: Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berat ujiannya? Beliau menjawab: 'Para nabi, kemudian yang semisal, kemudian yang semisal. Sungguh seseorang itu akan diuji berdasarkan agamanya, bila agamanya kuat, ujiannya pun berat, sebaliknya bila agamanya lemah, ia diuji sesuai dengan kadar agamanya. Ujian tidak akan berhenti menimpa seorang hamba hingga ia berjalan di muka bumi dengan tidak mempunyai kesalahan.'" (HR. Tirmidzi: 2398)

Belajarlah dari perjalanan hidup Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, banyak orang yang tidak suka dengan apa yang beliau bawa dan dakwahkan. Sehingga bermacam gangguan pun beliau dapatkan. Mulai dari tuduhan dusta; pemecah belah, tukang sihir, dukun, orang gila, diludahi, ditaruh kotoran di pundaknya ketika sedang shalat, sampai usaha pembuhunan, dst. Bahkan, tidak sedikit yang menjadi musuh beliau itu adalah orang-orang dekat yang masih ada hubungan keluarga.

Oleh sebab itu, jangan terlalu diambil hati apa yang kita dapatkan dari manusia. Tetaplah menjadi orang baik meski dihina, dikucilkan, dituduh yang bukan-bukan, disakiti, dst. Ingat saja bahwa itu memang takdir kehidupan. Jangan sedih, masih ada kehidupan berikutnya, kelak di sana akan tampak terang mana yang benar dan mana yang salah, dihadapan Allah subhanahu wata'ala. Dan masing-masing akan mendapat balasan sesuai dengan perbuatannya.

Kamis, 21 Juni 2018

SELAMATKAN DIRI MESKI HANYA DENGAN SEPARUH KURMA


Jangan pernah berangan-angan untuk singgah di neraka walau hanya sekejap mata. Tidak ada yang sanggup dengan pedih siksaannya. Sebab, siksa teringannya saja sangat mengerikan. Satu celupannya saja sudah cukup untuk membuat manusia lupa dengan semua kenikmatan yang pernah mereka rasakan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda:

يُؤْتَى بِأَنْعَمِ أَهْلِ الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُصْبَغُ فِي النَّارِ صَبْغَةً ثُمَّ يُقَالُ : يَا ابْنَ آدَمَ هَلْ رَأَيْتَ خَيْرًا قَطُّ ؟ هَلْ مَرَّ بِكَ نَعِيمٌ قَطُّ ؟ فَيَقُولُ : لَا وَاللَّهِ يَا رَبِّ

"Didatangkan orang yang paling nikmat hidupnya di dunia yang termasuk penghuni neraka pada hari kiamat lalu dicelupkan ke neraka sekali celupan, setelah itu dikatakan padanya: 'Wahai anak cucu Adam, apakah kau pernah melihat kebaikan sedikit pun, apakah kau pernah merasakan kenikmatan sedikit pun? ' Ia menjawab: 'Tidak, demi Allah, wahai Rabb.'" (HR. Muslim: 2807)

Makanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kita agar berusaha keras menghindarkan diri dari neraka, meski hanya bersedekah separuh kurma. Beliau shallallahu 'alaihi wasallam  bersabda:

مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَتِرَ مِنْ النَّارِ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ فَلْيَفْعَلْ

"Barangsiapa di antara kalian yang mampu menghalangi dirinya dari neraka walau dengan sedekah separuh kurma maka lakukanlah." (HR. Muslim: 1016)

Oleh sebab itu, sisihkanlah sebagian harta untuk disedekahkan agar menjadi penghalang dari neraka. Karena sedekah adalah satu hal yang dapat menghalangi manusia dari kerasnya siksa neraka.

Abdullah bin Mas'ud - Prejudice


Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu anhu said:

مَا أَحْسَنَ عَبْدُ الظَّنِّ بِاللّٰهِ قَطْ إِلَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ عَلَى ذَالِكَ، وَ ذَالِكَ أَنَّ الخَيْرَ كُلُهُ بِيَدِهِ

"No a servant is prejudiced to God except God gives to him his prejudice, because that good things are in His hands." (Kitabuz Zuhd Abu Dawud as Sijistani: 132)

Husnuzzhan to Allah is our duty to Him. Allah knows better and cares more for us than our love for ourselves. Show good faith toward Allah because Rasulullah shallallahu alaihi wasallam said:

 قَالَ اللَّهُ أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي

"Allah says: I always depend the prejudice of my servant to Me." (HR. Bukhari: 7505)

Writer: Zahir al-Minangkabawi
Translator: dr. Halimah Chairunnisa

Rabu, 20 Juni 2018

LINDUNGI ANAK-ANAK DARI PENYAKIT 'AIN



Di zaman kemajuan teknologi ini, jangan terlalu mengekspos diri. Hati-hati mengupload foto/video pribadi atau anak-anak ke media sosial. Sebab, satu hal yang harus kita imani adalah sebuah penyakit yang bernama "penyakit al-'Ain." Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda:

ﺍﻟﻌَﻴْﻦُ ﺣَﻖٌّ ﻭَﻟَﻮْ ﻛَﺎﻥَ ﺷَﻲْﺀٌ ﺳَﺎﺑَﻖَ ﺍﻟﻘَﺪَﺭَ ﻟَﺴَﺒَﻘَﺘْﻪُ ﺍﻟﻌَﻴْﻦُ

Pengaruh ‘ain itu benar-benar ada, seandainya ada sesuatu yang bisa mendahului takdir, maka ‘ainlah yang dapat melakukannya.” (HR. Muslim: 2188)

Penyakit ‘ain adalah penyakit yang dapat menyerang badan maupun jiwa yang disebabkan oleh pandangan mata, baik pandangan mata orang yang dengki ataupun pandangan takjub. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam saja pernah hampir celaka karenanya, sebagaimana yang difirmankan Allah subhanahu wata'ala:

وَإِن يَكَادُ الَّذِينَ كَفَرُوا لَيُزْلِقُونَكَ بِأَبْصَارِهِمْ لَمَّا سَمِعُوا الذِّكْرَ وَيَقُولُونَ إِنَّهُ لَمَجْنُونٌ

Dan sesungguhnya orang-orang kafir itu benar-benar hampir menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka, tatkala mereka mendengar Al Quran dan mereka berkata: "Sesungguhnya ia (Muhammad) benar-benar orang yang gila." (QS. Al-Qalam: 51)

Makanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sangat perhatian dengan penyakit yang satu ini. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, ia pernah menuturkan:

كَانَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم يُعَوِّذُ الْحَسَنَ وَالْحُسَيْنَ وَيَقُولُ: إِنَّ أَبَاكُمَا كَانَ يُعَوِّذُ بِهَا إِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ ، أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ ، وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لاَمَّةٍ

"Nabi shallallahu 'alaihi wasallam membaca bacaan untuk perlindungan Al-Hasan dan al-Husain beliau bersabda: “Sesungguhnya bapak kalian berdua (nabi Ibrahim) sesantiasa membaca bacaan untuk perlindungan Ismail dan Ishaq, bacaannya adalah: "'Audzu bikalimatillahit  tammati min kulli syaithanin wa hammatih wa min kulli 'ainin lammah. (Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari setiap setan dan binatang yang beracun dan dari setiap mata yang menyakitkan).” (HR. Bukhari: 3371)

Itulah yang dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada cucu-cucunya, bukti kasih sayang yang sesungguhnya yaitu berusaha melindungi mereka dari segala pengaruh pandangan mata jahat.

Bandingkan dengan kebanyakan kita di hari ini yang justru menjerumuskan anak cucu pada bahaya besar. Sengaja upload foto dan video mereka yang lucu-lucu agar semua orang di dunia tahu dan menyaksikan.

Padahal dengan perkembangan teknologi yang ada, postingan kita dapat dilihat oleh siapa saja dan dimana saja. Tidak menutup kemungkinan di antara mata yang melihat terdapat mata yang berpenyakit 'ain. Akhirnya anak menjadi sakit, sering menangis, tidak mau makan dan minum, dan sebagainya, dari gejala penyakit 'ain. Karena penyakit ini bisa menyerang melalui foto dan video. Kasihan, padahal mereka masih kecil dan tak tahu apa-apa.

Oleh sebab itu, lindungilah anak-anak dari penyakit ini. Kalau kita memang sayang pada anak dan cucu, bukan begitu cara mengekspresikannya. Akan tetapi seperti Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yaitu berusaha untuk menghindarkannya dari segala pandangan mata jahat dan memohonkan perlindungan kepada Allah subhanahu wata'ala untuk mereka.

TIDUR SETELAH SUBUH



Kadang kala, karena ketidaktahuan kita kehilangan banyak hal berharga. Kita habiskan waktu dan segalanya hanya untuk mengumpulkan batu-batu berkilauan yang kita kira bernilai padahal itu hanyalah pecahan kaca yang telah lama terendam air laut, sedang batu permata yang sesungguhnya justru kita buang.

Waktu antara subuh hingga terbit matahari, adalah waktu yang sangat berharga. Kenapa? Karena ada keberkahan di waktu itu bagi mereka yang mampu memanfaatkannya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

اللَّهُمَّ بَارِكْ لأُمَّتِى فِى بُكُورِهَا

Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya.” (HR. Abu Daud no. 2606, At Tirmidzi no. 1212, Ibnu Majah no. 2236)

Do'a dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Akan tetapi, tidak banyak yang mengetahuinya sehingga waktu itu berlalu begitu saja dengan percuma. Dihabiskan untuk menyambung tidur karena sebelumnya bergadang karena alasan yang tidak terlalu penting.

Di sinilah kesalahan kita, "waktu tidur" kita gunakan untuk bergadang sedang "waktu bangun" kita gunakan untuk tidur. Waktu setelah isya, makhruh untuk hanya sekadar ngobrol ngalor-ngidul. Dengan kata lain jika tidak ada keperluan penting lebih baik cepat tidur. Dari Abu Barzah radhiyallahu anhu, ia mengatakan:

أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْل العِشَاءِ وَالحَدِيْثَ بَعْدَهَا

"Bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam membenci tidur sebelum shalat Isya' dan berbincang setelahnya." (HR. Bukhari: 568, Muslim: 647)

Demikian juga dengan tidur setelah subuh hingga terbit matahari hukumnya juga makhruh. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan:

المَكْرُوْهُ عِنْدَهُمْ: النَّوْمُ بَيْنَ صَلَاةِ الصُّبْحِ وَطُلُوْعِ الشَّمْسِ؛ فَإِنَّهُ وَقْتُ غَنِيْمَةٍ

"Hal yang makruh menurut mereka (para ulama): tidur antara selesai shalat subuh hingga terbit matahari. Karena itu adalah waktu ghanimah." (Madarijus Salikin: 1/324)

"Waktu ghanimah" yaitu waktu meraup kebaikan yang banyak. Makanya para salafush shalih sangat perhatian dalam hal ini. Di antaranya sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abi Syaibah:

عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ أَنَّهُ قَالَ : كَانَ الزُّبَيْرُ يَنْهَى بَنِيْهِ عَنِ التَّصَبُّحِ

Dari Urwah bin Zubair, ia menuturkan: "Bahwa Zubair bin al-Awwam radhiyallahu anhu melarang anak-anaknya untuk tidur di waktu subuh." (al-Mushannaf: 25442)

Bahkan diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu bahwa ia melihat salah seorang anaknya tidur pada waktu subuh maka ia pun mengatakan:

قُمْ، أَتَنَامُ فِي السَّاعَةِ الَّتِي تُقَسَّمُ فِيْهَا الأَرْزَاقُ؟!

"Bagun!! Apakah engkau akan tidur di waktu rezeki sedang dibagikan." (al-Adabu Asy-Sya'iyyah: 3/147)

Oleh sebab itu, perhatikanlah baik-baik waktu setelah subuh, manfaatkan sesuai dengan anjuran Allah dan Rasul-Nya. Waktu setelah subuh adalah waktu yang sangat berharga maka jangan sampai terbuang sia-sia hanya dengan tidur semata.

Minggu, 17 Juni 2018

PUASA SYAWWAL DAN TANDA DITERIMANYA IBADAH YANG LALU


Salah satu sunnah yang seyogyanya dilakukan oleh seorang muslim dan muslimah sepeninggalan bulan Ramadhan adalah berpuasa enam hari di bulan Syawwal. Karena keutamaannya yang besar sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits:

عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Dari Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda: “Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian ia iringi dengan puasa enam hari di bulan Syawwal maka ia seolah telah berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim: 1164)

Disamping itu, puasa enam hari di bulan Syawwal ini sangat penting kedudukannya jika dilihat dan dikaitkan dengan ibadah yang telah kita lakukan sebelumnya di bulan Ramadhan. Sebab, diantara tanda diterimanya amalan ibadah kita sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama yaitu ketika kita dimudahkan untuk mengikutkannya dengan amalan ibadah berikutnya.

Al-Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah menerangkan tentang hal ini. Setelah beliau menyebutkan hadits-hadits tentang anjuran puasa enam hari di bulan Syawwal beliau kemudian mengatakan:

إِنَّ مُعَاوَدَةَ الصِّيَامِ بَعْدَ صِيَامِ رَمَضَانَ عَلَامَةٌ عَلَى قَبُوْلِ صَوْمِ رَمَضَان، ﻓَﺈِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﺇِﺫَﺍ ﺗَﻘَﺒَّﻞَ ﻋَﻤَﻞَ ﻋَﺒْﺪٍ ﻭَﻓَّﻘَﻪُ ﻟِﻌَﻤَﻞٍ ﺻَﺎﻟِﺢٍ ﺑَﻌْﺪَﻩُ ﻛَﻤَﺎ ﻗَﺎﻝَ ﺑَﻌْﻀُﻬُﻢْ: ﺛَﻮَﺍﺏُ ﺍﻟﺤَﺴَﻨَﺔِ ﺍﻟﺤَﺴَﻨَﺔُ ﺑَﻌْﺪَﻫَﺎ ﻓَﻤَﻦُ ﻋَﻤِﻞَ ﺣَﺴَﻨَﺔً ﺛُﻢَّ ﺍِﺗَّﺒَﻌَﻬَﺎ ﺑَﻌْﺪُ ﺑِﺤَﺴَﻨَﺔٍ ﻛَﺎﻥَ ﺫَﻟِﻚَ ﻋَﻼَﻣَﺔً ﻋَﻠَﻰ ﻗَﺒُﻮْﻝِ ﺍﻟﺤَﺴَﻨَﺔِ ﺍﻷُﻭْﻟَﻰﻛَﻤَﺎ ﺃَﻥَّ ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﺣَﺴَﻨَﺔً ﺛُﻢَّ ﺍِﺗَّﺒَﻌَﻬَﺎ ﺑِﺴَﻴِّﺌَﺔٍ ﻛَﺎﻥَ ﺫَﻟِﻚَ ﻋَﻼَﻣَﺔَ ﺭَﺩِّ ﺍﻟﺤَﺴَﻨَﺔِ ﻭَ ﻋَﺪَﻡِ ﻗَﺒُﻮْﻟِﻬَﺎ

"Sesungguhnya membiasakan puasa setelah puasa Ramadhan adalah salah satu tanda diterimanya ibadah puasa Ramadhan. Karena Allah apabila menerima amalan seorang hamba, maka Ia akan memberikan kemampuan kepadanya untuk beramal shalih lagi setelahnya, sebagaimana kata sebagian ulama: 'Ganjaran kebaikan adalah kebaikan setelahnya, barangsiapa melakukan suatu kebaikan kemudian ia ikutkan dengan kebaikan yang lain maka itu adalah tanda diterimanya amal kebaikannya yang sebelumnya, sebagaimana orang yang melakukan kebaikan kemudian ia ikutkan dengan kejelekan maka itu adalah tanda ditolak dan tidak diterimanya kebaikan yang telah ia kerjakan sebelumnya.'" (Lathaiful Ma'arif: 394)

Oleh sebab itu, mari bersungguh-sungguh untuk melakukan puasa enam hari di bulan Syawwal ini. Sehingga kita seolah berpuasa selama setahun penuh dan moga-moga menjadi sebuah petanda diterimanya amal ibadah kita di bulan Ramadhan yang lalu.

MEMELIHARA ANJING KARENA KEBUTUHAN


Kejadian beberapa hari yang lalu mengejutkan orang banyak, terutama masyarakat di desa Persiapan Lawela, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Sebabnya, seorang warganya yaitu Wa Tiba (wanita 54 tahun), ditemukan meninggal dimakan ular piton besar. Tubuhnya masih utuh ditemukan di dalam perut ular, setelah warga berhasil menangkap ular tersebut dan membelah perutnya.

Pada tahun lalu, seorang warga dusun Panggerang, Sulawesi Barat yang bernama Akbar yang mengalami kasus serupa. Hal ini tentu membuat warga sekitar kejadian menjadi resah dan takut. Oleh sebab itu, seorang pakar herpetologi dari LIPI, Amir Hamidy menghimbau masyarakat untuk mengajak anjing saat pergi ke kebun, terlebih di malam hari. Karena anjing akan membantu apabila ada ancaman hewan liar di sekitar manusia.

Di dalam agama Islam hukum memelihara anjing adalah haram. Bahkan, termasuk dosa besar. Akan tetapi, syari'at memberikan beberapa pengecualian. Sebagaimana dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

مَنْ اقْتَنَى كَلْبًا لَيْسَ بِكَلْبِ صَيْدٍ وَلا مَاشِيَةٍ وَلا أَرْضٍ فَإِنَّهُ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِهِ قِيرَاطَانِ كُلَّ يَوْمٍ

"Barang siapa yang memelihara anjing selain anjing berburu, anjing penjaga ternak atau tanah maka akan berkurang pahala kebaikannya sebanyak dua qirath setiap hari." (HR. Muslim: 2974)

Termasuk juga anjing penjaga kebun sebagaimana disebutkan dalam hadits lain (HR. Bukhari: 2145). Itulah pengecualian syariat dalam hal ini. Dan dijelaskan oleh para ulama bahwa jika ada kebutuhan yang bisa dianalogikan pada tiga hal yang diperbolehkan itu maka hukumnya juga boleh. Imam an-Nawawi rahimahullah menjelaskan:

وَأَصَحُّهَا يَجُوْزُ قِيَاسًا عَلَى الثَّلَاثَةِ عَمَلًا بِالعِلَّةِ المَفْهُوْمِ مِنَ الأَحَادِيْثِ وَهِيَ الحَاجَةُ

"Pendapat yang lebih tepat adalah boleh berdasarkan qiyas kepada tiga hal yang diperbolehkan sebagai bentuk pengamalan illat (sebab hukum) yang dapat dipahami dari hadits-hadits yaitu kebutuhan." (Syarh Shahih Muslim: 10/340)

Analoginya yaitu seandainya dibolehkan memelihara anjing demi kebutuhan menjaga keselamatan hewan atau ladang maka memelihara anjing untuk kebutuhan menjaga nyawa manusia tentu lebih dibolehkan lagi.

Oleh sebab itu, jika memang keadaanya seperti warga di Sulawesi itu yang sangat membutuhkan bantuan anjing untuk menjaga diri dari serangan hewan buas terlebih di malam hari maka hal itu diperbolehkan. Namun jika memelihara anjing tanpa ada kebutuhan, bahkan justru hanya sekadar untuk hobi dan senang-senang maka hukumnya haram.

SEBURUK-BURUKNYA KAUM SETELAH RAMADHAN


Tidak ada kata pensiun dalam beribadah. Selama hayat dikandung badan selama itu pula kewajiban menyembah Allah ada di pundak kita. Ibadah tidak terhenti dengan berakhirnya Ramadhan, karena Allah berfirman:

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِين

Sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu kematian. (QS. Al-Hijr: 99)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menjelaskan tentang hakikat sebuah ibadah yang sesungguhnya, yaitu terus menerus tanpa henti meski hanya sedikit. Beliau bersabda:

أَحَبُّ الأَعْمَال إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ

"Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang paling continue meski hanya sedikit." (HR. Muslim: 2818)

Perlu diketahui bahwa seburuk-buruk kaum adalah mereka yang hanya mengenal Allah pada bulan Ramadhan.

قِيْلَ لِبِشْرٍ الحَافِيِّ: أَنَّ قَوْمًا يَتَعَبَّدُوْنَ فِي رَمَضَان وَيَجْتَهِدُوْنَ فِي الأَعْمَالِ، فَإِذَا انْسَلَخَ تَرَكُوْا! قَالَ: بِئْسَ القَوْم قَوْمٌ لَا يَعْرِفُوْنَ اللَّهَ إِلَّا فِي رَمَضَانَ

Pernah dikatakan kepada Bisyr al-Hafiy, bahwasanya ada sebuah kaum yang hanya beribadah pada bulan Ramadhan dan bersungguh-sungguh dalam beramal. Ketika Ramadhan berakhir mereka pun meninggalkan amal. Maka Bisyr mengatakan: "Seburuk-buruknya kaum adalah mereka yang tidak mengenal Allah kecuali hanya pada bulan Ramadhan saja." (Miftahul Afkar: 2/283)

Maka karenanya, jangan sampai ketika bulan Ramadhan yang lalu kita rajin shalat berjama'ah ke masjid namun ketika ia berlalu kita malah rajin shalat di rumah. Jangan sampai al-qur'an yang sering kita baca di bulan Ramadhan yang lalu sekarang malah kita letakkan di lemari, disusun rapi kemudian kita katakan: "Sampai jumpa di Ramadhan berikutnya."

Allah yang kita sembah di bulan Ramadhan juga Allah yang kita sembah di luar bulan Ramadhan. Oleh sebab itu, jangan sampai meninggalkan ibadah yang telah kita latih di bulan Ramadhan agar kita tidak menjadi manusia terburuk.

Jumat, 01 Juni 2018

JANGAN BANGGA, KREDIT ITU HUTANG!


Hidup sederhana dan tak perlu memaksakan diri lebih baik daripada hidup bergelimang harta namun tak pernah merasa tenang, selalu gundah di waktu malam dan hina di waktu siang.

Itulah yang dipesankan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada umatnya. Dalam sebuah hadits, beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda:

لَا تُخِيفُوا أَنْفُسَكُمْ بَعْدَ أَمْنِهَا قَالُوا : وَمَا ذَاكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ : الدَّيْنُ

"Janganlah membuat takut diri kalian setelah ia merasa aman." Para sahabat bertanya: "Apakah itu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Hutang." (HR. Ahmad: 16869, ash-Shahihah: 2420)

Seorang yang beriman pasti akan merasa gundah dan gelisah jika terbelit hutang. Tidur tidak akan tenang, harinya akan dipenuhi dengan ketakutan. Bagaimana tidak demikian sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda:

يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلاَّ الدَّيْنَ

Semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali hutang.” (HR. Muslim no. 1886)

Orang yang mati syahid dengan keutamaan yang begitu besar. Semua dosa diampuni kecuali hutang. Lantas bagaimana dengan orang yang bukan syahid.

Hutang harus dilunasi, kemana pun ia lari untuk menghindar, bahkan mati sekalipun tidak serta merta menyelesaikan. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ

Jiwa seorang mukmin masih bergantung dengan hutangnya hingga dia melunasinya.” (HR. Tirmidzi no. 1078)

Hutang tetap hutang, harus diselesaikan. Jika tidak selesai di dunia maka akan diselesaikan di akhirat. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِىَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ

Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham.” (HR. Ibnu Majah no. 2414)

Maka dari itu, tidak ada kebanggaan bagi seorang yang hidup mewah dan serba ada namun terbelit dalam hutang. Punya rumah tetapi kredit. Punya mobil, motor, dst, tapi juga kredit. Belanja ini dan itu, tinggal gesekkan kartu kredit. Bermudah-mudahan dalam kredit, padahal kredit itu sendiri adalah hutang.

Oleh sebab itu, kembali ke wasiat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tadi. Jangan gadaikan diri kita pada sesuatu yang menakutkan. Selama masih bisa hidup tanpa berhutang, lakukanlah. Meski hidup sederhana dan apa adanya. Zahir al-Minangkabawi

KAPAN MULAI MENGENALKAN IBADAH KEPADA ANAK?


Oleh: al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron

Hal ini sangat penting diketahui oleh orang tua, karena orang tua yang diamanahi untuk menjaga fitrah anak, jangan sampai fitrahnya berubah menjadi Yahudi, Nasrani, Majusi atau ateis karena kelalaian orang tua yang tidak mau menjaga kesucian hati buah hatinya. Ketahuilah bahwa Allah menciptakan manusia agar beribadah hanya kepada-Nya, tidak menyekutukan Dia dengan siapa pun dari makhluk-Nya. Allah berfirman:

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus. (QS. al-Bayyinah: 5)

Apakah ibadah itu?

Ketika orang tua sudah mengenal tujuan Allah menciptakan hamba agar beribadah hanya kepada-Nya, maka orang tua harus menjaga kesucian hati anak agar menjadi anak yang ahli ibadah. Tentu orang tua harus mengerti terlebih dahulu apakah maksud dari ibadah itu sendiri, sehingga bisa mengajari anaknya agar beribadah kepada Allah dengan cara yang benar.
Ibadah bukan hanya shalat atau mengerjakan rukun Islam saja, tetapi makna ibadah yang luas ialah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, seperti yang dijelaskan oleh ahli tafsir semisal Ibnu Katsir. (Tafsir Ibnu Katsir 6/108)

Dan yang lebih jelas lagi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, bahwa ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang batin. (Iqtidha’ Sirath al-Mustaqim)

Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah yang berkaitan dengan hati. Sedangkan tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisan dan hati. Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah fisik dan hati.

Dengan dasar makna ibadah di atas anak hendaknya dibimbing dalam ibadah semenjak dia punya perhatian atau mengerti, walaupun belum sempurna akalnya. Karena ibadah bukan hanya gerakan anggota badan, tetapi perkataan dan keyakinan dalam hati.

Anak dilatih bicara yang baik 

Anak hendaknya dilatih bicara yang baik ketika dia mulai bisa bicara, walaupun belum sempurna kata-katanya, membaca basmalah pada saat mau makan dan apa yang dibaca setelah makan. mengucapkan alhamdulillah ketika bersin, sekalipun orang tua yang harus menuntunnya. Demikian juga dilatih mendengarkan suara al-Qur’an dan hadits atau doa-doa yang ma’tsur; apa yang dibaca pada saat mau tidur, bangun tidur, diajari menyampaikan salam walaupun belum tegas bicaranya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

يُسَلِّمُ الصَّغِيرُ عَلَى الْكَبِيرِ ، وَالْمَارُّ عَلَى الْقَاعِدِ ، وَالْقَلِيلُ عَلَى الْكَثِيرِ

“Hendaklah yang kecil menyampaikan salam kepada yang besar, dan orang yang lewat menyampaikan salam kepada yang duduk, dan yang sedikit jumlahnya menyampaikan salam kepada yang banyak.” (HR. al-Bukhari: 6670)

Anak dilatih agar takut kepada Allah

Tatkala anak melakukan perbuatan yang melanggar syar’i seperti mencuri, mengambil barang temannya atau perbuatan dosa lainnya, hendaknya diberitahu agar takut siksa Allah, walaupun dia masih kecil atau umurnya kurang dari dua tahun. Abu Hurairah berkata, “Hasan bin Ali (cucu Rasulullah) pernah mengambil sebiji kurma yang berasal dari kurma zakat, lalu dia menelannya, maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

كِخْ كِخْ ارْمِ بِهَا أَمَا عَلِمْتَ أَنَّا لَا نَأْكُلُ الصَّدَقَةَ

'Kikh! Kikh! Muntahkanlah! Tidakkah kamu ketahui bahwa sesungguhnya kita tidak diperbolehkan memakan harta zakat?!'” (HR. Muslim 3/117 no. 518)

Imam an-Nawawi berkata, “Anak kecil diperlakukan seperti orang tua, apabila dia salah, tidak boleh dibiarkan, akan tetapi hendaknya orang tua atau walinya yang menasihati mereka.” (Syarh Shahih Muslim 4/33)

Yang dapat diambil faedah dari hadits ini, bahwa beliau shallallahu alaihi wasallam mengajari cucunya yang masih kecil agar mengenal zakat walaupun kadar pemahamannya belum sempurna dan belum berkewajiban zakat pula, di sisi lain anak kecil dikenalkan pula perkara yang haram walaupun hanya dengan ucapan. Yaitu bahwa mengambil barang yang bukan miliknya hukumnya haram.

Anak dilatih mengenal amalan shalat

Anak perlu dikenalkan amal shalat walaupun belum saatnya dia dilatih shalat, bukankah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menggendong cucunya pada saat shalat, Hasan dan Husain berada di punggung beliau pada saat beliau sujud, tentu hal ini bila tidak mengganggu orang yang shalat pada saat shalat berjamaah.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ketika ditanya tentang hukum membawa anak kecil shalat di masjid, beliau menjawab, “Menurut hemat saya, membawa anak-anak yang akan mengganggu jamaah shalat tidak boleh. Karena hanya akan menyakiti jamaah yang sedang menunaikan kewajiban dari Allah…” (Fatawa Islamiyyah 2/8)

Dari Abu Qatadah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

 إِنِّي لَأَقُومُ فِي الصَّلَاةِ أُرِيدُ أَنْ أُطَوِّلَ فِيهَا فَأَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِيِّ فَأَتَجَوَّزُ فِي صَلَاتِي كَرَاهِيَةَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمِّهِ

"Aku pernah ingin memanjangkan shalat, namun aku mendengar tangisan bayi. Maka aku pendekkan shalatku karena khawatir akan memberatkan ibunya.” (HR. al-Bukhari: 666)

Bila dia sudah berumur tujuh tahun, hendaknya dilatih untuk menjalankan shalat, bahkan lebih utama bila sebelumnya sudah dilatih agar terbiasa menjalankan shalat. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

 مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ 

”Perintahkan anakmu agar menjalankan shalat tetkala berumur 7 tahun, dan pukullah mereka jika enggan menjalankan shalat tetkala berumur 10 tahun, dan pisahkan tempat tidur mereka dengan yang lain.” (Shahih, HR. Abu Dawud 2/167)

Anak hendaknya diajari mengenal Allah 

Pada saat anak merengek meminta sesuatu kepada orang tuanya, alangkah indahnya jika orang tua menyisipkan kata-kata yang indah, “Orang tuamu tidak punya apa apa, ini semua miliknya Allah. Mari kita memohon kepada Allah.” Ibnu Abbas berkata. "Pada suatu hari aku berada di belakang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda:

يَا غُلَامُ إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ احْفَظْ اللَّهَ يَحْفَظْكَ احْفَظْ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلْ اللهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ 

"Nak, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: Peliharalah (hak) Allah niscaya Allah akan memeliharamu. Peliharalah (hak) Allah, niscaya kamu akan mendapatkan-Nya berada di hadapanmu (melindungimu). Jika kamu memohon, maka mohonlah kepada Allah. Jika meminta pertolongan, maka mintalah pertolongan kepada Allah.” (Shahih, al-Misykah: 5302 dan Zhilal al-Jannah hal. 316-318)

Adapun maksud menjaga Allah adalah dengan cara menjaga hak-Nya, yaitu menjalankan yang wajib dan sunnah, serta menjauhi larangan-Nya. Sedangkan yang dimaksud dengan penjagaan Allah terhadap manusia ada dua bentuk; Allah menjaga urusan dunianya dalam bentuk menyehatkan badannya, melapangkan rezekinya, menjaga anak, istri dan lain-lain. (Tuhafatul Ahwadzi 6/308)

Membiasakan mengamalkan sunnah semampunya

Walau anak masih kecil, perlu dibimbing amalan kesehariannya agar mengikuti sunnah, terutama tatkala mereka bersama saudara atau temannya, pada saat mau makan atau yang lainnya. Umar bin Abu Salamah a\ berkata, “Pada waktu aku masih kecil dan berada di bawah asuhan Rasulullah n\, tanganku berkeliaran di nampan saat makan. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

يَا غُلَامُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ

‘Nak, bacalah bismillah, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah makanan yang ada di hadapanmu.’ Maka seperti itulah cara makanku setelah itu.” (HR. al-Bukhari 18/102)

Tapi jika makanan itu di tempat yang terpisah, tentu boleh mengambilnya sesuka hati, akan tetapi hendaknya mendahulukan yang lebih tua sebagai bukti penghormatannya. Jika si kecil tetap sulit diatur, maka orang tua hendaknya memberitahu kakaknya atau yang lebih tua hendaknya mengalah.

Ibnu Baththal berkata, “Jika makanan beraneka macam dan di tempat yang berbeda-beda, maka boleh kita mengambilnya, sekalipun bukan di depan kita.” (Syarh Shahih al-Bukhari, Ibnul Baththal 18/71)

Dilarang banyak gurau dan tertawa 

Kebiasaan anak memang senang senda gurau dan tertawa dengan saudara atau temannya, namun jika berlebihan tentu sangat berbahaya. Bercanda dengan anak dianjurkan, tapi ada batas waktunya, dan orang tua hendaknya memperhatikan dengan cermat, bahwa termasuk kebiasaan anak yang awalnya senda gurau, karena berlebihan akhirnya bertengkar. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

وَلاَ تُكْثِرِ الضَّحِكَ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ 

“Dan janganlah kamu sering tertawa, karena sering tertawa mematikan hati.” (HR. at-Tirmidzi, dishahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah 2/18)

Umar bin Khaththab berkata, “Barangsiapa sering bersenda gurau, maka dia akan menjadi hina.” (Syu’abul Imam, al-Baihaqi 11/233)

Jangan membebani amal ibadah di luar kemampuannya 

Kemampuan anak yang satu dengan yang lain tentu berbeda, ada yang kuat dan ada yang lemah, ada yang cerdas, yang menengah dan seterusnya. Maka orang tua hendaknya tidak memerintah anaknya kepada hal yang tidak dimampui, dan hendaknya tidak berkeras kepala, suka memukul dan mencela, karena mereka tidak mampu. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ

“Jangan memukul wajahnya, jangan menjelek-jelekkannya.” (Shahih Sunan Abu Dawud)

Semoga Allah senantiasa melindungi keluarga kita dari hal yang tidak diridhai-Nya. (Terbit di Majalah Al-Mawaddah, Edisi vol. 96.: Pendidikan Anak Muslim)