Jika sebelum dilahirkan manusia itu bisa memilih, maka masing-masing akan meminta segala yang “wah” pada dirinya. Ia tentu ingin dilahirkan dari keluarga berdarah biru. Dilahirkan dengan otak secerdas Albert Einstein. Berparas gagah dan cantik; berkulit putih bersih, tinggi, hidung mancung, persis seperti Nabi Yusuf. Semuanya sempurna tidak ada kurang.
Tapi kita dilahirkan dengan takdir yang sudah ditetapkan. Ada yang kaya, ada yang miskin, ada yang gagah, ada yang biasa-biasa saja dan seterusnya.
Saya terkadang seyum-seyum sendiri, ketika melihat anak-anak sekolahan “gaya-gaya” di jalan raya dengan tunggangan CBR-nya, boncengan gadis remaja tanggung pula di belakangnya. Seolah jalan hanya milik mereka berdua. Aura kesombongan terlihat jelas dari mereka. Dalam hati, saya mengatakan: “Paling dibelikan bapaknya, dan mungkin juga setelah meregek-regek dulu.” Takdir Allah menjadikan dia lahir dari keluarga yang kaya raya. Jadi, kalau bukan karena takdir, tentu ceritanya jadi lain.
Untunglah agama kita tidak menjadikan itu semua sebagai standar kemuliaan. Di hadapan Allah, kita ini semuanya sama. Sama-sama hina jika banyak dosa dan sama-sama mulia jika bertakwa. Allah berfirman:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kamu.” (QS. al-Hujurat: 13)
Lantas, apa yang hendak kita banggakan dengan harta dan kekuasaan itu. Padahal, yang dilihat Allah hanyalah ketakwaan. Oleh sebab itu, jangan pernah sombong dengan apa yang kita miliki, semua itu murni takdir ilahi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar