Jumat, 18 Mei 2018

PUASA BAGI MUSAFIR


Kadang kita tak habis pikir, mengapa semakin banyak saja orang yang menyukai jalan-jalan. Belakangan, sering terdengar istilah generasi millennials yaitu generasi yang lahir antara tahun 1985-1994M.

Salah satu ciri mereka adalah gemar traveling lintas negara. Dengan kata lain, generasi ini adalah generasi suka jalan-jalan. Padahal, se ”enak” apapun perjalanan tersebut tetap saja itu bagian dari adzab. Sebab Rasulullah pernah bersabda:

السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ الْعَذَابِ

“Perjalanan itu adalah potongan (bagian) dari adzab.” (HR. Bukhari: 1804, Muslim: 1927)

Tapi biarlah generasi millennials itu, yang ingin kita bicarakan adalah kaitan antara safar dengan puasa. Sebab, mana tahu di bulan Ramadhan ini kita memiliki keperluan yang mengharuskan untuk melakukan safar, sebelum hal itu terjadi kita harus "baraja" dulu.

Salah satu bentuk kasih sayang Allah kepada orang-orang yang sedang dalam perjalanan jauh (musafir) yaitu memberikan rukhsah (keringan) berupa boleh tidak berpuasa. Hanya saja, ternyata dalam hal ini ada perinciannya juga disebabkan keadaan musafir yang berbeda-beda.

Pertama, jika puasa sangat memberatkannya atau bahkan khawatir membahayakan dirinya, maka puasa haram baginya. Dengan kata lain ia wajib berbuka.

Dalilnya adalah hadits tentang kisah fathul makkah. Dimana kondisi sangat berat, sampai-sampai Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berbuka. Tapi, ada sebagian sahabat yang tetap memaksakan diri untuk puasa, sehingga Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pun bersabda:

أُولَئِكَ الْعُصَاةُ أُولَئِكَ الْعُصَاةُ

“Mereka itu orang yang bermaksiat, mereka itu orang yang bermasiat.” (HR. Muslim: 1114)

Kedua, jika puasa tidak terlalu memberatkannya, maka berbuka lebih utama, sedangkan puasa dalam kondisi demikian dibenci karena dia berpaling dari keringanan Allah.

Ketiga, jika puasa sama sekali tidak memberatkannya maka hendaknya ia mengambil yang mudah, antara puasa atau berbuka. Sebab, Allah berfirman:

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (QS. Al-Baqarah: 185)

Namun, ada satu pertanyaan manakah yang lebih afdhal? Berbuka atau puasa?

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin mengatakan (Syarh al-Mumthi’ 6/330): “Bila antara puasa dan berbuka sama-sama mudah, maka yang lebih utama adalah berpuasa, ditinjau dari empat alasan:

1. Mencontoh perbuatan Rasulullah, berdasarkan hadits Abu Darda’ yang mengatakan:

خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ فِي حَرٍّ شَدِيدٍ حَتَّى إِنْ كَانَ أَحَدُنَا لَيَضَعُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ وَمَا فِينَا صَائِمٌ إِلَّا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ

“Kami pernah berpergian bersama Rasullah di bulan Ramadhan ketika hari sangat panas, sampai ada seorang di antara kami meletakkan tangannya di atas kepala karena saking panasnya hari itu. Di antara kami tidak ada yang puasa kecuali Rasulullah dan Abdullah bin Rawahah.” (HR. Bukhari: 1945, Muslim: 1122)

2. Lebih cepat melepaskan diri dari tanggungan

3. Lebih ringan, karena berpuasa bersama di bulan Ramadhan lebih ringan. Dan apa yang lebih ringan maka lebih utama.

4. Puasanya di bulan Ramadhan, sedangkan bulan Ramadhan lebih utama daripada bulan yang lain.”

Jadi, bagi Anda yang ingin melakukan perjalanan di bulan Ramadhan ini, pahami dulu baik-baik. Agar tidak salah mengambil tindakan. Semoga bermanfaat. Zahir al-Minangkabawi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar