Selasa, 29 Agustus 2017
RUGI BESAR (Art.Salayok38)
Tidak ada manusia yang ingin merugi. Tapi, betapa banyak orang-orang yang merugi sedangkan ia tidak sadar telah merugi, terlebih di zaman kita ini.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « رَغِمَ أَنْفُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُ ». قِيلَ مَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « مَنْ أَدْرَكَ أَبَوَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا فَلَمْ يَدْخُلِ الْجَنَّةَ
Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah pernah bersabda:
“Rugi besar ia! Rugi besar! Rugi besar!” Seorang bertanya: “Siapa dia wahai Rasulullah?” Beliu menjawab: “Orang yang mendapati salah seorang atau kedua orang tuanya ketika mereka sudah renta tapi ia tidak masuk surga.” (HR. Muslim: 2551)
Mengapa mereka tidak masuk surga? Kita biarkan Imam Nawawi yang menjawabnya, beliau menjelaskan:
“Orang itu masuk surga karena ia berbuat baik kepada kedua orang tuanya dan memberikan nafkah terutama pada saat mereka sudah lanjut usia atau lemah fisiknya, sehingga barang siapa tidak peduli dengan orang tuanya maka tidak masuk surga.” (lihat: Syarh Shahih Muslim 8/338)
Alangkah mirisnya kita menyaksikan kenyataan di zaman ini. Berapa banyak orang tua yang dibiarkan oleh anak-anaknya begitu saja. Jangankan untuk memberikan sesuatu buat makan minum mereka bertanya kabar saja tidak.
Sedih memang, karena mereka (orang tua) yang dahulu berjuang untuk tumbuh kembang anak-anaknya, sekarang pun masih terus berjuang untuk menyambung hidup mereka.
Mereka yang senantiasa berusaha memberikan kebahagian untuk anaknya, dibalas dengan sesatu yang membuat hati mereka remuk redam. Menutup mata bersama air mata kesedihan.
Maka oleh sebab itu, jika Anda masih punya orang tua jangan sia-siakan. Karena mereka adalah pintu surga Anda. Berbaktilah sebelum datang penyesalan.
Semoga bermanafaat
Zahir al-Minangkabawi
SOGOK, RIBA DAN KEHIDUPAN KITA (Art.Salayok37)
Satu hal yang harus kita sadari bahwa kehidupan kita sebagai seorang muslim di zaman ini apalagi di tanah air kita ini terasa sulit. Banyak kerusakan yang terjadi dalam masyarakat kita. Silahkan Anda sebut sendiri kerusakan apa saja itu.
Kita tidak hendak menyalahkan siapa-siapa, karena memperbaiki adalah tanggung jawab kita bersama. Mencari sebab dari kesempitan dan musibah yang kita hadapi ini adalah salah satu upaya agar kita bisa menemukan jalan keluar yang tepat.
Sebuah ayat dalam al-Qur’an, yang semoga bisa kita renungi:
وَتَرَى كَثِيرًا مِنْهُمْ يُسَارِعُونَ فِي الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Dan kamu akan melihat kebanyakan mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka kerjakan itu.” (QS. Al-Maidah: 62)
Allah menggambarkan sebuah masyarakat yang rusak dan hancur di masa itu, yaitu masyarakat Yahudi. Dimana salah satu ciri khas mayarakat tersebut adalah mayoritasnya sangat suka memakan harta haram dalam bentuk sogok dan riba.
Bila hal itu ditiru oleh masyarakat muslim (sogok dan riba), maka kerusakan dalam masyarakat muslim tentu tidak akan terelakkan.
Mari kita tinggalkan sogok dan riba, agar kehidupan kita membaik.
Kita tidak hendak menyalahkan siapa-siapa, karena memperbaiki adalah tanggung jawab kita bersama. Mencari sebab dari kesempitan dan musibah yang kita hadapi ini adalah salah satu upaya agar kita bisa menemukan jalan keluar yang tepat.
Sebuah ayat dalam al-Qur’an, yang semoga bisa kita renungi:
وَتَرَى كَثِيرًا مِنْهُمْ يُسَارِعُونَ فِي الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Dan kamu akan melihat kebanyakan mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka kerjakan itu.” (QS. Al-Maidah: 62)
Allah menggambarkan sebuah masyarakat yang rusak dan hancur di masa itu, yaitu masyarakat Yahudi. Dimana salah satu ciri khas mayarakat tersebut adalah mayoritasnya sangat suka memakan harta haram dalam bentuk sogok dan riba.
Bila hal itu ditiru oleh masyarakat muslim (sogok dan riba), maka kerusakan dalam masyarakat muslim tentu tidak akan terelakkan.
Mari kita tinggalkan sogok dan riba, agar kehidupan kita membaik.
Minggu, 13 Agustus 2017
MAKANAN DAN IBADAH (Art.Salayok36)
Andaikata kita tak bersemangat lagi dalam beribadah, tidak bergairah, semua terasa hampa dan biasa-biasa saja atau bahkan terasa berat, maka tidak ada salahnya kita melihat dan meninjau kembali makanan kita sehari-hari. Apakah halal atau tidak, sebab Allah subhanahu wata'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Wahai para rasul, makanlah dari makan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Mu’minun: 51)
Di dalam ayat ini, Allah memerintahkan para rasul-Nya dan hal ini tentu berlaku juga untuk kita semua, agar hanya memakan makanan yang halal, baik halal secara dzatnya maupun cara mendapatkannya, kemudian memerintahkan untuk beramal shalih.
Hal itu mengisyaratkan bahwa ada hubungan erat antara mengkonsumsi makanan yang halal dengan amal shalih. Maka jangan diharap jasad kita akan bergairah untuk melakukan amal-amal shalih bila ternyata jasad tersebut tumbuh dari makanan yang haram.
Karenanya, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mewanti-wanti umatnya agar tidak makan makanan yang haram. Beliau shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda kepada Ka'ab bin Ujrah radhiyallahu anhu:
يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحتٍ إلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَولَى بِهِ
"Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, tidaklah daging manusia tumbuh dari barang yang haram kecuali neraka lebih utama atasnya." (HR. Tirmidzi: 614)
Ketika tubuh tumbuh dari sesuatu yang buruk ia pun akan sulit untuk beramal shalih sebaliknya ia mudah melakukan keburukan sehingga akhirnya bermuara ke neraka.
Oleh sebab itu, mari memperhatikan makanan yang kita makan. Jangan sampai makanan yang haram atau didapatkan dari pekerjaan yang haram, supaya kita tetap bersemangat dalam beribadah. Diberikan kemudahan untuk selalu istiqamah dalam beramal shalih.
KUFFA ALAIKA HADZA (Art.Salayok35)
Mu’adz bin Jabal pernah bertanya kepada Rasulullah tentang amalan-amalan yang dapat memasukkan seseorang ke dalam surga dan menjauhkan dari neraka. Lalu Rasulullah memberitahu beberapa amalan. Kemudian beliau n bersabda:
أَلاَ أُخْبِرُكَ بِمَلاَكِ ذَلِكَ كُلِّهِ ؟ قُلْتُ : بَلَى يَا نَبِيَّ اللهِ ، فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ قَالَ : كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا ، فَقُلْتُ : يَا نَبِيَّ اللهِ ، وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ ؟ فَقَالَ : ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ ، وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ
“Maukah engkau aku kabarkan mengenai kunci dari semua itu (amalan yang memasukkan ke surga)?” Aku (Mu’adz) menjawab: “Tentu wahai Nabi Allah.” Rasulullah mengambil lidahnya kemudian bersabda: “Jagalah olehmu ini!” Aku (Mu’adz) bertanya lagi: “Wahai Nabi Allah, apakah kita akan diadzab oleh sebab apa yang kita ucapkan?” Rasulullah menjawab: “Kasihan ibumu wahai Mu’adz, tidaklah manusia itu ditelungkupkan di atas wajah atau hidung mereka di dalam neraka melainkan karena sebab buah ucapan mereka.” (HR. Tirmidzi: 2616, dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil no. 413)
Seorang yang banyak bicara akan semakin rentan jatuh dalam kesalahan. Oleh sebab itu, menjaga lisan agar tidak membicarakan sesuatu yang tidak bermanfaat terlebih yang haram adalah kewajiban setiap muslim.
Al-Imam Salamah bin Dinar (Wafat 140H) pernah mengatakan:
يَنْبَغِي لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَكُوْنَ أَشَدَّ حِفْظًا لِلِسَانِهِ مِنْهُ لِمَوْضِعِ قَدَمَيْهِ
“Sudah sepatutnya seorang mukmin berusaha keras menjaga lisannya melebihi usahanya menjaga tempatnya berpijak.” (Mawa’izh al-Imam Salamah bin Dinar hlm: 19)
أَلاَ أُخْبِرُكَ بِمَلاَكِ ذَلِكَ كُلِّهِ ؟ قُلْتُ : بَلَى يَا نَبِيَّ اللهِ ، فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ قَالَ : كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا ، فَقُلْتُ : يَا نَبِيَّ اللهِ ، وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ ؟ فَقَالَ : ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ ، وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ
“Maukah engkau aku kabarkan mengenai kunci dari semua itu (amalan yang memasukkan ke surga)?” Aku (Mu’adz) menjawab: “Tentu wahai Nabi Allah.” Rasulullah mengambil lidahnya kemudian bersabda: “Jagalah olehmu ini!” Aku (Mu’adz) bertanya lagi: “Wahai Nabi Allah, apakah kita akan diadzab oleh sebab apa yang kita ucapkan?” Rasulullah menjawab: “Kasihan ibumu wahai Mu’adz, tidaklah manusia itu ditelungkupkan di atas wajah atau hidung mereka di dalam neraka melainkan karena sebab buah ucapan mereka.” (HR. Tirmidzi: 2616, dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil no. 413)
Seorang yang banyak bicara akan semakin rentan jatuh dalam kesalahan. Oleh sebab itu, menjaga lisan agar tidak membicarakan sesuatu yang tidak bermanfaat terlebih yang haram adalah kewajiban setiap muslim.
Al-Imam Salamah bin Dinar (Wafat 140H) pernah mengatakan:
يَنْبَغِي لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَكُوْنَ أَشَدَّ حِفْظًا لِلِسَانِهِ مِنْهُ لِمَوْضِعِ قَدَمَيْهِ
“Sudah sepatutnya seorang mukmin berusaha keras menjaga lisannya melebihi usahanya menjaga tempatnya berpijak.” (Mawa’izh al-Imam Salamah bin Dinar hlm: 19)
Jumat, 11 Agustus 2017
MASUK YANG MANA? (Art.Salayok34)
Rasulullah pernah bersabda:
مَنْ كَانَتِ الآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ ، وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ ، وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهُ ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ مَا قُدِّرَ لَهُ
“Barangsiapa menjadikan akhirat sebagai tujuan utamanya, niscaya Allah akan menjadikan kekayaan berada di dalam hatinya, akan dilancarkan urusannya serta dunia akan datang dengan sendirinya.
Sebaliknya, barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai tujuan utamanya, niscaya Allah akan menjadikan kemiskinan selalu berada di depan kedua matanya, urusannya akan berantakan dan dunia tidak akan datang padanya kecuali sebatas apa yang telah ditentukan untuknya saja.” (HR. Tirmidzi: 2465)
Sekarang tinggal satu pertanyaan, “Kita masuk yang mana?!”
مَنْ كَانَتِ الآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ ، وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ ، وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهُ ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ مَا قُدِّرَ لَهُ
“Barangsiapa menjadikan akhirat sebagai tujuan utamanya, niscaya Allah akan menjadikan kekayaan berada di dalam hatinya, akan dilancarkan urusannya serta dunia akan datang dengan sendirinya.
Sebaliknya, barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai tujuan utamanya, niscaya Allah akan menjadikan kemiskinan selalu berada di depan kedua matanya, urusannya akan berantakan dan dunia tidak akan datang padanya kecuali sebatas apa yang telah ditentukan untuknya saja.” (HR. Tirmidzi: 2465)
Sekarang tinggal satu pertanyaan, “Kita masuk yang mana?!”
SAMBUNG LAGI (Art.Salayok33)
Bagaimana mau lancar rezekinya?! Kakak jadi musuh, adik ngak sapaan. Paman, bibi apalagi, jauh sekali. Silaturrahimnya diputus.
Padahal, Rasulullah bersabda:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa mengiginkan untuk diluaskan rezekinya serta diundur ajalnya maka hendaklah ia bersilaturrahim.” (HR. Bukhari: 5640, Muslim: 2557)
Maka sambunglah hubungan yang selama ini terputus, timbun kembali jurang pemisah itu dengan pasir maaf.
Jauhnya jarak dan tempat bukan halangan lagi di zaman ini, yang penting kuncinya “Hati.”
Siapa saja yang disebut kerabat, yang diperintahkan kepada kita untuk menyambung silaturahim?
Kata Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin: mereka yang masih ada hubungan dengan kita sampai kakek keempat. (Lihat: al-Qaulul Mufid 1/35)
Semoga bermanfaat.
Padahal, Rasulullah bersabda:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa mengiginkan untuk diluaskan rezekinya serta diundur ajalnya maka hendaklah ia bersilaturrahim.” (HR. Bukhari: 5640, Muslim: 2557)
Maka sambunglah hubungan yang selama ini terputus, timbun kembali jurang pemisah itu dengan pasir maaf.
Jauhnya jarak dan tempat bukan halangan lagi di zaman ini, yang penting kuncinya “Hati.”
Siapa saja yang disebut kerabat, yang diperintahkan kepada kita untuk menyambung silaturahim?
Kata Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin: mereka yang masih ada hubungan dengan kita sampai kakek keempat. (Lihat: al-Qaulul Mufid 1/35)
Semoga bermanfaat.
Rabu, 09 Agustus 2017
DIAM ADALAH EMAS (Art.Salayok32)
Rasulullah pernah bersabda:
مَنْ صَمَتَ نَجَا
“Barang siapa yang diam akan selamat.” (HR. Tirmidzi: 2503, dishahihkan oleh al-Albani dalam al-Silsilah ash-Shahihah no. 536)
Dalam hadits yang lain:
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari: 6018, Muslim: 47)
Benar kata orang-orang bijak dahulu: “Diam adalah emas”. Sulaiman bin Dawud pernah mengatakan:
إِنْ كَانَ الكَلَامُ مِنْ فِضَّةٍ فَالسُّكُوْتُ مِنْ ذَهَبٍ
“Jika bicara adalah perak, maka diam adalah emas.” (Nadhratu an-Na’im 7/2640)
Betapa banyak orang yang beruntung atau selamat dari keburukan disebabkan diam. Dan betapa banyak pula orang yang celaka akibat tidak bisa menjaga lisan.
Namun yang perlu kita perhatikan bahwa diam yang akan menjadi emas, membawa keberuntungan adalah diam dari sesuatu yang tidak bermanfaat terlebih dari sesuatu yang haram.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah pernah mengatakan:
“Berbicara dengan pembicaraan yang baik lebih baik (utama) daripada mendiamkannya, dan diam dari sesuatu yang jelek lebih baik daripada membicarakannya. Adapun terus menerus diam adalah bid’ah, sesuatu yang terlarang.” (Majmu’ Fatawa cet. Dar al-Wafa’ 11/200)
Oleh karena itu, Rabi’ bin Khaitsam pernah mengatakan:
لَا خَيْرَ فِي الكَلَامِ إِلَّا فِي تِسْعٍ: تَهْلِيْلٍ، وَتَكْبِيْرٍ، وَتَسْبِيْحٍ، وَتَحْمِيْدٍ، وَسُؤَالِكَ عَنْ الخَيْرِ، وَتَعَوُّذِكَ مِنَ الشَّرِّ، وَأَمْرِكَ بِالمَعْرُوْفِ، وَنَهْيِكَ عَنِ المُنْكَرِ، وَقِرَاءَتِكَ القُرْآنَ
“Tidak ada kebaikan dalam pembicaran kecuali dalam sembilan hal; Tahlil, takbir, tasbih, tahmid, berdo'a meminta kebaikan, berlindung dari keburukan, amar ma’ruf dan nahi mungkar (dakwah), serta membaca al-Qur’an.” (Nadhratu an-Na’im 7/2643)
Mari memperbanyak diam, meninggalkan ucapan yang tidak bermanfaat dan yang mencelakakan. Sebab, semua ucapan kita akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah subhanallahu wata'ala.
Semoga bermanfaat.
Zahir al-Minangkabawi
مَنْ صَمَتَ نَجَا
“Barang siapa yang diam akan selamat.” (HR. Tirmidzi: 2503, dishahihkan oleh al-Albani dalam al-Silsilah ash-Shahihah no. 536)
Dalam hadits yang lain:
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari: 6018, Muslim: 47)
Benar kata orang-orang bijak dahulu: “Diam adalah emas”. Sulaiman bin Dawud pernah mengatakan:
إِنْ كَانَ الكَلَامُ مِنْ فِضَّةٍ فَالسُّكُوْتُ مِنْ ذَهَبٍ
“Jika bicara adalah perak, maka diam adalah emas.” (Nadhratu an-Na’im 7/2640)
Betapa banyak orang yang beruntung atau selamat dari keburukan disebabkan diam. Dan betapa banyak pula orang yang celaka akibat tidak bisa menjaga lisan.
Namun yang perlu kita perhatikan bahwa diam yang akan menjadi emas, membawa keberuntungan adalah diam dari sesuatu yang tidak bermanfaat terlebih dari sesuatu yang haram.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah pernah mengatakan:
“Berbicara dengan pembicaraan yang baik lebih baik (utama) daripada mendiamkannya, dan diam dari sesuatu yang jelek lebih baik daripada membicarakannya. Adapun terus menerus diam adalah bid’ah, sesuatu yang terlarang.” (Majmu’ Fatawa cet. Dar al-Wafa’ 11/200)
Oleh karena itu, Rabi’ bin Khaitsam pernah mengatakan:
لَا خَيْرَ فِي الكَلَامِ إِلَّا فِي تِسْعٍ: تَهْلِيْلٍ، وَتَكْبِيْرٍ، وَتَسْبِيْحٍ، وَتَحْمِيْدٍ، وَسُؤَالِكَ عَنْ الخَيْرِ، وَتَعَوُّذِكَ مِنَ الشَّرِّ، وَأَمْرِكَ بِالمَعْرُوْفِ، وَنَهْيِكَ عَنِ المُنْكَرِ، وَقِرَاءَتِكَ القُرْآنَ
“Tidak ada kebaikan dalam pembicaran kecuali dalam sembilan hal; Tahlil, takbir, tasbih, tahmid, berdo'a meminta kebaikan, berlindung dari keburukan, amar ma’ruf dan nahi mungkar (dakwah), serta membaca al-Qur’an.” (Nadhratu an-Na’im 7/2643)
Mari memperbanyak diam, meninggalkan ucapan yang tidak bermanfaat dan yang mencelakakan. Sebab, semua ucapan kita akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah subhanallahu wata'ala.
Semoga bermanfaat.
Zahir al-Minangkabawi
Selasa, 08 Agustus 2017
PENTINGNYA MUSTHALAHUL HADITS (Art.Qawa’id Fikih2)
Tentang pentingnya Musthalahul Hadits dalam ilmu Fiqh adalah hal yang ma’ruf. Sebab, sebagaimana yang kita sebutkan sebelumnya, bahwa Fiqh diambil dari dua sumber. Salah satunya adalah as-Sunnah yaitu setiap apa yang datang dari Rasulullah, baik berupa ucapan, perbuatan maupun ketetapan beliau.
Bagaimana seorang akan dapat menyimpulkan suatu hukum dari sebuah hadits sementara ia tidak mengerti istilah-istilah tentang ilmu hadits.
Sebagai contoh mudah, kita sering mendengar bahwa para Ulama Hadits ketika melemahkan sebuah hadits mengatakan: “Hadits tersebut Munqati’, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah” atau kita pernah mendengar juga: “Hadits itu hadits yang Syadz” dan seterusnya. Padahal, jika kita mempelajari kitab-kitab Fiqh para Ulama (terkhusus kitab fikih perbandingan madzhab) seperti kitab ad-Darari al-Mudhiyah oleh Imam Syaukani, maka kita akan sering menjumpai istilah-istilah seperti di atas.
Seorang akan mampu menguatkan sebuah pendapat dari dua atau lebih pendapat yang ada jika ia mampu memahami hadits-hadits yang berkaitan dengan permasalahan tersebut. Dengan mengetahui kondisi hadits-hadits, ia bisa memilih pendapat yang lebih kuat, sehingga mampu lepas dari zona taklid dan mendekat langsung ke sumber asalnya, yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Sehingga ketika melakukan sebuah amalan hati kita yakin dan tenang. Bukankah kita semua ingin seperti itu? Saya rasa begitu. Semoga bermanfaat. Zahir al-Minangkabawi
Al-USHULUL ARBA' (Art.Qawa'id Fikih1)
Ilmu Fiqh merupakan ilmu yang penting dalam syariat Islam. Karena sebagaimana yang diketahui, ibadah seseorang tidak akan diterima kecuali jika memenuhi dua persyaratan; Ikhlas dan Mutaba’ah.Untuk memenuhi persyaratan pertama maka seseorang wajib mempelajari ilmu Aqidah/ Ushuluddin sedangkan untuk persyaratan kedua wajib mempelajari ilmu Fiqh.
Seorang yang ingin masuk ke dalam ilmu Fiqh, terlebih Fiqhul Muqaranah (Fikih perbandingan madzhab) maka ada beberapa ilmu yang harus ia kuasai. Apabila satu saja dari ilmu-ilmu itu tidak ia kuasai, maka ia akan sangat rentan jatuh pada kesalahan dalam Istimbatul Ahkam (mengeluarkan hukum dari dalil-dalil yang ada).
Para ulama telah menjelaskan tentang hal itu. Di antaranya, Syaikh Abdullah al-Bassam di muqaddimah kitab beliau Taudihul Ahkam min Bulughil Maram. Kata beliau:
Barang siapa yang berkecimpung dalam Istimbatul Ahkam Syar’iyah (mengeluarkan hukum syari’at) dari sumber aslinya yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah, atau ia menjumpai hukum-hukum itu dari orang yang mengambilnya dari sumber ini, ia fukuskan pandangannya pada hukum-hukum itu kemudian ia ambil pendapat yang dia lihat paling dekat kepada kebenaran, maka orang seperti ini wajib baginya untuk mengetahui (menguasai) al-Ushulul Arba’ (pokok yang empat) yaitu:
1. Mushtalahul Hadits
2. Ushulul Fiqh
3. Al-Qawa’idul Fiqhiyyah
4. Al-Maqashidu as-Syar’iyyah
Oleh sebab itu, sebagai penuntut ilmu kita tidak layak atau bahkan tidak boleh berbicara tentang Fiqh apalagi sampai memperdebatkannya tanpa menguasai ilmu-ilmu ini. Mari bersemangat dalam menuntut ilmu, ternyata masih banyak yang butuh untuk kita pelajari. Semoga bermanfaat. Zahir al-Minangkabawi
BUKAN DUIT ATAU JABATAN
Jika kita memperhatikan, tidak sedikit orang yang lebih memilih menjadi bayang-bayang orang lain ketimbang menjadi pribadi sendiri.
Contoh mudah, ketika Pak Jokowi jadi Presiden, saya yakin orang-orang yang mengenal beliau juga turut bahagia dan bangga. Mungkin saja, tukang sayur tempat beliau biasa membeli sayur akan mengatakan dengan bangga: “Saya ini loo, juga dikenal Pak Jokowi… Kalau tidak percaya, coba aja tanya sama dia.”
Sering kita mendengar seorang menyebut dan membangga-banggakan kakek atau neneknya. “Kakek saya dahulu adalah seorang dermawan, sehingga dikenal oleh orang sekampung.”
Begitulah sebagian orang, bangga dengan kebesaran orang lain. Sebagian anak bahkan menjadi sombong karena kekayaan orang tuanya. Sebagian lain menjadi sok berkuasa disebabkan ia anak Walikota. Padahal, yang kaya dan berkuasa itu bukan dia, tapi bapaknya.
Kita semua bisa mengatakan: “Saya pernah kenal dengan Fulan. Saya pernah berteman dengan Alan.” Tetapi hal itu bukanlah kebanggaan. Kebanggaan yang sesungguhnya adalah kitalah yang menjadi orang sukses. Dan perlu dipahami, bahwa kesuksesan itu bukan duit atau jabatan, tapi bagaimana kita bisa bermanfaat untuk orang lain. Disenangi karena keramahan, dikenang karena kedermawanan. Persis seperti kata orang-orang tua dahulu:
Pulau pandan jauh di tengah
Di balik pulau angsa dua
Habis badan dikandung tanah
Budi baik terkenang jua
Oleh sebab itu, mari menjadi orang sukses. Ubah wajah Anda yang cemberut menjadi tersenyum. Ubah wajah yang murung menjadi ceria. Ubah watak Anda yang kikir menjadi dermawan. Ubah tabiat Anda yang pemarah menjadi penyantun. Ingatlah sabda Nabi:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحَاسِنُهُمْ أَخْلاقًا
Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. (HR.Thabrani, Mu’jamus Shagir: 605 dishahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahih 2/389). Semoga bermanfaat. Zahir al-Minangkabawi
Langganan:
Postingan (Atom)